Peninggalan Pusaka Keramat Chapter 69

NIC

Sebetulnya Lie Cun Ju mempunyai keluarga yang harmonis. Kedua orang tuanya pun me-rupakan tokoh-tokoh kelas satu di dunia kang ouw yang namanya sudah cukup terkenal. Tetapi sejak Tao Heng Kan membunuh Li Po, kokonya, keluar¬ga mereka terpencar dan akhirnya menjadi terkatung- katung seperti sekarang ini.

Lie Cun Ju menatap bayangan punggung Tao Heng Kan dengan mat a menyorotkan dendam membara. Sampai lama sekali dia memandangi pernuda itu, akhirnya dalam benaknya timbul bayangan Tao Ling.

Dia teringat kasih sayang yang diperlihatkan Tao Ling selama ini. Hatinya timbul gejolak yang sulit dilukiskan. Lie Cun Ju hanya dapat menarik nafas panjang. Selama dua malam dia bersama-sama TaoHeng Kan di tempat itu. Di antara mereka tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun.

Pada hari ketiga, Tao Heng Kan tahu luka yang diderita Lie Cun Ju parah sekali. Tidak mungkin dia bisa meloloskan diri. Perasaannya pun menjadi lega. Teringat persediaan air sudah habis, maka dia berjalan menuju tepi danau untuk engambil air. Tidak disangka-sangka dia bertemu dengan I Giok Hong di tempat itu. Setelah Tao Heng Kan meninggalkannya, tim¬bul niat Lie Cun Ju untuk melarikan diri, Dia berusaha bangun, tetapi tubuhnya lemas sekali. Dengan susah payah dia baru berhasil berdiri, kepalanya terasa pening dan pandangan matanya langsung berkunang-kunang. Bahkan dia tidak sanggup berdiri tegak. Ketika ia bermaksud memaksakan diri melangkah ke depan beberapa langkah untuk bersandar di batang pohon, tiba-tiba dari belakangnya muncul dua sosok bayangan.

Ketika mata Lie Cun Ju sempat melihat dua sosok bayangan itu dengan jelas, dia sangat terkejut. Ternyata yang dilihatnya itu yang satu seorang pendeta, sedangkan yang satunya lagi sejenis makhluk aneh yang belum pernah ia temui seumur hidupnya.

Lagipula bentuk makhluk itu begitu aneh. Bah¬kan Lie Cun Ju tidak pernah tahu bahwa di dunia ini ada jenis makhluk seperti itu.

Tadinya Lie Cun Ju ingin berteriak, tetapi baru saja mulutnya membuka, pendeta berjubah kuning yang muncul bersama-sama makhluk aneh itu sudah berkelebat ke depannya dan menotok jalan darah Lie Cun Ju. Pemuda itu pun tidak dapat bergerak lagi.

Makhluk yang mirip manusia tapi bukan manusia itu langsung membungkukkan tubuhnya dan mengangkat Lie Cun Ju di pundaknya. Kemudian mereka melesat ke depan. Tidak lama kemudian, mereka sampai di tepi sungai, dan meloncat ke dalamnya.

Di dalam sungai, Lie Cun Ju memaksakan diri untuk menu tup pernafasannya. Ketika ia mulai tidak kuat dan sudah meneguk air sungai itu beberapa tegukan, tiba-tiba makhluk yang menyeramkan dan pendeta berjubah kuning itu menyembulkan kepalanya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pendeta itu langsung berkelebat menotok jalan darah I Giok Hong dan Tao Heng Kan. Apabila dalam keadaan biasa, pasti jalan darah mereka tidak semudah itu bisa tertotok. Namun pada saat itu mereka sedang terkesima memandangi makhluk aneh yang muncul dari permukaan air itu. Maka dalam keadaan tanpa dapat bertahan lagi jalan darah mereka langsung tertotok.

Kemudian pendeta itu memberi isyarat kepada si makhluk aneh. Mereka memondong tubuh Lie Cun Ju kembali dan dibawanya lari meninggalkan tempat itu. Kira-kira menempuh perjalanan belasan li. Mereka baru berhenti. Makhluk aneh itu menurunkan tubuh Lie Cun Ju.

