Pusaka Pulau Es Chapter 07

NIC

Dua orang pangeran itu menangis tersedu-sedu, akan tetapi kaisar tidak dapat terbujuk lagi untuk mengubah keputusan itu.

Segera petugas diteriaki dan mereka datang menggiring dua orang pangeran itu keluar dari ruangan. Demikianlah peristiwa antar keluarga kaisar itu selesai dengan terhukumnya dua orang pangeran itu. Seperti biasa kalau terjadi hal-hal buruk dalam keluarga kaisar, maka hal itu dilewatkan begitu saja oleh pencatat sejarah karena kaisar tidak menghendaki ada noda hitam dalam sejarah keluarganya. Sementara itu, Liang Cun diangkat menjadi guru silat oleh Pangeran Tao Kuang yang menyadari betapa pentingnya ilmu silat tinggi bagi dirinya, untuk melindungi dirinya sendiri kalau-kalau terjadi malapetaka seperti yang pernah dialaminya itu. Liang Cun sebenarnya bukan seorang kakek biasa yang sekedar pandai ilmu silat saja.

Dia adalah seorang datuk kenamaan dengan julukan Sin-tung Koai-jin (Orang Aneh Bertongkat Sakti) dari kaki Pegunungan Thai"san dan Liang Siok Cu sudah mewarisi ilmu tongkatnya yang hebat. Ayah dan anak ini selain memiliki ilmu tongkat, juga amat terkenal dengan ilmu mereka menotok jalan darah lawan. Setelah bergaul beberapa bulan lamanya, Pangeran Tao Kuang tidak dapat menyimpan lagi perasaan cintanya kepada Siok Cu yang tumbuh sejak dia ditolong gadis itu dari tangan para calon pembunuhnya. Ternyata perasaan cintanya tidak bertepuk tangan sebelah dan ketika Liang Cun mendengar tentang pinangan itu, dia pun merelakan puterinya menjadi selir Pangeran Tao Kuang. Demikianlah, Liang Siok Cu menjadi selir terkasih dari pangeran mahkota itu dan tentu saja kini ilmu silat Pangeran Tao Kuang menjadi semakin maju di bawah bimbingan selirnya sendiri.

Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat seperti sebatang anak panah lepas dari busurnya, walaupun kalau diperhatikan sang waktu dapat merayap seperti seekor siput. Kita kembali kepada Silani, puteri kepala suku Khitan yang ditinggalkan suaminya, Tao Seng. Setelah ditinggalkan, Silani melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan montok. Sesuai dengan apa yang dipesankan Pangeran Tao Seng, anak itu diberi nama Tao Keng Han. Anak itu dirawat dengan baik-baik oleh Silani, akan tetapi suaminya yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang menjemputnya. Tentu saja hal ini membuat Silani berduka sekali. Ia merasa disia"siakan. Juga Khalaban, kepala suku Khi"tan itu marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Tao Seng adalah seorang pangeran dari kerajaan besar. Kalau Tao Seng tidak datang, apa yang dapat dia lakukan?

Dengan prihatin Khalaban lalu mendidik cucunya. Dalam hal ini Kalucin berjasa besar. Pemuda Khitan yang mencinta Silani memenuhi janjinya kepada Tao Seng. Dia menjaga dan melindungi Silani dan anaknya, bahkan ketika Keng Han mulai besar, dia sendiri yang membimbing dan mengajarkan ilmu silat dan gulat kepada anak itu.Khalaban yang tidak ingin kelak dicela oleh mantunya, mengingat bahwa cucunya adalah keturunan pangeran, lalu mengundang seorang guru sastra dan mengajarkan ilmu kesusastraan kepada Keng Han agar kelak kalau anak itu dibawa ayahnya ke kota raja tidak akan memalukan ayahnya. Kebetulan sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncul seorang kakek yang pandai. Dia adalah Gosang Lama, seorang Lama Jubah Kuning yang diusir dari Tibet dan merantau sampai ke daerah itu.

Setelah mengetahui bahwa pendeta Lama ini seorang yang sakti, Khalaban menyambutnya dengan penuh kehormatan, bahkan lalu mengangkatnya menjadi guru bagi Keng Han. Gosang Lama tentu saja menjadi girang sekali. Dia adalah seorang buruan yang membutuhkan tempat persembunyian yang aman dan menyenangkan, maka di perkampungan Khitan itulah dia mendapatkan tempat yang baik, di mana dia dihormati dan segala. Ketika dia diangkat menjadi guru bagi cucu kepala suku Khitan itu, dia menerima hanya untuk mendapatkan kedudukan yang baik saja, hanya sedikit memperhatikan Keng Han yang dianggapnya seorang bocah Khitan biasa yang bodoh. Akan tetapi setelah dia mulai mengajarkan silat dan sastra kepada anak itu, dia terkagum-kagum. Belum pernah dia melihat anak yang memiliki kecerdasan dan bakat demikian hebat.

