Mereka ingin menunggu sampai I Ki Hu benar-benar tidak bisa meloloskan diri lagi baru hati mereka merasa tenang. Cahaya api menyoroti wajah puluhan orang itu. Tampak mimik wajah mereka menyiratkan ketegangan dan ketakutan yang tidak terkatakan. Kalau saja I Ki Hu sampai mati, nama keluarga Sang pun akan menjulang tinggi seketika dalam dunia kang ouw.
Tapi bagaimana kalau I Ki Hu tidak mati, berarti seluruh keluarga itu akan musnah oleh pembalasannya.
Mereka terus menunggu. Satu hari telah ber-lalu. Keadaan di dalam rumah batu hening men-cekam. Tidak terdengar suara sedikit pun. Baru saja anggota keluarga Sang bermaksud menghem-buskan nafas lega, tiba-tiba terdengar suara siulan panjang dan kegusaran dari mulut I Ki Hu.
Mereka saling pandang sesaat. Kemudian masing-masing bergegas mengambil balok dan kayu bakar untuk ditimbun di sekeliling rumah batu itu. Bahkan mereka juga menyiram minyak tanah bergentong-gentong di atasnya. Api pun terus berkobar dan berkobar ...
Apakah api yang menjulang tinggi itu bisa membunuh atau membakar hidup-hidup seorang pentolan dunia hitam dan raja iblis yang ditakuti seluruh dunia kang ouw seperti I Ki Hu? Untuk sementara pengarang sengaja menunda kisahnya.
***
Kita kembali pada I Giok Hong yang tidak sudi berlutut di depan Tao Ling dan memanggilnya ibu. Begitu kerasnya adat gadis yang satu ini sehingga tulang kakinya patah tetap rela memutuskan hubungan ayah dan anak antara dirinya dengan I Ki Hu.
Dengan golok pemberian Seebun Jit yang dijadikan tongkat, dia berjalan tertatih-tatih. Rasa nyeri yang dirasakannya ditahannya kuat-kuat. Akhirnya dia berhasil juga menempuh perjalanan sejauh tiga-empat li.
Sakit yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh-nya, I Giok Hong benar-benar tidak dapat memper-tahankan diri lagi.
la menolehkan kepalanya dan memandang ke sekitarnya. Keadaan di tempat itu sunyi senyap. Ternyata ayahnya tidak mengejarnya atau memin-fanya kembali. Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman. Hal ini membuktikan betapa angkuh dan kerasnya hati gadis itu.
Akhirnya dia duduk di atas tanah, sepasang kakinya yang patah perlahan-lahan dilonjorkan ke depan. Dengan hati-hati dia menyambung kembali tulang itu. Ujung pakaiannya dikoyak dan dijadikan pembalut. Setelah selesai, dia beristirahat sejenak. Kemudian baru meneruskan perjalanan- nya dengan bantuan golok tadi sebagai penopang.
Ketika hari sudah gelap, dia sampai di tepi sebuah danau. Di sekitar danau itu tumbuh her-bagai pepohonan. Dan tanah di sekelilingnya juga ditumbuhi rerumputan yang cukup tebal. I Giok Hong berbaring di atas rumput sampai cukup lama. Bau harum yang terpancar dari rerumputan di sekitarnya membuat semangat I Giok Hong bang-kit. Dia mendongakkan kepalanya ke atas. Tampak rembulan sudah menggantung di atas langit. Cahayanya menyorot ke permukaan danau sehingga air tampak cemerlang bagai cermin. Dia segera berjalan ke tepi danau. Kemudian dia mem-bungkukkan tubuhnya dan diminumnya air danau yang jernih itu. Setelah rasa dahaganya hilang, dia mengayunkan pecutnya ke tengah danau. Dalam beberapa kali gerakan dia pun mendapatkan tiga ekor ikan yang besar-besar. I Giok Hong mencari ranting-ranting kering untuk menyalakan api ung-gun. Dibakarnya ikan-ikan itu lalu dimakannya dengan lahap. Selama lima hari berturut-turut dia melakukan hal yang sama.
Sampai hari keen am, dia merasa tulang kakinya sudah mulai pulih. Dia pun sudah bisa meninggalkan tepi danau itu. Sampai saat itu, dia baru merasa bingung. Kemana dia harus pergi? Biar bagaimana, dia tidak dapat kembali ke Gin Hua kok. Dia merantau ke mana saja. Bukankah hal itu juga merupakan pengalaman baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dengan termangu-mangu I Giok Hong meman-dangi air danau yang jernih. Hatinya diliputi kebimbangan. Tiba-tiba di dalam riak permukaan air, sepertinya ada seseorang yang berjalan dari arah belakang menghampirinya.
Tadinya I Giok Hong mengira orang itu seorang gembala, penduduk di sekitar tempat itu. Tetapi di bawah sorot matahari, tampak sinar berkilauan terpancar dari pinggang orang itu. Ternyata kilaunya sebatang pedang yang terpantul sinar mentari.