Pendeta itu menatap Lie Cun Ju sambil tertawa terkekeh- kekeh.

"Benar-benar keberuntungan bagi kami bahwa kau tidak sampai mati."

Hati Lie Cun Ju kesal dan marah. Dia mende-ngus dingin "Aku malah menganggap lebih baik mati," kata Lie Cun Ju. Pendeta itu mengeluarkan seruan terkejut.

"Akh! Kau sama sekali tidak boleh mati!"

Pada saat itu, dalam hati Lie Cun Ju memang berpendapat lebih baik mati daripada hidup tersik-sa seperti itu. Apabila saat itu dia mengetahui bahwa Tao Ling telah menikah dengan Gin leng hiat ciang, I Ki Flu, mungkin dia langsung bunuh diri saking kecewanya.

Yang membuat Lie Cun Ju mempertahankan kehidupannya justru mengingat cinta kasih yang sudah terjalin antara ia dengan Tao Ling. Karena itu pula, setelah mendengar ucapan si pendeta ber¬jubah kuning, dia langsung tertawa getir.

"Mengapa aku tidak boleh mati?"

Mimik wajah pendeta itu berubah menjadi serius. "Mungkin kau ketua agama kami. Kalau kau sampai mati, ribuan bahkan laksaan umat agama kami berada di bawah bimbingan siapa lagi?"

Mendengar kata-kata pendeta itu, Lie Cun Ju semakin heran. Jangan-jangan pendeta ini otaknya kurang waras, pikirnya diam-diam.

"Apa yang kau maksudkan?" tanya Lie Cun Ju.

Tiba-tiba pendeta itu mengangkat tangannya dan menampar pipinya sendiri sebanyak dua kali.

"Urusan sebesar ini, mengapa aku membocorkannya?" gumam pendeta itu sambil ter-senyum kepada Lie Cun Ju. "Apa yang kukatakan tadi, anggap saja kau tidak mendengarnya."

Hati Lie Cun Ju merasa geli. Dia semakin yakin dengan pendapatnya sendiri bahwa pendeta itu memang gila. Karena itu pula, dia tidak meng-ungkit persoalan tadi lagi.

"Sekarang kemana kau akan membawa aku?"

"Di dalam sekte agama kami, ada seorang lhama tua dan dua orang Coan lun ong (semacam penasehat) yang sedang menunggumu. Aku hams membawa kau menemui mereka."

Lie Cun Ju semakin tidak mengerti apa yang sedang dihadapinya. Tetapi karena ia sudah jatuh ke dalam tangan mereka, terpaksa dia mengikuti nasibnya saja. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Pendeta itu kembali memberi isyarat tangan agar memondong tubuh Lie Cun Ju. Mereka terus menuju barat.

Sedangkan I Giok Hong dan Tao Heng Kan mengambil arah yang berlawanan setelah jalan darah mereka berhasil dibebaskan sendiri. Mereka tidak tahu bahwa pendeta itu memang sengaja menyesatkan mereka. Mula-mula pendeta dan makhluk aneh berlari ke arah timur, tapi kemudian memutar ke barat. Tentu saja tujuannya agar mereka tidak berhasil menemukan Lie Cun Ju.

Pendeta berjubah kuning itu menguasai Gin Kang yang sangat tinggi. Selama beberapa hari mereka menempuh perjalanan dengan berlari. Tidak tampak keletihan sedikit pun yang tersirat di wajahnya. Hal ini membuktikan bahwa tenaga dalamnya pun sangat tinggi.

Diam-diam Lie Cun Ju menghitungi hari-hari yang sudah mereka lalui. Sampai saat itu, mereka sudah menempuh perjalanan selama delapan belas hari. Setiap hari mereka hanya menyantap ransum kering. Jalan yang ditempuh berkelok-kelok karena melalui daerah pegunungan. Mereka tidak pernah bertemu dengan seorang manusia pun.

Sampai hari kesembilan belas, mereka melewati sebuah gunung yang menjulang tinggi. Lie Cun Ju mendengar suara riak air. Dia segera membuka matanya. Ternyata mereka sudah sampai di tepi sebuah sungai. Air sungai itu mengalir dengan deras. Ombaknya tampak bergulung-gulung tinggi.