Terutama sekali dalam ilmu silat, ternyata Keng Han bertulang baik dan berbakat besar. Tentu saja Gosan Lama menjadi bersemangat sekali mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid ini. Sejak berusia sepuluh tahun Keng Han menerima gemblengan Gosang Lama. Selama lima tahun dia belajar sastra dan silat sehingga dalam usia lima belas tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang pandai silat dan sastra. Juga dari Kalucin yang dianggap sebagai pamannya sendiri, dia dilatih ilmu gulat dan dalam usia ilma belas tahun tidak ada seorang pun pemuda di Khitan yang mampu menandinginya, baik dalam ilmu bela diri atau ilmu gulat. Melihat puteranya telah mulai dewasa, pada suatu hari Silani memanggil putera"nya itu ke dalam kamarnya. Keng Han, sejak engkau masih kecil engkau selalu menanyakan di mana ayahmu dan aku selalu mengelak untuk memberitahu!"

"Ya, kenapa, Ibu? Kenapa Ibu seolah menyembunyikan keadaan Ayah dariku? Siapakah Ayah? Di mana dia? Apakah dia masih hldup?"

"Sekarang engkau sudah mulai dewasa, kukira engkau boleh mengetahui semua, anakku. Ketahuilah, bahwa ayahmu masih hidup dan berada jauh di selatan, di kota raja kerajaan Ceng-tiauw. Ketika dahulu aku menikah dengan ayahmu, ayahmu itu seorang pangeran, anakku. Seorang pangeran mahkota kerajaan Ceng!"

"Ahhh....! Aku.... putera seorang pangeran mahkota?"

Tanya Keng Han dengan kaget. Pamannya Kalucin, kalau dia tanya tentang ayahnya, juga tidak mau menjelaskan dan menyuruh dia bertanya kepada ibunya. Demikian pula kakeknya. Hanya mereka pernah mengatakan bahwa ayahnya seorang bangsawan. Siapa, kira, ayahnya seorang pangeran! Dan pangeran mahkota pula, calon kai"sar!

"Berat, anakku. Engkau keturunan Kaisar kerajaan Ceng! Telah lima belas tahun ayahmu meninggalkan kita, mungkin sekarang dia telah menjadi kaisar! Dahulu ayahmu bernama Tao Seng dan benda inilah yang ditinggalkannya untuk kita. Ini merupakan tanda keluarganya, anakku. Kalau engkau membawa benda ini dan pergi ke kota raja Ceng di selatan, engkau pasti akan diterimanya."

Silani menyerahkan pedang bengkok pemberian suaminya itu. Keng Hong menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Sebatang pedang bengkok yang indah sekali, gagangnya terhias emas permata, demikian pula sarungnya. Ketika pedang itu dicabutnya, nampak sinar berkilat, tanda bahwa pedang itu tajam bukan main.

Di dalam hati pemuda itu timbul gejolak perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa girang dan bangga bahwa dia adalah putera pangeran yang mungkin kini telah menjadi kaisar! Menjadi putera kaisar, hati siapa tidak akan merasa bangga? Akan tetapi di samping perasaan girang dan bangga ini, terdapat perasaan penasaran dan marah sekali. Kenapa ayahnya meninggalkan ibunya sampai lima belas tahun padahal menurut ibunya, ayahnya itu berjanji akan menjemput ibunya dan memboyongnya ke istana? Ayahnya telah menyia-nyiakan ibunya! Dan hal ini membuatnya penasaran dan marah, menimbulkan dendam. Dia akan mencari ayahnya dan kalau ayahnya tidak mau memboyong ibunya ke istana, entah apa yang akan dilakukannya terhadap laki-laki itu! Selagi ibu dan anak ini bercakap-cakap, Kalucin muncul dan berkata,

"Keng Han, engkau dipanggil kakekmu. Ada pembicaraan penting dengan gurumu."

Keng Han lalu meninggalkan ibunya, pergi bersama Kalucin menghadap Khalaban, kakeknya yang telah berusia enam puluh lima tahun itu. Ternyata di situ sudah hadir pula Gosang Lama yang kelihatan berwajah sedih dan bingung.

"Kakek, ada urusan apakah memanggilku? Ada apakah dengan Suhu?"

