Pendekar Super Sakti Chapter 26

NIC

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku sudah lama ingin melihat sampai di mana lihainya Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio."

Sambil tertawa, kakek botak ini lalu duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai. Jarak di antara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong. Memang datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya tidaklah kosong belaka.

Ia memang amat sakti dan biarpun kakek botak ini menyimpan sebatang pedang lemas yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam bajunya, namun tidak pernah orang melihat ia mempergunakan senjata dalam pertempuran. Hal ini berarti bahwa ia masih memandang rendah Siauw-lim Chit-kiam. Song Kai Sin dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak sungkan lagi. Kakek botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah menghina murid keponakan mereka, telah mencemarkannya dan berarti mencemarkan kehormatan Siauw-lim-pai pula. Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang jahat, juga untuk mempertabankan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai.

"Sudah siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?"

"Ha-ha, sudah, sudah. Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu."

Jawab Si Botak sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang segera menjadi kemerahan.

"Lihat pedang."

Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukan ke depan. Menurut pendapat dan pandangan umum, biarpun lengan dilonjorkan ditambah panjangnya pedang, masih belum dapat melewati jarak tiga meter itu. Akan tetapi tanpa dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga selain tampak sinar pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit yang aneh. Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kirinya dan menggetarkan jari tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar"

Melihat kehebatan tenaga sin-kang yang amat panas dari tangan Setan Botak, tokoh Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju bersama. Maka serentak pedang-pedang mereka bergerak, ada yang membacok, ada yang menusuk, ada pula yang membabat. Tampak sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di dinding ruangan yang luas itu. Apalagi setelah beberapa orang anggauta Ho-han-hwe tadi menyalakan belasan batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di atas lantai di kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat indahnya. Tanpa terasa, senja telah berganti malam dan kini para anggauta Ho-han-hwe menonton pertandingan yang amat aneh dan yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Betapa mereka tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan pertandingan itu?

Baik ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan Botak, hanya duduk berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka terlampau jauh sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan tetapi, kini mereka "bertanding"

Dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan Botak dengan serangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar gemerlapan. Sebaliknya, Setan Botak menggerak-gerakkan kedua lengannya, kadang-kadang menangkis, ada kalanya mencengkeram dan mendorong, bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para pengeroyoknya. Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti api membara, juga mengepulkan uap putih seperti asap panas. Kalau dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim Chit-kiam sedang bermain-main.

Mereka tidak saling sentuh, namun mereka bergerak dengan sungguh-sungguh dan ruangan itu kini seperti dihujani sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin. Hanya beberapa orang saja di antara mereka, yaitu Lauw-pangcu, kedua Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang dengan hati penuh ketegangan. Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim Chit-kiam sedang bertanding melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang yang digerakkan oleh tenaga sin-kang tingkat tertinggi. Mengerti pula betapa selain sinar-sinar gemerlapan itu mengandung hawa maut, juga gerakan tangan Setan Botak itu mengandung hawa pukulan jarak jauh yang amat dahsyat.

Akan tetapi mereka yang tidak mengerti cara pertandingan seperti ini, menjadi amat penasaran. Si Setan Botak dan kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan Botak itu hanya duduk bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bukankah ini membuka kesempatan baik untuk membinasakannya? Mereka yang merasa amat benci kepada Setan Botak ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang dan menewaskan lima puluh orang lebih anggauta perkumpulan itu yang merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin membalas dendam. Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari belakang. Mereka bertujuh menggunakan senjata dan menyerang secara berbareng.

"Celaka....."

It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya yang tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu mencegah. Segera terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang anggauta Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang roboh dengan tubuh hangus. Mereka tadi seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang api, tidak tahu bahwa udara di sekitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan berkelebatnya sinar pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya api.

Sebelum mereka dapat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih dulu sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang membakar. Melihat ini, Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak hebat oleh Setan Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena mereka melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang dari mereka mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah kuat jauh sekali. Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin lemah dan terdesak sehingga ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi maju, biarpun mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar pedang mereka itu ada yang mengenai tubuh para penyerbu.

Maka begitu Song Kai Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan siasat terakhir. Dengan tangan kiri mereka menyentuh punggung kawan yang bersila di sebelah kiri, tangan kanan memegang pedang dan kini mereka telah menyatukan tenaga. Getaran sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun sama, hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga tujuh kali lipat kuat daripada tenaga perorangan. Ketika Si Setan Botak menangkis dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar pedang yang amat besar dan kuat yang menyambarnya, ia mengeluarkan seruan marah dan kaget. Ia berhasil menghalau sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek sedikit dan mengeluarkan darah"

"Keparat! Kalian sudah bosan hidup."

Posting Komentar