“Sudah suhu. Pada pertemuan teecu dengan nona ini, kami telah bertempur.” “Bagaimana keadaannya? Kau kalah?”
Gwat Kong hanya tersenyum sambil melirik ke arah Cui Giok. Gadis itulah yang menjawab sambil tersenyum pula, “Teeculah yang kalah, Sin-hong Tung-hoat benar-benar lihai!”
“Jangan percaya kepadanya, suhu,” Gwat Kong membantah. Kalau teecu tidak menggunakan Sin-hong Tung-hoat digabung Sin-eng Kiam-hoat tentu teecu yang kalah.”
Kembali kakek itu tertawa. Ia nampak senang sekali. “Dan apakah kalian pernah bertemu dengan ahli waris Pat-kwa-tin dan mencoba kelihaiannya?”
Dengan singkat Gwat Kong lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Ang Sun Tek, bahkan ia menuturkan tentang riwayat jahat dari Ang Sun Tek. Kemudian ia menuturkan pula tentang perjalanannya menuju Hong-san.
Setelah mendengar semua penuturan itu dengan sabar, kakek itu berkata, “Kalau kalian berdua yang maju menghadapi Liok-te Pat-mo, kalian takkan kalah. Gwat Kong, kalau bisa perjalanan ke Hong-san itu baik kau tunda dulu karena ada hal yang lebih penting dari pada itu. Ketahuilah bahwa murid-murid Go-bi-pai yang dikepalai oleh Seng Le Hosiang telah mengadakan tantangan untuk bertempur mati-matian dengan anak murid Hoa-san-pai yang dikepalai oleh Sin Seng Cu dan Thian Seng Cu. Mereka itu hendak mengadakan pertempuran di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun. Hal ini berbahaya sekali dan sudah menjadi kewajiban kita untuk berusaha mencegahnya. Aku mendapat tahu bahwa tantangan bertempur mengadu jiwa itu bukanlah kehendak ketua Go-bi-pai atau tokoh besar Hoa-san-pai. Oleh karena itu, hal ini harus diberitahukan kepada Thay Yang Losu, ketua Go-bi-pai dan kepada Pek Tho Sianjin ketua Hoa-san-pai. Dengan adanya campur tangan kedua orang tua itu, tentu pertempuran dapat dicegah dan permusuhan yang bodoh itu akan dilenyapkan. Tadinya aku sendiri hendak pergi ke Gobi dan Hoasan. Akan tetapi karena ada kau di sini, kau harus membantuku dan mewakili aku pergi ke Gobi dan Hoasan.”
“Akan tetapi, suhu. Bagaimana dengan anak murid Hoa-san-pai di Hong-san nanti? Mereka terancam oleh Liok-te Pat-mo dan para perwira kerajaan,” kata Gwat Kong ragu-ragu.
Bok Kwi Sianjin merasa ragu-ragu juga. “Ah, benar sulit.”
“Locianpwe,” tiba-tiba Cui Giok berkata. Karena kita bertiga dan hal yang perlu dilakukan juga tiga macam, mengapa sulit?” Kemudian ia memandang kepada Gwat Kong dan berkata,
“Urusan di Hong-san itu serahkan saja kepadaku, pasti beres. Kalau kau mewakili locianpwe ke Hoasan, yang tak berapa jauh dari sini, kemudian kau menyusul ke Hong-san. Bukankah hal itu akan beres mudah saja?”
Bok Kwi Sianjin tertawa tenang. “Nona Sie, kau benar-benar cerdik seperti kakekmu. Ha ha ha! Baik, demikianlah harus diatur, Gwat Kong. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Thay Yang Losu di Gobi, maka biarlah aku pergi ke Gobisan, sedangkan kau pergilah ke Hoasan membawa surat dariku untuk Pek Tho Sianjin. Nona ini bisa mewakili kau pergi ke Hong-san untuk membantu anak-anak murid Hoa-san-pai apabila mereka terancam bahaya.”
Terpaksa Gwat Kong menerima perintah ini. Kakek sakti itu lalu membuat sepucuk surat untuk ketua Hoa-san-pai kemudian ia tinggalkan kedua orang muda itu.