I Giok Hong cepat-cepat membalikkan tubuhnya. Jarak orang itu dengan dirinya tinggal dua depaan. Dia juga dapat melihat jelas wajah orang itu. Ternyata seorang pemuda dengan wajah murung dan tampang pasrah. Siapa lagi kalau bukan Tao Heng Kan?
Melihat Tao Heng Kan muncul di tempat itu, hati I Giok Hong langsung tergetar.
Beberapa hari yang lalu pemuda itu menikam jantungnya dengan pedang. Sekarang bayangan belum pernah terlintas di benaknya itu menjadi terlihat. Sedangkan adik Tao Heng Kan, Tao Ling sudah menikah dengan ayahnya. Ingatan itu pun melintas kembali di benaknya.
Selama lima hari berturut-turut di tepi danau, entah sudah berapa kali I Giok Hong mengucapkan sumpahnya. Dia akan membunuh Tao Ling, kalau bisa dia akan mencincangnya sampai tubuhnya tidak berbentuk. Sekarang, begitu melihat Tao Heng Kan, kebenciannya tiba-tiba saja meluap.
Tampaknya Tao Heng Kan juga tidak me-nyangka bisa bertemu dengan I Giok Hong di tempat itu. Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya. Begitu melihat I Giok Hong, dia langsung tertegun.
"I ... kouwnio, rupanya kau . . . ada di sini juga," tegur Tao Heng Kan.
I Giok Hong tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di dalam pandangan mata Tao Heng Kan, apa yang dilihatnya mirip dengan sebuah lukisan karya pelukis ternama. Langit yang biru, hari yang cerah, rumput-rumput menghijau, pepohonan melambai-lambai, dan di pinggir danau berdiri seorang gadis yang cantik jelita. Tapi Tao Heng Kan justru tidak tahu apa yang terkandung dalam hati I Giok Hong. Dengan perasaan melayang-layang, Tao Heng Kan menghampirinya.
"I kouwnio, apakah kau . . .menyalahkan diriku . . .?"
I Giok Hong mencibirkan bibirnya. Dia tahu apa yang dimaksud oleh Tao Heng Kan.
"Untuk apa aku menyalahkan dirimu?”
Tao Heng Kan pun tersenyum. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah kantong kulit.
"Luka yang diderita Lie Cun Ju masih belum sembuh. la ada di tempat yang tidak seberapa jauh. Aku ingin mengambilkan sedikit air minum untuknya."
I Giok Hong memperdengarkan suara tawa yang merdu. "Air di danau ini toh bukan milikku. Kalau mau ambil,
silakan! Tidak perlu menanya dulu padaku."
Wajah Tao Heng Kan langsung merah jengah. Dia berjalan ke tepi danau dan mengisi kantong kulitnya dengan air. I Giok Hong berdiri di sam-pingnya kurang lebih dua ciok. Tangan kirinya menggenggam golok pemberian Seebun Jit, sedangkan tangan kanannya memegang pecut lemas.
I Giok Hong tahu, Tao Heng Kan pasti tidak menyangka bahwa ia mengandung niat jahat kepadanya.
Asal dia menggerakkan goloknya saja, pasti Tao Heng Kan akan rubuh di atas rumput dengan bersimbah darah. Dan hal ini merupakan urusan yang bukan main mudahnya.
Tetapi bibir I Giok Hong masih tersenyum manis. Tubuhnya atau tangannya tidak bergerak sedikit pun juga. Bukan karena dia tidak ingin melihat kematian Tao Heng Kan, melainkan dia tidak ingin Tao Heng Kan mati dengan cara yang begifu esiik. Dia ingin menyiksa bathin pemuda itu. Dengan demikian kebencian dalam hatinya baru bisa terlampiaskan. Lagipula, di dalani hatinya masih banyak per-tanyaan yang belum terjawab. Baginya, pemuda itu merupakan sebuah 'teka teki' yang rumit. Siapa suhunya yang berilmu tinggi itu? Mengapa dia menyuruh Tao Heng Kan menculik Lie Cun Ju?
Ketika Tao Heng Kan mengisi kantong kulitnya dengan air danau, dia sudah mengambil keputusan. Dia tidak akan membiarkan pemuda ini mati begitu saja. Dia akan menyiksanya secara halus dan menyelidiki semua misteri yang menyelubungi dirinya.
Ketika Tao Heng Kan kembali berdiri, dia pun memandang pemuda itu dengan seulas senyuman manis.
"Tao kongcu, kemana gurumu?"
Tao Heng Kan seperti terkejut mendapat per-tanyaan yang tidak terduga-duga itu
"Ah! Guruku sedang pergi. Aku sendiri tidak tahu dia kemana."
Sekali lagi I Giok Hong tersenyum.
"Tao kongcu, adikmu sudah menikah. Apakah kau sudah mengetahuinya?"
