“Baik, panglima!” kata kepala pengawal dan empat orang itu lalu menarik Goan Ciang dan Hui Yen keluar dari ruangan itu, memasukkan mereka di dalam sel yang istimewa, yaitu sel yang terpisah dan dijaga ketat.
Setelah mereka berdua didorong masuk dalam keadaan kaki tangan terbelenggu sehingga mereka terpelanting roboh dan rebah miring, pintu sel ditutup dan dipasangi gembok baja yang besar dari luat. Sel itu hanya tiga kali tiga meter luasnya, tanpa ada perabot apapun sehingga mereka berdua terpaksa harus rebah di atas lantai yang dingin. Temboknya amat tebal dan di depan terdapat pintu baja dan juga lubang angin yang dipasangi terali baja yang kokoh kuat.
Goan Ciang bergulingan mendekati Hui Yen dan mereka rebah miring saling berhadapan. “Kenapa sutemu menjadi panglima Mongol?” Hui Yen bertanya dalam bisikan.
“Entahlah, akan tetapi dia pejuang sejati.”
“Hemm, bagaimana kita dapat percaya padanya? Jangan-jangan sikapnya tadi hanya pancingan agar kita tunduk dan taat, suka bekerja sama dengan dia.” “Tidak mungkin! Aku mengenal dia sejak kecil. Dia cerdik sekali dan aku bahkan yakin bahwa masuknya menjadi panglima Mongol merupakan siasatnya.”
“Jadi engkau percaya bahwa dia pasti akan membebaskan kita?”
“Aku percaya. Kita tunggu saja dan siap siaga menghadapi segala kemungkinan.” Hening sejenak, kemudian terdengar bisikan halus Hui Yen, “Cu-twako...”
Goan Ciang memandang heran karena dalam suara gadis itu kini terkandung getaran aneh dan ketika dia melihat mukanya, jelas nampak betapa rasa takut terbayang di sana. “Ada apakah, Yen-moi?” Lalu melihat wajah gadis itu, dia menyambung, “Engkau takut...?”
Dalam keadaan biasa, kalau ada yang menyangka ia takut, gadis yang lincah periang dan galak ini tentu akan marah-marah. Akan tetapi saat itu, ia sama sekali tidak marah, bahkan mengangguk! “Twako, bagaimana andai kata... seandainya saja sutemu itu hanya berbohong dan menjebak kita? Bagaimana andai kata ancamannya tadi bukan hanya kosong belaka? Kita akan disiksa...”
“Yen-moi, dalam keadaan seperti ini, jangan membiarkan pikiran membayangkan hal yang belum terjadi, karena rasa takut timbul oleh ulah pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak enak. Kita melihat kenyataan saja, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan waspada dan siap siaga, tanpa membayangkan sesuatu, tidak akan ada rasa takut. Yang akan terjadi, terjadilah, namun kita selalu siap menanggulanginya, selalu wajib berikhtiar sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri. Kita adalah orang-orang yang berjuang demi membela rakyat dan tanah air, dan jelas bahwa taruhannya adalah kalau atau terbunuh. Dan kita akan melawan sampai titik darah yang penghabisan, bukan?”
Perlahan-lahan, bayangan rasa takut meninggalkan wajah yang cantik manis itu dan kini kembali sepasang mata itu bersinar dan wajah itu berseri. “Terima kasih, koko. Engkau telah menenteramkan hatiku. Maaf... rasa takut tadi menguasaiku..., sungguh memalukan sekali...”
“Ah, Yen-moi, kenapa memalukan? Takut itu wajar saja. Kaukira akupun tidak mengenal takut? Semua manusia mempunyai rasa takut ini, akan tetapi kalau kita tidak membiarkan pikiran kita melayang dan membayangkan hal-hal yang belum terjadi, maka rasa takut akan menghilang.”
“Terima kasih, dan kini hatiku mantap dan tenang. Andai kata sudah takdirnya aku akan matipun, aku tidak gentar! Bukankah ada engkau di sampingku? Kalau ada engkau mendampingiku, biar matipun aku tidak takut. Kita akan mati bersama, toako!”
