Keempat orang itu mengiakan serentak. Setelah itu mereka segera mengangkat tubuh Lie Cun Ju dan dipondongnya ke dalam tenda.
Perabotan yang ada di dalam tenda sederhana sekali. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah meja sembahyang. Di atas meja itu ada patung Buddha yang terbuat dari emas. Sinarnya berkilauan. Di hadapan patung itu terdapat sebuah tempat pedupaan yang dipasangi beberapa batang hio wangi. Bau harum semerbak menerpa indera pen-ciuman. Di samping tempat pedupaan tampak menyala dua batang lilin merah. Suasananya berkesan misterius. Di depan meja itu terdapat tiga buah kursi.
Di setiap kursi duduk masing-masing seorang pendeta. Yang di tengah-tengah usianya sulit diterka, tetapi tampak sudah tua sekali. Sedangkan kedua pendeta yang ada di sisi kanan kirinya juga berusia di atas enam puluhan.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir, rombongan para pendeta ini tampaknya semua menguasai ilmu silat. Ketiga orang yang duduk di atas kursi itu mungkin pemimpin mereka. Kalau ditilik dari usianya yang sudah begitu lanjut, ilmu kepandaian mereka pasti tinggi sekali.
Ketika Lie Cun Ju dibawa masuk, ketiga pen¬deta itu pun masing-masing membuka mata mereka. Saat itu juga seakan ada sinar yang menyusup ke dalam tenda. Had Lie Cun Ju bukan main tercekatnya.
"Tenaga dalam mereka benar-benar sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sinar mata mereka saja bisa menimbulkan cahaya yang berkilauan."
"Ci sicu tentu letih setelah menempuh per-jalanan yang demikian jauh. Silakan duduk!" ucap pendeta yang duduk di tengah dengan perlahan-lahan.
Saat itu juga ada seseorang yang membawa kursi ke hadapan Lie Cun Ju. Ternyata hampir saja tubuh Lie Cun Ju terkulai jatuh ketika pegangan keempat pendeta tadi dilepaskan. Pikiran Lie Cun Ju semakin rumit, mengapa pendeta tua itu meng-anggapnya berasal dari marga Ci seperti halnya Seebun Jit?
Setelah duduk bersandar, Lie Cun Ju merasa lebih nyaman.
Tetapi bibirnya justru tertawa getir.
"Taisu, kau sudah berbuat kesalahan. Aku she Lie bukan she Ci," kata Lie Cun Ju dengan tawa getir. Pendeta tua itu tampaknya terkejut sekali. Matanya langsung mengalih kepada etnpat pendeta tadi. Keempat orang itu pun bergegas keluar dari tenda dan tidak lama kemudian datang lagi dengan membawa pendeta pertama yang menculik Lie Cun Ju.
"Tu Mo yang mengajak pemuda itu kemari, sedangkan kami tidak tahu apa-apa," kata salah seorang dari keempat pendeta itu.
"Tiang lo, kau lihat sendiri!" sahut Tu Mo panik.Dia mengeluarkan selembar lukisan dari balik jubahnya. Lukisan itu terbuat dari bahan kulit kambing, tampaknya sudah lama sekali karena gambarnya pun sudah lusuh. Dia mem-beberkan lukisan yang tadinya tergulung itu.
Lie Cun Ju mendongakkan kepalanya untuk mengintip gambar apa yang diperlihatkan pendeta itu. Hatinya langsung terkesiap seketika.
Rupanya di atas kulit kambing itu terdapat lukisan seseorang. Dan orang itu ternyata dirinya sendiri.
Rasa terkejut Lie Cun Ju bukan tak beralasan, Coba bayangkan saja, dia tidak merasa pernah mengenal orang- orang itu. Bahkan bertemu pun tidak. Sedangkan asal usul mereka saja ia pun tidak tahu.
Tetapi, mereka justru mempunyai lukisan wajah Lie Cun Ju. Pendeta tua yang duduk di tengah-tengah itu segera mengambil lukisan kulit kambing itu dari tangan pendeta yang menculik Lie Cun Ju. Matanya menatap ke arah lukisan beberapa saat, kemudian beralih lagi ke wajah Lie Cun Ju. Seakan-akan dia sedang memperban-dingkan kedua wajah yang dilihatnya.
Hati Lie Cun Ju diliputi kecurigaan yang tidak terkatakan. Pendeta tua itu mungkin merasa sudah cukup meneliti lukisan itu. Dia menyodorkannya kepada kedua lhama di sisi kanan kirinya secara bergantian. Kedua orang itu menghahiskan waktu kurang lebih setengah kentungan untuk meneliti. Kemudian tampak mereka menganggukkan kepalanya perlahan-Iahan.
"Ci sicu, kami mengundang Anda kemari tanpa niat buruk sedikit pun. Mengapa Anda tidak meng-akui nama Anda sendiri?" tanya pendeta yang duduk di tengah.
"Memang aku bukan she Ci. Tetapi kalian terus mendesak aku dengan mengatakan bahwa aku she Ci. Siapa yang sudi marganya diubah secara sem-barangan?"
Pendeta itu tersenyum tipis. Kerutan di wajahnya seperti air yang beriak-riak. Dia menyodorkan lukisan tadi ke hadapan Lie Cun Ju.