Keng Han memandang kepada gurunya.

"Keng Han, gurumu berpamit hendak meninggalkan kita hari ini juga."

Tentu saja Keng Han menjadi terkejut dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak.

"Eh, kenapa, Suhu? Kenapa Suhu hendak pergi secara mendadak?"

"Tidak apa-apa, Keng Han. Hanya aku menganggap sudah terlalu lama aku tinggal di sini, sudah lima tahun. Aku akan melanjutkan perjalananku merantau."

"Akan tetapi Suhu sudah tua, kenapa tidak tinggal saja di sini selamanya? Kami sudah menganggap Suhu seperti keluarga sendiri!"

Bantah Keng Han yang menyayang gurunya yang telah banyak mengajar ilmu kepadanya.

"Engkau benar, Keng Han. Akan tetapi aku harus melanjutkan perjalananku, waktunya berpisah telah tiba dan tidak ada apa pun yang boleh membatalkan niatku untuk pergi."

Mendengar ucapan yang tegas itu, Keng Han tidak berani membantah lagi. Maka terpaksa dia pun membantu gurunya berkemas. Gurunya membawa buntalan pakaian dan sekantung emas pernberian kakeknya untuk bekal di jalan.

Biarpun Gosang Lama menolaknya, akan tetapi Khalaban memaksanya sehingga akhirnya Gosang Lama menerimanya juga. Setelah selesai berkemas, berangkatlah Gosang Lama meninggalkan perkampungan itu diantar oleh Khalaban, Keng Han dan Kalucin sampai ke luar daerah perkampungan mereka. Kemudian pendeta berjubah kuning itu pergi ke selatan dengan cepatnya. Sedih juga hati Keng Han ditinggalkan gurunya itu. Tiga hari kemudian, pada suatu pagi muncul tiga orang pendeta dengan pakaian yang sama dengan yang dipakai Gosang Lama, hanya bedanya tiga orang pendeta yang usianya sekitar enam puluh tahunan ini berjubah warna merah. MelIihat ada tiga orang pendeta datang, Khalaban sendiri keluar menyambut, ditemani oleh Keng Han dan juga Kalucin yang kini menjadi pembantu utama dari Khalaban. Khalaban membungkuk kepada tiga orang pendeta itu dan berkata ramah,

"Selamat datang di perkampungan kami. Sam-wi (kalian bertiga) hendak mencari siapakah dan ada kepentingan apakah berkunjung ke tempat kami?"

Tiga orang pendeta yang kepalanya gundul itu menoleh ke kanan kiri seperti orang yang mencari-cari, kemudian seorang di antara mereka yang berjenggot panjang bertanya,

"Apakah di sini terdapat seorang pendeta Lama jubah kuning yang bernama Gosang Lama?"

"Ah, Gosang Lama? Sudah tiga hari yang lalu dia pergi meninggalkan perkampungan kami ini!"

Kata Khalaban terus terang.

"Hemmm, sayang sekali. Agaknya dia telah mengetahui akan kedatangan kita, maka lebih dulu melarikan diri. Keparat!"

Kata pendeta itu dengan gemas. Mendengar makian ini, Keng Han mengerutkan alisnya dan melangkah maju.

"Kenapa kalian bertiga memaki guruku? Kalau dia berada di sini kalian mau apa?"

Bentaknya. Tiga orang pendeta itu memandang kepada Keng Han dan seorang di antara mereka berkata,

"Hemmm, engkau muridnya? Kalau dia berada di sini, tentu kami akan menangkapnya."

"Ditangkap? Kenapa?"

Keng Han ber"tanya penuh penasaran.'

"Dia adalah seorang pelarian dari negeri kami. Dia harus ditangkap dan dihukum."

"Hei, orang muda! Kalau engkau muridnya, engkau tentu mengetahui ke mana dia pergi bersembunyi!"

Kata pendeta yang jenggotnya panjang.

"Hayo beritahukan kepada kami!"

Berkata demikian, pendeta itu menjulurkan tangannya menangkap pundak Keng Han. Keng Han yang sudah marah sekali itu cepat mengelak, bahkan lalu menubruk maju sambil memukul ke arah perut pendeta itu. Pendeta itu tidak mengelak dan pukulan itu tepat mengenai perutnya.

"Bukkk....!"

Keras sekali pukulan Keng Han akan tetapi pendeta yang terpukul perutnya itu tidak apa-apa, sebaliknya Keng Han yang memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kiri. Tulang-tulang jari tangannya rasanya patah-patah seperti memukul baja saja.

Posting Komentar