"Sungai apa ini?" teriak Lie Cun Ju.

"Sungai Yalu Campu," sahut pendeta berjubah kuning itu. Kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut dan menyembah ke arah sungai itu.

Lie Cun Ju terkejut sekali. Dia pernah mende¬ngar seseorang mengatakan bahwa di perbatasan Tibet ada sebuah sungai besar yang dinamakan Yalu Campu. Apakah ia sekarang sudah mencapai perbatasan Tibet? Baru saja Lie Cun Ju ingin mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba dari tempat tidak seberapa jauh berkumandang suara de-ngungan. Dan pendeta berbaju kuning itu pun mengeluarkan suara siulan sebagai sahutan.

Tidak lama kemudian, tampak empat sosok bayangan melesat ke arah mereka. Setelah dekat, Lie Cun Ju dapat melihat bahwa keempat orang itu juga para pendeta berjubah kuning. Bedanya di lengan jubah mereka terdapat sulaman dari benang emas.

"Apakah orangnya sudah berhasil disambut?" tanya keempat pendeta itu.

"Sudah," sahut pendeta yang membawa Lie Cun Ju.

Keempat pendeta itu segera mengeluarkan lem-baran kertas seperti mata uang dan diberikannya kepada pendeta yang membawa Lie Cun Ju. Kemudian keempat pendeta itu menghampiri Lie Cun Ju. Dengan masing-masing mengangkat sebuah anggota tubuh Lie Cun Ju, mereka mem-bawanya berlari secepat kilat.

Sejak awal hingga akhir, Lie Cun Ju tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan para pen¬deta itu. Tapi tampaknya mereka tidak berniat jahat. Karena itu, Lie Cun Ju pun tidak mem-berikan tanggapan apa-apa. Mereka terus berlari sampai belasan li. Arah yang diamilnya selalu tepi sungai.

Di sepanjang jalan, pandangan mata Lie Cun Ju terus memandangi permukaan sungai. Dia merasa kagum sekali melihat gelombang air yang begitu tinggi dan alirannya yang demikian deras. Di daerah Tiong goan mungkin sulit menemukan sungai seperti itu.

Kurang lebih setengah kentungan kemudian, keempat pendeta itu menghentikan langkah kakinya. Lie Cun Ju segera mendongakkan kepalanya. Dia melihat di tepi sungai terdapat sebuah rakit yang sangat besar. Di tengah-tengah rakit itu terpancang sebuah layar. Di samping atau tepatnya depan rakit itu terdapat sebuah kemah yang besar. Tampak dari dalam kemah itu keluar beberapa orang yang juga berjubah pendeta.

"Apakah orangnya sudah berhasil disambut?" tanya orang- orang yang keluar dari kemah itu. Keempat hwesio yang membopong Lie Cun Ju segera menganggukkan kepalanya. Mereka ber-jalan menghampiri tenda besar itu. Kemudian per-lahan-lahan menurunkan Lie Cun Ju. Keempat pendeta itu membungkukkan tubuh mereka ren-dah-rendah.

"Lapor kepada Tianglo, dan Coan lun ong ber-dua, orang yang dicari sudah berhasil disambut!" Lie Cun Ju semakin bingung. Sudah jelas kedatangannya ke tempat ini diculik oleh seorang pendeta dan makhluk aneh tadi, tapi mengapa mereka selalu menggunakan kata-kata disambut?

Baru saja ucapan mereka selesai, dari dalam tenda berkumandang suara lantang.

"Undang orangnya masuk ke dalam!"

Keempat pendeta itu melirik lie Cun Ju sekilas kemudian menggelengkan kepalanya.

"Lapor Tiang lo, tubuh pemuda ini terluka parah, aliran darahnya membalik, tidak bisa ber-jalan sedikit pun."

Dari dalam tenda tidak terdengar suara sahutan. Sesaat kemudian terdengar lagi orang yang di dalam kemah itu berkata.

"Kalau begitu, kalian papah dia ke dalam!"

Posting Komentar