Pusaka Pulau Es Chapter 18

NIC

"Biarkan saja orang mencelaku, asal tidak di depanku. Kalau ada yang berani mencela di depanku, tentu akan kutampar mulutnya sampai semua giginya copot. Han-ko, yang penting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita berdua melakukan perjalanan dengan sewajarnya, sebagai dua orang sahabat yang saling menghormati dan saling menghargai, tidak melakukan sesuatu yang melanggar susila, siapa yang akan berani mencela?"

Bukan main kagumnya hati Keng Han, seorang gadis yang masih begini muda, akan tetapi pengetahuannya tentang kehidupan dan tentang kemanusiaan demikian mendalam. Tentu seorang gadis yang amat terpelajar, di samping ahli silat yang pandai.

"Engkau benar, Hong-moi. Mendengar pendapatmu, aku menjadi tidak ragu lagi, dan bahkan besar dan bangga hatiku mendapatkan seorang sahabat yang masih muda akan tetapi demikian bijaksana sepertimu. Nah, mari kita berangkat, Hong-moi. Mana jalan yang menuju ke kota raja?"

"Kita keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke utara, tentu akan sampai ke kota raja, Han-ko. Mari kita berangkat."

Mereka lalu berangkat meninggalkan Tung-san melalui pintu gerbang utara. Ternyata perjalanan itu melalui daerah pegunungan yang sunyi. Baru kurang lebih sepuluh li mereka berjalan, tiba-tiba dari depan datang seorang petani berlari-lari dan nampak ketakutan. Keng Han menghadang dan bertanya.

"Paman, ada apakah Paman berlari-lari seperti orang ketakutan?"

"Ah, orang muda, jangan pergi ke sana. Aku melihat perkelahian antara orang-orang yang berkepala gundul dan berjubah merah. Tiga orang mengeroyok seorang dan agaknya mereka hendak membunuhnya. Aku menjadi ketakutan ah, jangan-jangan mereka akan mengejarku pula....!"

Orang itu berlari lagi ketakutan.Mendengar ini, Keng Han menjadi tidak enak hati. Tiga orang gundul berjubah merah mengingatkan dia akan tiga orang pendeta Lama yang pernah mencari gurunya,

Gosang Lama, yang berkepandaian amat tinggi sehingga ketika dia memukulnya, tangannya sendiri merasa kesakitan dan sekali dorong saja seorang di antara mereka merobohkannya! Jangan-jangan yang dimaksudkan petani tadi adalah tiga orang pendeta Lama itu dan yang dikeroyok adalah gurunya!

"Mari kita ke sana!"

Katanya dan dia pun berlari cepat, dikejar oleh Kwi Hong.

"Tunggu aku, Han-ko!"

Teriak gadis itu yang mengejar dengan secepatnyd sehingga ia dapat menyusul Keng Han. Tak lama kemudian mereka melihat tiga orang berpakaian pendeta berjubah merah sedang mengeroyok seorang kakek yang berpakaian biasa seperti seorang petani yang kepalanya botak hampir gundul. Ketika mereka tiba di situ kakek yang dikeroyok itu agaknya sudah terluka parah dan sempoyongan hampir roboh. Melihat ini Kwi Hong yang penasaran melihat seorang dikeroyok tiga, sudah menerjang maju dan membentak.

"Pengecut-pengecut tidak tahu malu! Mengeroyok seorang tua!"

Dan ia menyerang pendeta terdekat. Pendeta itu menangkis serangannya. Dukkk....!"

Dan tubuh Kwi Hong terhuyung ke belakang. Ia merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali ketika lengannya tertangkis tadi. Maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, Kwi Hong lalu mencabut sepasang pedangnya dan menyerang pendeta itu dengan ilmu Ngo-heng-kiam. Pendeta itu terkejut melihat kehebatan serangan sepasang pedang dan menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk menangkis sam"bil mundur. Sementara itu, Keng Han melihat bahwa kakek yang terluka parah itu adalah Gosang Lama. Dia cepat menyambar tubuh yang hampir roboh itu.

"Suhu....!"

Teriaknya.

"Keng Han...., pergilah.... mereka lihai sekali. Larilah!"

Kata Gosang Lama ketika melihat muridnya. Akan tetapi Keng Han segera merebahkan gurunya dan meloncat berdiri. Ketika memutar tubuhnya, dia melihat betapa Kwi Hong sudah bertanding melawan seorang pendeta jubah merah kotak-kotak, sedangkan dua pendeta lain hanya menonton. Dia menjadi marah sekali dan meloncat ke depan dua orang pendeta yang menonton pertandingan itu.