Goan Ciang merasa terharu. Dia mengerti apa yang terjadi dalam hati gadis ini. Ia jatuh cinta kepadanya! Dan dia sendiri? Ah, belum sempat dia berpikir tentang cinta, belum hilang luka di hatinya oleh kematian Kim Lee Siang, wanita yang pertama kali menjatuhkan hatinya, yang dicintanya dan mencintanya. Akan tetapi, dia yakin pula bahwa tidak akan sukar bagi hatinya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Hui Yen ini. Akan tetapi, belum waktunya untuk membiarkan diri hanyut dalam kemesraan cinta lagi. Perjuangan masih belum selesai, bahkan kini mereka berdua menjadi tawanan dan mereka hanya dapat mengandalkan sutenya untuk dapat meloloskan diri. Tanpa bantuan sutenya, bagaimana mungkin membebaskan diri dalam kamar tahanan sebuah benteng? “Yen-moi, aku berjanji tidak akan meninggalkanmu. Semua ancaman bahaya kita hadapi bersama, dan kalau perlu, kita mati bersama demi perjuangan!”
“Demi perjuangan!” kata pula Yen Yen dengan penuh semangat.
“Sekarang, kita harus sedapat mungkin tidur dan menghimpun tenaga untuk menghadapi segala kemungkinan,” bisik Goan Ciang.
Sementara itu, tertawannya Cu Goan Ciang membuat Shu Ta menjadi risau. Bagaikan seekor harimau yang tertangkap dan dikurung dalam kerangkeng, pemuda yang berhasil menjadi panglima Mongol ini berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Dia memang merasa seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Sambil berjalan hilir mudik berjam-jam lamanya, dia mencari jalan keluar dari dalam kerangkeng itu. Mencari akal yang baik untuk dapat keluar dari keadaan yang mencemaskan keadaan hatinya itu. Dia harus membebaskan suhengnya dan gadis pemberani itu, apapun resikonya! Dan dia harus mencari cara yang tepat, karena ada dua hal yang harus dapat dia kerjakan dengan baik. Pertama tentu saja mengusahakan agar suhengnya dna gadis itu dapat lolos dengan berhasil, dan ke dua agar usaha meloloskan dua orang itu tidak sampai melibatkan dirinya! Pada hal, dia tidak mempunyai seorangpun yang dapat dipercaya dalam benteng itu, tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya. Dia tidak dapat mengharapkan bantuan orang lain, dan harus dia lakukan seorang diri!
Malam itu hujan turun dengan derasnya. Shu Ta baru saja menghadap Yauw-Ciangkun, atasannya dan dia melaporkan bahwa dia sedang berusaha agar dua orang tawanan itu membuka rahasia dan mengakui tentang kawan-kawan mereka agar pasukan dapat melakukan pembersihan total.
“Mereka berdua adalah orang-orang penting dalam gerombolan pemberontak,” demikian antara lain dia melapor dan mengajukan usul. “Oleh karena itu, saya bersikap sabar dan memberi waktu kepada mereka semalam ini untuk berpikir dan memilih, yaitu pada besok hari, mereka menceritakan tentang tempat persembunyian kawan-kawan mereka, atau mereka akan disiksa perlahan-lahan sampai mereka tidak tahan dan terpaksa mengaku juga. Hal ini penting sekali, Ciangkun. Kalau membunuh mereka begitu saja, mereka mati tanpa ada manfaatnya bagi kita. Sebaliknya kalau mereka mau mengaku, kita untung besar dan dapat membasmi para pemberontak dengan cepat.”
Yauw-Ciangkun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Aku percaya padamu, Shu-Ciangkun. Terserah kepadamu untuk bertindak.”
Demikianlah, ketika malam itu turun hujan, Shu Ta merasa gembira di dalam hatinya. Agaknya alam juga membantu lancarnya siasat yang akan dilakukannya malam itu. Dia telah mempersiapkan segalanya. Dia lalu mengadakan perondaan, hal yang tidak luar biasa karena komandan muda ini memang seringkali turun ke lapangan dan di waktu malam suka melakukan perondaan untuk memeriksa sendiri para prajurit yang melakukan penjagaan.
Dalam hal ini, dia bersikap keras dan berdisiplin. Maka, ketika malam itu dia meronda, dari ujung benteng di pintu gerbang sampai ke tempat tawanan umum dan tawanan istimewa, para penjaga tidak merasa heran. Shu Ta sempat memberi teguran di sana-sini, dan memperingatkan bahwa malam itu terdapat dua orang tawanan penting, maka penjagaan harus diperketat. Bahkan dia memerintahkan agar malam itu diadakan perubahan pada cara perondaan.