Cui Giok, kau berhati-hatilah. Kalau bertemu dengan Liok-te Pat-mo, harap kau berlaku hati- hati sekali, karena mereka itu benar-benar lihai.” Gadis itu tersenyum. “Jangan khawatir, Gwat Kong. Kuharap saja kau tidak terlalu lama di Hoasan dan segera menyusul ke Hong-san. Oh, ya, siapa namanya ketiga anak murid Hoa- san-pai itu? Aku lupa lagi.”
“Seorang gadis bernama Tan Kui Hwa dan dua orang pemuda kakak beradik bernama Pui Kiat dan Pui Hok.”
“Nah, selamat berpisah, Gwat Kong.” Gadis itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanan ke Hong-san. Gwat Kong berdiri memandang sampai bayangan Cui Giok lenyap di balik pohon. Kemudian iapun lalu lari cepat menuju ke Hoasan.
Karena ia amat tergesa-gesa hendak segera sampai di Hoasan dan segera kembali lagi ke Hong-san, maka biarpun perjalanannya ini melalui Kiang-sui, Gwat Kong tidak berhenti. Bahkan tidak mau masuk ke kota itu untuk menghindarkan rintangan perjalanannya.
Ketika ia tiba di Hoasan dan mendaki bukit itu, orang pertama yang menyambutnya adalah ....
Sin Seng Cu, tosu yang berangasan dan berwatak keras itu.
“Kau ?” Tosu itu membentak marah. “Apa kehendakmu naik ke Hoasan?”
Gwat Kong menjura dan memberi penghormatan sepantasnya. “Totiang, perkenankanlah aku menghadap kepada Pek Tho Sianjin.”
Pek Tho Sianjin adalah susiok (paman guru) dari Sin Seng Cu dan kakek itu pada waktu itu menjadi orang tertua dan tokoh tertinggi di Hoasan. Heran dan curigalah hati Sin Seng Cu mendengar bahwa pemuda ini hendak menghadap susioknya.
“Apa kehendakmu minta menghadap kepada susiok?”
“Totiang, maksud kedatanganku ini hanya dapat kuberitahukan kepada Pek Tho Sianjin sendiri, dan aku datang atas perintah suhuku yakni Bok Kwi Sianjin membawa surat suhu untuk diberikan kepada Pek Tho Sianjin.”
“Hmm, orang tua itu mau apakah berurusan dengan kami orang-orang Hoa-san-pai?” Akan tetapi biarpun ia berkata demikian, namun ia tidak berani menghalangi kehendak pemuda itu. Sebagai tuan rumah, ia masih mempunyai kesabaran dan tahu aturan.
“Ikutlah padaku!” katanya tanpa banyak cakap lagi. Gwat Kong mengikutinya naik ke puncak dan masuk ke dalam sebuah kuil di puncak.
Mereka masuk ke dalam ruang dalam di mana Pek Tho Sianjin sedang duduk bersila di atas bangku dan beberapa orang tosu sedang duduk dihadapannya. Agaknya kakek itu sedang memberi wejangan dan pelajaran ilmu batin tentang agama To kepada murid-muridnya.
“Maaf susiok, teecu berani mengganggu. Ada seorang murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap membawa surat dari orang tua itu,” kata Sin Seng Cu. Pek Tho Sianjin memandang kepada Gwat Kong dan pemuda itu tercengang melihat betapa kakek yang sudah amat tua itu memiliki sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam berpengaruh. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut hormat di depan kakek itu.
“Locianpwe, teecu Bun Gwat Kong murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap.”
“Ah, sudah belasan tahun pinto (aku) tidak bertemu dengan Bok Kwi Sianjin. Tidak tahunya ia telah mempunyai seorang murid yang gagah.” Kakek itu menarik napas panjang. Kemudian ia berkata kepada murid-muridnya,
“Keluarlah kalian dan pikirkan baik-baik semua pelajaran tadi.”
Semua tosu yang tadi duduk di depannya, meninggalkan tempat itu akan tetapi Sin Seng Cu tetap duduk di tempatnya.