"Pendeta-pendeta keparat dan kejam!"

Bentaknya dan karena dia maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh sekali maka dia lalu menyerang dengan pukulan yang dilatihnya di Pulau Hantu. Tangan kanannya memukul dengan kan"dungan hawa yang amat panas sedangkan tangan kirinya memukul dengan kandungan hawa yang amat dingin. Melihat pemuda itu memukul dan ada angin menyambar dahsyat, dua orang pendeta itu terkejut dan cepat menangkis dengan tangan mereka.

"Wuuuuuttt.... desssss....!"

Pertemuan tenaga itu hebat sekali dan akibatnya dua orang pendeta itu terjengkang dan terbanting.

Yang seorang merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa panas sekali dan yang kedua merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa yang amat dingin. Mereka tidak terluka parah akan tetapi terkejut bukan main. Seorang pemuda dapat menggunakan pukulan berlawanan dalam satu saat sungguh luar biasa sekali! Dan mereka pernah dengar bahwa ilmu-ilmu tangguh seperti itu hanya di"miliki oleh pendekar keluarga Pulau Es! Mereka menjadi jerih dan dalam bahasa Tibet mereka memanggil teman yang bertanding melawan Kwi Hong untuk melarikan diri. Pemuda itu terlalu tang"guh, apalagi di situ masih terdapat Kwi Hong yang memiliki ilmu sepasang pedang yang hebat. Mereka lalu melarikan diri dengan cepat, jubah mereka berkibar di belakang mereka. Keng Han hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar suara gurunya mengeluh,

"Keng Han, jangan....!"

Mendengar suara gurunya ini, Keng Han tidak jadi mengejar dan berlutut di samping tubuh gurunya. Ternyata Gosang Lama telah terluka parah sekali, napasnya terengah-engah. Melihat keadaan gurunya ini Keng Han mencoba untuk membantunya dengan menempelkan kedua tangan di dada gurunya dan mengerahkan sinkangnya. Akan tetapi tiba-tiba mata Gosang Lama mendelik dan napasnya makin ngos-ngosan! Keng Han terkejut dan segera menghentikan pengerahan tenaganya. Bagaimana napas Gosang Lama tidak akan menjadi terengah-engah kalau ada dua hawa yang berlawanan memasuki tubuhnya yang sudah terluka parah

"Ah, Suhu. Bagaimana keadaanmu?"

Dia mengguncang pundak kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Gosang Lama hanya menggeleng kepalanya dan mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara berbisik. Keng Han mendekatkan telinganya dan mengerahkan pendengarannya untuk menangkap pesan terakhir itu.

"Semua ini.... gara-gara.... Dalai Lama...., Keng Han, kau bunuh Dalai Lama untuk membalas dendamku.... kemudian kau hancurkan Bu-tong-pai.... itu juga musuh besarku.... ada puteraku....Gulam Sang temui dia, ajak kerjasama.... aku.... aku...."

Kepala itu terkulai dan Gosang Lama telah menghembuskan napas terakhir, membawa semua rahasia hidupnya bersamanya.

"Suhu....!"

Keng Han menangis sambil memeluk tubuh yang masih hangat itu. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya.

"Han-ko, yang sudah mati tidak ada gunanya ditangisi lagi. Suhumu sudah meninggal, sebaiknya diurus jenazahnya."

Ucapan ini menyadarkannya. Tadi dia menangis karena terharu. Selama lima tahun dia digembleng oleh kakek ini dengan penuh kesungguhan hati dan kakek inilah satu-satunya gurunya. Teringat akan kebaikan kakek itu maka dia tadi terharu dan menangis. Ucapan Kwi Hong menyadarkannya dan dia berhenti menanis. Dia menghapus air matanya, menoleh kepada Kwi Hong dan berkata, suaranya sudah tenang lagi.

"Engkau benar, Hong-moi. Aku terlalu lemah tadi."

Dengan dibantu oleh Kwi Hong, Keng Han menggali lubang dan mengubur jenazah Gosang Lama dengan sederhana dan khidmat. Setelah itu dia berlutut di depan makam gurunya sambil berjanji,

"Suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu."

Kwi Hong mengerutkan alisnya mendengar ucapan Keng Han ini.

"Han-ko, pesan terakhir suhumu itu sungguh luar biasa sekali."

Keng Han menoleh kepada gadis itu.