"Ci sicu, mohon tanya, siapa orang ini?"
Lie Cun Ju menyambut lukisan itu Iain dipan-danginya dengan seksama. Tanpa dapat ditahan lagi, wajahya menyiratkan senyuman yang pahit.
"Ini memang aku."
"Nah . . . sebetulnya orang yang ada dalam lukisan ini, bukan engkau. Tetapi tocu dari Hek Cui to semasa mudanya. Jadi lukisan itu sudah lama sekali, mungkin lebih dari dua puluh tahun. Kalau kau memang bukan keturunan tocu Hek Cui Ut itu, mengapa wajah kalian bisa demikian mirip?"
Mendengar ucapan pendeta tua itu, tiba-tiba ingatan Lie Cun Ju melayang kepada Seebun Jit. Sebetulnya kalau diingat kembali, apa yang dikatakan pendeta tua ini sama halnya dengan apa yang dikatakan Seebun Jit tempo hari. Sedangkan persoalan ini, Lie Cun Ju sendiri tidak jelas. Kecuali menanyakannya kepada pasangan suami istri Lie Yuan secara langsung.
"Manusia ada yang mirip, benda pun ada yang sama. Kedua orang tuaku masih hidup. Mana mungkin aku ini putra tocu Hek Cui !o seperti yang taisu katakan?" Sepasang alis pendeta tua itu menjungkit ke atas.
"Mungkin ketika kecil kau sempat terlantar, kemudian kau diambil oleh orang tuamu yang sekarang dan diasuhnya hingga besar.Tetapi karena berbagai alasan, mereka tidak pernah berterus terang kepadamu," kata pendeta itu kem¬bali.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir, urusan ini rumit sekali. Biarpun seratus kali didebatkan tetap saja tidak akan jernih persoalannya. Kecuali ber-temu langsung dengan kedua orang tuanya. Karena itu, Lie Cun Ju pun tidak memprotes apa-apa lagi. "Kita kesampingkan dulu masalah itu. Se¬karang dapatkah Taisu menjelaskan maksud Taisu menyuruh orang membawa aku kemari?" Pendeta itu tersenyum.
"Lo ceng tahun ini sudah berusia seratus dua belas tahun. Mana mungkin bisa salah mengenali orang. Tahukah sicu bahwa Anda ini sebenarnya merupakan reinkarnasi dari pimpinan kuil kami, yakni ketua Dan Juel."
Diam-diam Lie Cun Ju menggerutu dalam hati. "Bagus sekali. Sekarang aku malah dikatakan reinkarnasi dari ketua kalian. Kalian boleh percaya dengan segala macam reinkarnasi atau tidak, memangnya aku juga harus ikut-ikutan percaya." "Kata-kata Taisu tanpa bukti sedikit pun. Mana mungkin orang seperti aku ini reinkarnasi dari pemimpin kalian yang pasti sudah almarhum." Pendeta tua itu tidak marah. Bibirnya malah menyunggingkan seulas senyuman.
"Kami merupakan umat dari Oey kau di per-batasan Tibet. Sejak pendiri agama kami ribuan tahun yang lalu, kami sudah mempercayai adanya reinkarnasi. Memang waktunya tidak dapat diten-tukan kapan reinkarnasi dari pemimpin yang ter- dahulu bisa lahir ke dunia. Misalnya pemimpin kami Dan Juel. Beliau lahir kembali sembilan generasi kemudian dari pemimpin sebelumnya. Dan sampai sekarang ini, sudah tujuh puluhan tahun. Ternyata kami baru berhasil menemukan engkau. Dalam agama kami, setiap pemimpin yang wafat pasti akan terjadi reinkarnasi. Dari dulu sampai sekarang memang sudah demikian kodrat-nya. Mungkin sampai ribuan tahun kelak pun tetap sama."
"Rupanya kalian ini para lhama dari Oey kau. Dengan demikian persoalannya semakin tidak mungkin," ucap Lie Cun Ju sambil menatap pen¬deta tua itu dengan tercengang.
"Mengapa tidak mungkin?" tanya pendeta tua.
"Taruhlah aku memang putra kandung tocu Hek Cui to, Ci Cin Hu. Meskipun pemimpin kalian bisa reinkarnasi, mana mungkin lahirnya begitu jauh di wilayah Tiong goan?"
Sikap pendeta tua itu serius sekali.
"Kesanggupan Buddha hidup tidak dapat diukur dengan kebiasaan manusia. Buddha hidup lebih sakti dari dewa mana pun. Untuk menempuh jarak sejauh apa pun hanya dalam waktu sekejapan mata. Meskipun jarak antara perbatasan Tibet ini dengan Hek Cui to sangat jauh. Tetapi Buddha hidup dapat melakukannya dengan mudah," jawab pendeta tua dengan sikap serius.
Diam-diam Lie Cun Ju berpikir dalam hati. "Pendeta tua ini mempunyai keyakinan tersen-diri. Mungkin dalam agama mereka memang ada pelajaran semacam itu. Biarpun memprotes selama seratus tahun, tetap saja tidak bisa menggoyahkan pendirian mereka ...
Baru saja Lie Cun Ju mengambil keputusan untuk menghadapi pendeta tua itu dengan cara yang lain, dia mendengar orang itu sudah berkata lagi