"Tujuh puluh tahun yang lalu, menjelang akhir hidupnya, pemimpin kami Dan Juel menunjukkan jari telunjuknya ke arah utara. Sebagai tiang lo dalam sekte agama kami, aku segera mengajak beberapa orang sesepuh aliran agama kami untuk mencari bayi yang merupakan reinkarnasi dari Buddha hidup. Ternyata sampai berpuluh-puluh tahun kami tetap tidak berhasil menemukannya. Ini merupakan pengalaman yang tidak pernah terjadi dalam sejarah kami."
Perhatian Lie Cun Ju agak tertarik juga men¬dengar ceritanya
"Lalu?" sahutnya.
"Aku dan kedua Coan lun ong ini benar-benar kewalahan.
Akhirnya kami memohon petunjuk dad roh Buddha hidup." Diam-diam hati Lie Cun Ju merasa geli.
"Apakah Buddha hidup memberikan petun-juknya kepada kalian?"
"Tentu saja ada. Setelah selesai berdoa dan membaca kitab suci, tiba-tiba muncul seekor mer-pati putih. Dengan mengikuti arah terbang merpati itu kami sampai di pulau Hek Cui to. Kebetulan istri tocu pulau itu sedang melahirkan. Dan hari la-hir anak itu sama dengan hari lahir Buddha hidup."
"Apakah semuanya sama? Maksudku, dari hari tanggal dan jam kelahiran?"
"Tepat. Tidak ada perselisihan sedikit pun," sahut pendeta tua itu.
Bagi Lie Cun Ju, meskipun urusan ini agak janggal, tetapi mungkin saja hanya kebetulan. Di wilayah utara memang banyak merpati putih. Karena di perbatasan Tibet jarang menemuinya, maka mereka langsung menduga merpati putih itu merupakan petunjuk yang diberikan oleh Buddha hidup.
Lagi pula dunia ini luas sekali, setiap detik tentu ada bayi lahir. Mengapa harus heran apabila ada bayi yang lahir dalam waktu yang sama dan tanggal serta bulan yang sama dengan Buddha hidup.
"Pada waktu kedatangan kami, bayi itu baru berusia dua puluh tiga hari. Kami segera menjelas-kan maksud kedatangan kami untuk mengambil bayi itu. Tetapi ternyata Tocu Hek Cui to itu tidak mengijinkan."
Lie Cun Ju berpikir dalam hati. Justru aneh kalau dia memberikan bayinya begitu saja.
"Karena kandungan istri tocu Hek Cui to itu pernah dipinjam sebagai wadah lahirnya reinkar-nasi Buddha hidup kami, maka kami tidak berani memaksa dengan kekerasan. Akhirnya secara diam-diam kami membuat lukisan wajah tocu Hek Cui to itu dan bersiap akan kembali lagi sewaktu-waktu. Tidak disangka-sangka, belum lagi kami sampai di perbatasan Tibet, kami sudah mendengar berita bahwa seluruh keluarga tocu Hek Cui to itu tertimpa musibah. Hanya satu yang mendapat per-lindungan sehingga tidak ikut menjadi korban, yakni bayi keril itu."
"Kalau begitu, keselamatan si bayi berkat lin-dungan Buddha hidup kalian?" tanya Lie Cun Ju dengan tidak dapat menahan diri untuk tertawa geli.
"Tentu saja. Begitu mendengar berita itu, kami tidak jadi kembali ke perbatasan Tibet, bahkan bergegas menuju Hek Cui to. Tetapi setelah meng-habiskan waktu hampir setahun lamanya, kami tidak berhasil menemukan bayi itu. Kami terpaksa kembali ke Tibet. Tetapi ada beberapa orang lhama yang mewakili kami untuk terus berusaha me-nemukan bayi itu. Sampai tahun yang lalu, baru ada wakil kami yang melaporkan bahwa mereka melihat seorang pemuda yang wajahnya mirip sekali dengan tocu Hek Cui to di masa mudanya. Karena itu pula, kami bergegas menuju ke Tiong goan untuk mencari pemuda itu."
Lie Cun Ju merenung sejenak. Rasa-rasanya tahun yang lalu dia memang pernah bertemu de¬ngan seorang pendeta berjubah kuning. Pasti pen-deta itu segera kembali ke perbatasan Tibet dan memberikan laporan kepada lhama tua ini. "Apa yang dikatakan Taisu menarik sekali. Tetapi sejak lahir sampai sekarang yang aku ketahui orang tuaku bermarga Lie, bukan Ci," kata Lie Cun Ju.
"Hal ini mudah sekali. Setiap kali Buddha hidup dilahirkan kembali, demi menjaga terjadinya kesalahan, kami harus mengujinya. Sekarang ini kami pun belum dapat memastikan bahwa sicu adalah reinkarnasi dari Buddha hidup kami. Meng- apa sicu tidak ikut saja kami kembali ke kuil untuk mengetahui kebenarannya?"
Toh aku sekarang sudah berada di perbatasan Tibet, andaikata ingin menolak juga tidak mungkin. Mengapa tidak mengikuti kemauan mereka saja? Pikir Lie Cun Ju dalam hati. Tetapi setelah direnungkan kembali, dia mengingat kon-disi tubuhnya yang sedang menderita luka parah. Entah berapa lama lagi ia dapat mempertahankan kehidupannya. Tanpa dapat ditahan lagi Lie Cun Ju menarik nafas panjang.