“Sin Seng Cu, kau juga keluarlah dan biarkan pinto bicara sendiri dengan anak muda ini.”
Biarpun hatinya merasa tidak puas sekali, akan tetapi Sin Seng Cu tak berani membantah dan ia meninggalkan tempat itu dengan penasaran.
“Anak muda, ada keperluan apakah maka suhumu sampai menyuruhmu datang di tempat ini?”
“Teecu membawa sepucuk surat dari suhu untuk menyampaikan kepada locianpwe,” kata Gwat Kong yang lalu mengeluarkan surat itu dari saku bajunya dan menyerahkan surat itu dengan hormat kepada Pek Tho Sianjin.
Kakek itu menerima dan membaca surat itu. Berkali-kali terdengar ia menghela napas. Kemudian terdengar ia berkata,
“Memang Bok Kwi Sianjin lebih benar, tidak mau mengikatkan diri dengan perguruan- perguruan dan tidak mau mempunyai banyak murid. Eh, Gwat Kong, menurut surat gurumu, kau dapat menceritakan tentang pertikaian yang timbul di antara golongan Go-bi-pai dan golongan kami. Sebetulnya, bagaimanakah soalnya?”
Bingunglah Gwat Kong mendapat pertanyaan ini. Sebenarnya ia adalah seorang luar yang tidak mengetahui sejelas-jelasnya tentang pertikaian itu, yang ia ketahui hanya dari pengalaman-pengalamannya dan dari penuturan kedua saudara Pui. Maka ia menjawab dengan hati-hati,
“Locianpwe, semua permusuhan tentu ada sebabnya dan dalam permusuhan Go-bi-pai dan Hoa-san-pai ini, menurut pendapat teecu yang muda dan bodoh, disebabkan oleh sifat tidak mau mengalah. Menurut pendengaran teecu, pertama-tama disebabkan oleh pibu yang dilakukan oleh Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan Sin Seng Cu dari Hoa-san-pai. Kekalahan Seng Le Hosiang membuat murid-murid Go-bi-pai merasa penasaran dan menaruh dendam.
Oleh karena sudah ada bahan ini, apabila murid Hoa-san-pai bertemu dengan murid Go-bi- pai, keduanya tidak mau mengalah. Murid Gobi merasa penasaran dan hendak membalas kekalahan sedangkan murid Hoasan merasa lebih tinggi karena kemenangannya, maka pertempuran-pertempuran tak dapat dicegah lagi. Sekarang menurut penuturan suhu, kedua pihak hendak mengadakan pertempuran besar, maka kalau locianpwe tidak turun tangan mendamaikan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak.”
Pek Tho Sianjin mengangguk-angguk. “Aah, anak-anak itu membikin repot orang tua saja. Sin Seng Cu beradat keras dan ia perlu ditegur.”
Kakek itu lalu memanggil, “Sin Seng Cu !” Terkejutlah Gwat Kong mendengar suara
panggilan ini, karena bukan main nyaringnya sehingga ia merasa selaput telinganya menggetar dan sakit.
Sin Seng Cu datang menghadap dan berlutut di depan susioknya.
“Sin Seng Cu, perbuatan apalagi kau lakukan untuk mengacau dunia yang sudah kacau ini? Benarkah kau hendak mengadakan pertempuran besar-besaran dengan pihak Go-bi-pai di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun?”
Sin Seng Cu menundukkan kepalanya akan tetapi matanya mengerling ke arah Gwat Kong, “Maaf, susiok. Bukan pihak kami yang mulai lebih dahulu. Pihak merekalah yang mencari permusuhan.”
“Bodoh!” Pek Tho Sianjin membentak. “Lupakah kau bahwa api takkan bernyala kalau tidak bertemu dengan bahan kering? Lupakah kau telapak tangan kiri takkan mengeluarkan bunyi keras apabila tidak bertumbuk kepada telapak tangan kanan? Tak mungkin akan ada permusuhan dan pertempuran apabila pihak yang lain tidak melayani aksi pihak pertama.”