"Luar biasa? Apanya yang luar biasa? Suhu menyuruh aku membasmi musuh"musuh besarnya yang telah berlaku jahat kepadanya."

"Pertama, agaknya suhumu itu juga seorang pendeta. Seorang pendeta memesan kepada muridnya untuk membalas dendam! Sungguh luar biasa dan aneh sekali. Biasanya seorang pendeta bahkan melarang muridnya mengandung dendam di hati. Dan kedua kalinya, pesan itu sungguh amat tidak mungkin kaulakukan, Han-ko."

"Tidak mungkin?"

Keng Han mengerutkan alisnya.

"Kenapa tidak mungkin, Hong-moi?"

Dia merasa penasaran sekali walaupun alasan pertama tadi juga men"jadi bahan pemikirannya. Dia pun sudah banyak membaca kitab agama yang melarang adanya dendam di hati, akan tetapi mengapa suhunya malah menyuruh dia membalas dendam? Akan tetapi tidak mungkin dia mengingkari janjinya kepada suhunya sendiri!

"Tidak mungkin karena permintaan suhumu itu luar biasa beratnya. Kau tahu siapa itu Dalai Lama?"

Keng Han menggeleng kepalanya. Memang dia belum pernah membaca atau mendengar tentang Dalai Lama.

"Belum pernah. Siapa sih dia?"

"Dalai Lama adalah pendeta kepala dari para pendeta Lama di Tibet. Kekuasaannya besar sekali, bahkan melebihi kekuasaan raja. Dan di Tibet terdapat banyak sekali pendeta berilmu tinggi yang tentu akan melindungi Dalai Lama. Kurasa engkau tidak akan dapat menyentuh sehelai rambut pun dari Dalai Lama. Beliau sendiri merupakan seorang yang amat tinggi ilmunya. Bagaimana mungkin engkau melaksanakan tugas yang amat berbahaya itu?"

"Bagaimana besar pun bahayanya, tugas yang diberikan oleh suhu harus kulaksanakan, Hong-moi. Aku tidak takut!"

Kata Keng Han dengan suara tegas.

"Hemmm, dan tugas kedua lebih aneh lagi."

"Membasmi Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu? Apa anehnya? Kalau mereka itu musuh besar suhu memang harus dibasmi!"

"Tahukah engkau siapa Bu-tong-pai itu, Han-ko?"

"Yang pernah kudengar, Bu-tong-pai adalah satu di antara perguruan-perguruan silat yang terkenal."

"Bukan hanya terkenal karena ilmu silatnya, melainkan lebih terkenal lagi bahwa murid-murid Bu-tong-pai merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela kebenaran dan keadilan. Bu-tong-pai adalah perkumpulan para pendekar. Bagaimana engkau disuruh untuk membasminya? Sungguh heran sekali aku. Kalau gurumu itu musuh besar Bu-tong-pai, maka...."

Kwi Hong tidak mau melanjutkan kata-katanya karena dia tidak ingin menyinggung perasaan hati Keng Han.

"Maka bagaimana, Hong-moi? Engkau hendak bilang bahwa guruku yang berada di pihak yang salah?"

"Mungkin saja, karena Bu-tong-pai selalu menentang kejahatan dan tidak pernah murid mereka melakukan kejahatan."

"Apapun alasannya, kalau mereka itu musuh besar suhu, harus kulaksanakan janjiku kepada suhu untuk membasmi mereka!"

Kata Keng Han berkeras.

"Jangan, Han-ko. Engkau mempertaruhkan nyawamu!"

"Tidak sudah sepatutnyakah budi kebaikan guru dibalas dengan taruhan nyawa?"

"Han-ko...."

Kwi Hong merasa bingung sekali. Dara ini mengkhawatirkan Keng Han, pemuda yang menarik perhatiannya dan yang mendatangkan suatu perasaan aneh di dalam hatinya. Ia merasa sayang sekali kalau sampai Keng Han menderita celaka dalam tugasnya itu, apalagi memusuhi Bu-tong-pai! Pemuda itu dapat dianggap sebagai seorang penjahat! "Han-ko, urungkan niatmu itu! Marilah engkau pergi bersamaku ke kota raja....!"

"Tidak, Hong-moi. Aku mengubah tujuan perjalananku. Aku sekarang juga harus pergi mencari Dalai Lama di Tibet!"

"Akan tetapi perjalanan itu jauh sekali, Han-ko."

"Aku tidak peduli."

Dia bangkit berdiri.

Posting Komentar