"Sebetulnya aku tidak keberatan berkunjung ke kuil kalian untuk mengadakan pengujian. Anggap saja sedang berpesiar. Tetapi malangnya, dua bulan yang lalu aku terluka parah. Mungkin tidak dapat menempuh perjalanan jauh, sedangkan aku sendiri tidak tahu berapa lama lagi aku dapat mempertahankan diri."
Pendeta tua itu memperhatikan Lie Cun Ju dengan seksama. Bibirnya tersenyum.
"Soal itu mudah diatasi."
Perlahan-lahan dia bangkit dari tempat duduknya. Jangan dilihat usianya yang sudah tua renta dan tubuhnya yang kurus kering. Ketika berdiri sikap gagahnya masih terlihat jelas. Tiba-tiba dia melangkah ke depan Lie Cun Ju. Tangan-nya menjulur ke depan dan menekan dada serta punggung pemuda itu.
Baru saja kedua tangannya menekan sebentar, tanpa disadari mulut Lie Cun Ju menjerit. Rupanya sepasang tangan pendeta tua itu begitu panasnya seperti batangan besi yang dibakar di atas api membara. Meskipun Lie Cun Ju sempat menjerit satu kali, tetapi dia segera sadar bahwa pendeta itu sedang menyembuhkan luka dalamnya dengan mengerahkan tenaga murni dalam tubuh¬nya.
Cepat-cepat dia memejamkan mata dan duduk diam-diam. Ditahannya rasa panas yang menye-ngat itu. Tidak lama kemudian, hawa yang terpan-car dari sepasang telapak tangan pendeta tua itu tidak begitu panas lagi. Bahkan lambat laun terasa ada serangkum hawa hangat yang mengalir dalam tubuhnya. Hal ini membuat hawa murni dalam tubuh Lie Cun Ju yang tadinya tidak dapat diedarkan menjadi lancar kembali.
Kurang lebih dua kentungan kemudian, hawa murni dalam tubuh Lie Cun Ju sudah dapat meng¬alir dengan lancar. Tetapi pendeta tua itu masih terus mengerahkan hawa murninya. Lie Cun Ju merasa tubuhnya nyaman sekali. Dalam waktu yang singkat, bukan saja tenaganya pulih kembali, bahkan lebih hebat dari sebelumnya.
Kalau digantikan orang lain yang mengalami kejadian itu, tentu ia akan membiarkan pendeta tua itu terus menyalurkan hawa murninya karena me-ngetahui tenaga dalam orang tua itu sudah men-capai taraf kesempurnaan. Tetapi Lie Cun Ju bukan jenis manusia seperti itu. Dia sadar hawa murni pendeta tua itu sudah terkuras banyak untuk menyembuhkannya. Ia tidak ingin melihat pendeta tua itu mengalami kerugian terlalu banyak, karena itu dia segera membuka matanya dan berkata.
"Terima kasih, Taisu. Tenaga dalamku sudah pulih kembali."
Pendeta tua itu tersenyum lembut. Sepasang tangannya dilepaskan dan menggeser satu langkah. Cepat-cepat Lie Cun Ju meloncat bangun dan ber-jalan ke depan beberapa langkah. Ternyata tenaga dalamnya sudah lebih tinggi dari sebelumnya. Hati Lie Cun Ju kagum sekali terhadap kekuatan tenaga dalam pendeta itu. Menurut adat istiadat dunia bu lim, sudah seharusnya Lie Cun Ju menjatuhkan diri berlutut di depan pendeta tua itu sebagai per-nyataan terima kasihnya. Dia segera menekuk kedua lututnya, tetapi belum sempat niatnya ter-capai, tiba-tiba ada serangkum kekuatan yang tidak berwujud menahan gerakannya.
Melihat pendeta tua itu hanya mengibaskan lengan bajunya sedikit untuk menahan gerakan tubuhnya, hati Lie Cun Ju semakin kagum. Ia memandangi wajah si pendeta tua yang sudah penuh dengan kerutan beberapa saat lamanya.
"Taisu, seandainya aku memang penjelmaan dari Buddha hidup kalian, apakah kalian semua harus menuruti perintahku?"
"Tentu saja. Sebagai seorang pemimpin dalam kuil kami, pasti mempunyai kekuasaan yang tiada duanya. Pokoknya setiap anggota agama kami tidak ada yang berani menentang perintah yang diturunkan." Pendeta itu menjawab sambil ter- senyum lembut.
Hati Lie Cun Ju langsung tergerak. Seandainya tan pa alasan yang jelas tiba-tiba dia diangkat men-jadi pemimpin agama ini, bukankah dia akan mem-punyai banyak sekali bawahan yang berilmu tinggi? Mungkin pemimpin mereka yang dahulu tidak per-nah menginjakkan kakinya di wilayah Tiong goan. Karena itu tidak ada yang mengetahui kehebafan mereka. Seandainya ia menjadi pemimpin mereka, biarpun ilmu kepandaiannya sendiri tidak meng-alami kemajuan sedikit pun, tetapi mungkin namanya bisa disejajarkan dengan tokoh- tokoh kelas satu lainnya.