Pendekar Super Sakti Chapter 27

NIC

Bentaknya dan kini Si Setan Botak menggunakan kedua tangannya menahan.

Hebat bukan main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang menyentuh punggung dan menyalurkan tenaga disatukan dengan teman-teman seperguruan, sehingga tenaga mereka menjadi satu, kini menghadapi dorongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga, keras lawan keras. Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur kedua lengan ke depan, dengan kedua telapak tangan mendorong ke arah tujuh orang pengeroyoknya. Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di lain pihak, wajah Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan uap panas. Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim Chit-kiam terdesak.

Lauw-pangcu yang melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu saja tidak berani membantu. Andaikata mereka tidak terluka sekalipun, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk mencampuri pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan akhirnya mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka atur sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat dalam pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam. Memang siasat ini kalau dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan Siauw-lim Chit-kiam sendiri, namun memang telah mereka sepakati sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia untuk mergorbankan nyawa.

Dengan isyarat Lauw-pangcu, mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka membakar kuil itu dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan ini mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok (paman guru) mereka terancam maut bersama nyawa Setan Botak. Para anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak dan membakar kuil sehingga mereka tidak tahu betapa di antara kegelapan malam itu, sesosok tubuh kecil menyelinap memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini bukan lain adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu. Sin Lian tadinya dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak perempuan ini diam-diam merasa tidak senang.

Ia tahu bahwa ayahnya dan teman-teman ayahnya sedang berusaha membalas dendam atas kematian semua anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan kalau mungkin ingin sekali membantu. Selain itu, juga anak ini amat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia minggat keluar dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul ayahnya. Bocah ini amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua yang sudah tak terpakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari menuju ke kuil itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Karena melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah. Ia tidak melihat ayahnya, dan untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat marah. Maka ia lalu menyelinap dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang belum dicium api.

Ruangan dalam kuil kosong itu mulai berasap. Di antara asap tipis, Sin Lian melihat musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca batu yang menyeramkan, dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak tangan dibuka ke arah tujuh orang laki-laki yang bersikap keren dan yang kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak seperti arca, akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh mereka, terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar. Melihat musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi melihat musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat kesempatan baik untuk menyerang. Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu, setelah dekat ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk.

"Dukkk....."

Sin Lian terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit, akan tetapi ia bandel, terus melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi merasa betapa tengkuk kakek botak itu keras seperti baja, dan amat panas seperti baja dibakar. Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya, tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara konyol. Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti tadi, serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sin-kang dan pukulan jarak jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh Setan Botak, Sin Lian telah roboh tewas,

Kalau tidak hangus karena Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam. Akan tetapi kebetulan sekali pada saat itu, kedua pihak sedang mengadu tenaga sehingga kedua pihak seolah-olah saling menempel, saling mendorong dan tidak bergerak ke mana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia tidak terkena pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan terbanting roboh karena kekebalan tubuh kakek botak itu. Betapapun juga, karena berani memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada dalam cengkeraman maut. Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam maut dan sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan dapat menolong bocah ini?

Mereka tadinya tidak mengharapkan dapat keluar sebagai pemenang karena makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka merasa lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak membakar kuil. Mereka akan mati dengan lega karena merasa yakin bahwa Si Setan Botak juga akan mati terbakar hidup-hidup. Kang-thouw-kwi Gak Liat maklum akan gangguan seorang anak perempuan di belakangnya. Akan tetapi ia tidak peduli, karena kalau ia membagi perhatian, apalagi membagi tenaga, ia akan celaka. Menghadapi persatuan Siauw-lim Chit-kiam ini ia merasa bahwa amat sukar mencapai kemenangan dan hanya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya saja ia akan dapat menang. Akan tetapi kini kuil mulai terbakar dan tahulah ia bahwa keadaannya berada dalam bahaya pula.

Kalau saja tidak ada gangguan ini, tentu ia akan dapat segera merobohkan Siauw-lim Chit-kiam dan masih ada kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dalam usahanya untuk segera dapat merobohkan tujuh orang pengeroyok yang berilmu tinggi itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat tidak mempedulikan Sin Lian sama sekali, karena anak itu sama sekali tidak ada arti baginya. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga, kedua lengannya menggigil dan lengan yang diluruskan ke depan itu menjadi makin panas. Kekuatan mukjizat yang amat dahsyat kini menerjang maju bagaikan hembusan angin badai yang panas ke arah Siauw-lim Chit-kiam. Getaran gelombang tenaga sakti ini segera terasa oleh Siauw-lim Chit-kiam dan betapa pun mereka ini menggerakkan tenaga mempertahankan diri, tetap saja tangan mereka yang menudingkan pedang gemetar keras.

"Werrrrr.... cringgg.... krak-krak....."

Pertahanan Siauw-lim Chit-kiam menjadi berantakan ketika dua batang pedang di tangan Ui Swan dan Ui Kiong, dua orang di antara mereka, patah dan terlepas dari tangan mereka, yang menjadi pucat wajahnya.

Melihat betapa orang ke tiga dan ke empat dari Siauw-lim Chit-kiam ini kehilangan pedang yang tadi bergetar keras lalu patah-patah, lima orang tokoh Siauw-lim itu mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan gelombang tenaga hebat yang menekannya, namun kini mereka jauh kalah kuat setelah tenaga mereka berkurang dua orang. Pedang mereka mulai tergetar hebat, muka mereka pucat dan napas terengah. Ui Swan dan Ui Kiong yang sudah bertangan kosong, tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu saja menyaksikan keadaan saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu menggunakan tangan kanan yang kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh, sedangkan tangan kiri masih menempel punggung saudara yang berada di sebelahnya seperti tadi.

Akan tetapi dengan pedang di tangan saja mereka tadi tidak dapat bertahan, apalagi bertangan kosong. Begitu mereka mendorong dengan tangan, telapak tangan mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup kuat, terus menyerang isi dada. Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan dan tubuh mereka rebah miring. Melihat ini, lima orang Siauw-lim Chit-kiam menjadi terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka akan roboh semua, namun mereka berkeras untuk mempertahankan diri sampai api menjilat tempat itu agar musuh mereka yang amat tangguh itu mati pula terbakar. Pada seat mereka terhimpit dan terancam hebat itu, tiba-tiba Kang-thouw-kwi Gak Liat berteriak marah den bajunya sudah termakan api. Bagaimanakah baju Setan Botak ini dapat terbakar padahal api kebakaran kuil itu belum menjilat ke situ?

Bukan lain adalah hasil perbuatan Sin Lian. Karena tubuhnya terjengkang dan terbanting sendiri ketika memukul tubuh Setan Botak, Sin Lian menjadi penasaran dan marah sekali. Sebagai puteri Lauw-pangcu yang tidak asing akan kehebatan ilmu silat, anak ini maklum bahwa tubuh Setan Botak itu kebal dan percuma saja kalau ia memukul. Maka ia lalu mencari akal dan barulah ia sadar bahwa tempat itu telah terkurung api yang mulai membakar ruangan. Dalam kaget dan paniknya, timbul akalnya. Ia lalu lari ke tempat kebakaran, mengambil sepotong kayu yang terbakar dan tanpa ragu-ragu lagi ia menghampiri Setan Botak den membakar pakaian musuh ini dengan api itu. Bahkan ia lalu berusaha membakar rambut di kepala botak itu pula.

Posting Komentar