Tao Heng Kan terkejut sekali lagi.
"Sudah menikah?" katanya terhenti sejenak, kemudian dia baru melanjutkan kembali, "Menikah dengan siapa?"
"Menikah dengan Gin leng hiat dang, I Ki Hu."
Mata Tao Heng Kan langsung membelalak lebar-lebar. "Menikah dengan ayahmu?"
Wajah I Giok Hong langsung tampak murung.
"Tao kongcu, mengapa kau menyebut I Ki Hu sebagai ayahku? Hubungan kami sudah putus. Jangan mebuat aku marah!" Tao Heng Kan tertegun mendengar ucapannya.
"Aku tidak tahu urusan yang sebenarnya, harap I kouwnio sudi memaafkan. Sebetulnya apa yang telah terjadi. Dapatkah I kouwnio menjelas-kannya?"
I Giok Hong dapat mendengar nada suara Tao Heng Kan yang mengandung perhatian kepadanya. Bibirnya pun menyunggingkan seulas senyuman yang pahit.
"I Ki Hu dengan kejam mematahkan kedua tulang kakiku, tentu saja aku tidak sudi menganggapnya sebagai ayah. Tao kongcu, kita tidak membicarakan urusan ini. Kau tadi mengatakan Lie Cun Ju ada di tempat yang tidak jauh. Dimana dia? Mari kita sama-sama menemuinya!"
Tao Heng Kan pun tidak mendesak lagi. Tadinya dia mengira ucapan I Giok Hong tentang pernikahan Tao Ling dan I Ki Hu hanya gurauan.
"Baik!" Mereka segera berjalan bersama meninggalkan tepi danau itu.
Kurang lebih satu li, tampak sebuah bukit yang luas. Di sana tampak dua ekor kuda. Tao Heng Kan segera menghambur ke depan.
"Aih!" Tiba-tiba Tao Heng Kan mengeluh.
***
I Giok Hong bingung melihat tingkahnya. "Ada apa?" tanya I Giok Hong.
Tao Heng Kan menunjuk ke arah gundukan rumput di depannya.
"Ta ... di dia masih tidur di sini. Dia tidak bisa bergerak sedikit pun, sekarang ke rnana perginya?"
Mendengar ucapan Tao Heng Kan, I Giok Hong langsung tertawa getir. "Orang itu benar-benar sudah menjadi benda pusaka, di sana sini menjadi bahan rebutan. Jangan-jangan ada orang yang menculiknya lagi."
Padahal I Giok Hong hanya asal ucap saja, tetapi bagi pendengaran Tao Heng Kan justru men-jadi suatu pertimbangan. Wajahnya langsung berubah.
"I kouwnio, maksudmu ... Lie Cun Ju diculik lagi oleh orang lain?"
I Giok Hong benar-benar bingung melihat sikapnya. "Kalau benar, memangnya ada a pa?"
Tao Heng Kan tidak menjawab. Tubuhnya melesat mendaki ke atas bukit. I Giok Hong meng-ayunkan pecut di tangannya. Terdengar suara Tar! yang memecahkan keheningan. Pecutnya sudah menyambar tempat sejauh setengah depaan.
Dengan meminjam tenaga lontaran pecut itu, tubuh I Giok Hong pun mencelat ke udara. Tiga kali berturut-turut tubuhnya menjungkir balik. Ketika melayang turun kembali, dia sudah melewati Tao Heng Kan.
Ketika kedua orang itu sudah sampai di puncak bukit, mereka segera mengedarkan pandangan matanya. Pada jarak kurang lebih dua li di barat daya, tampak debu mengepul tinggi. Tidak syak lagi ada orang yang menunggang kuda dengan kecepatan tinggi menempuh perjalanan.
Hati Tao Heng Kan panik sekali
"I kouwnio, aku ingin mengejar mereka."
I Giok Hong memang tidak mempunyai tujuan kemana pun. Lagipula hatinya sudah bertekad untuk menyiksa pemuda ini perlahan-lahan demi membalaskan sakit hatinya akibat diputuskan hubungan antara ayah dan anak gara-gara Tao Ling.
"Aku ikut bersamamu!" kata I Giok Hong segera. Kedua orang itu segera menuruni bukit. Di dalam dunia bu lim mereka termasuk remaja yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Bahkan dapat digolongkan jago kelas satu. I Giok Hong di depan, Tao Heng Kan di belakang. Gerakan tubuh kedua orang itu persis seperti bin tang komet yang melesat. Dalam waktu yang singkat mereka sudah mengejar sejauh belasan li.
Ketika mereka baru mulai mengejar, kepulan debu karena derapan kaki kuda lawan masih ter-lihat. Tetapi setelah berlari sejauh belasan li, kepulan debu itu semakin lama semakin jauh. Akhirnya bukan saja tidak terkejar, bahkan ba- yangannya pun tidak terlihat.