Gwat Kong menggeleng kepalanya. “Aaah, apakah selama ini aku tidur saja? Alangkah malasnya. Sudah berapa lamakah aku tertidur? Kita telah sampai di mana?” Ia memandang ke darat di mana nelayan tua itu sedang memanggang ikan.
“Kau menderita demam,” kata Cui Giok dan wajahnya berseri girang karena ternyata bahwa pemuda itu telah sembuh betul.
“Tubuhmu panas sekali, membikin aku dan lopek merasa gelisah dan bingung.” “Akan tetapi, kau ... kenapa kau kurus sekali...?” Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang kepada Cui Giok yang segera menundukkan mukanya. Setelah hatinya menjadi lapang melihat Gwat Kong sembuh, ia merasa lelah dan mengantuk sekali.
“Aku mengantuk ..... aku mau tidur Gwat Kong. ,” katanya sambil merebahkan diri dalam
perahu itu, berbatalkan lengan. Ia meramkan mata dan sebentar saja ia tidur nyenyak
sekali.
Gwat Kong termenung. Ia tidak tahu berapa lama ia telah jatuh sakit. Ia memandang kepada wajah Cui Giok yang tidur nyenyak. Gadis itu rebah dengan tubuh miring, menghadap kepadanya. Ia mengamati wajah yang agak pucat dan kurus itu, dan iapun merasa heran.
Mengapa Cui Giok nampak seperti orang sakit? Dan mengapa pula pada pagi hari gadis itu demikian mengantuk sehingga jatuh pulas begitu tubuhnya dibaringkan?
Perahu bergoyang sedikit ketika nelayan masuk ke dalam perahu membawa poci teh dan mangkok bubur.
“Makanlah bubur ini, kongcu. Aku girang sekali kau dapat bangun pagi ini.”
Gwat Kong menjadi amat terharu. “Berapa lama aku menderita sakit dan tidur saja, lopek?”
Kakek itu memandangnya dan mulutnya tersenyum. “Berapa lama? Tak kurang dari tiga malam, kongcu! Kau selama itu tidak ingat menderita demam panas, membuat kami merasa khawatir sekali.”
Gwat Kong tercengang dan makin terharu, “Aaah dan selama itu kau merawatku, lopek?
Alangkah berbudi hatimu. Aku harus menyatakan terima kasihku kepadamu.”
“Berbudi? Terima kasih kepadaku? Kongcu, kalau mau bicara tentang budi dan terima kasih, jangan tujukan itu kepadaku, akan tetapi kepada siocia ini. Dialah yang merawatmu selama itu!”
Gwat Kong memandang ke arah Cui Giok yang masih tidur nyenyak. “Dia ?” tanyanya terharu.
Kakek itu mengangguk-angguk. “Belum pernah aku melihat seorang gadis sedemikian setia dan mulia. Ia pasti menyintaimu dengan sepenuh hati dan jiwanya. Tahukah kau, kongcu bahwa dia selama tiga malam ini sedikitpun tidak pernah tidur? Bahkan dia hampir tidak makan sama sekali. Dan tak pernah pergi dari sisimu, menjagamu, merawatmu, menyuapkan bubur kepadamu. Bahkan tidak jarang ia menangisimu.”
Gwat Kong merasa betapa lehernya seakan-akan tercekik ketika sedu-sedan keharuan naik dari dalam dadanya.
“Be benarkah, lopek?” “Mengapa tidak benar?” Kakek itu mengangguk-angguk lagi. “Dia menjaga dan merawatmu bagaikan seorang ibu merawat anaknya, penuh kasih sayang dan kalau tidak ada dia, entah akan bagaimana jadinya dengan kau, kongcu. Kau benar-benar bahagia mendapat cinta kasih seorang gadis semulia dia ini ...” Kakek itu mengangguk-angguk lagi, dan keluar dari perahu itu.
Bukan main terharunya hati Gwat Kong. Ia menatap wajah Cui Giok yang kurus dan pucat. Tak terasa lagi dua titik air mata turun dan mengalir di pipinya. Alangkah mulia hati gadis ini, pikirnya. Gadis yang cantik dan luar biasa gagahnya ini, yang berkepandaian tinggi, telah merawatnya, menjaganya sampai tiga malam tanpa tidur sehingga muka menjadi pucat dan kurus.
Ah, bukan main. Hampir tak dapat dipercaya. Dengan perlahan Gwat Kong lalu menanggalkan mantel yang tadinya diselimutkan kepada tubuhnya itu, mantel merah kepunyaan Cui Giok. Ia lalu menghampiri gadis itu dan dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh gadis itu.
Kemudian ia duduk termenung lagi. Pikirannya bingung. Teringat ia kepada Tin Eng gadis yang dicintainya itu. Kemudian ia teringat akan penuturan nelayan tadi, tentang kecintaan dan kesetiaan Cui Giok. Ia menjadi bingung sekali memikirkan ini semua.
Setelah matahari naik tinggi, Cui Giok membuka matanya melihat Gwat Kong duduk di dekatnya. Ia segera berbangkit dan kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya, ialah,
“Gwat Kong, apakah kau sudah sembuh betul? Tidak merasa sakit lagi?”
Ucapan ini mengharukan hati Gwat Kong benar. Dari ucapan yang sederhana ini terjamin cinta kasih gadis itu yang amat besar. Begitu bangun dari tidur, yang menjadi perhatian pertama adalah keadaannya. Gwat Kong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memegang kedua tangan gadis itu dan sambil memandangnya tajam ia berkata dengan suara gemetar penuh perasaan,
“Cui Giok, alangkah mulia hatimu. Aku berterima kasih kepadamu, dan aku ... aku berhutang budi kepadamu. Percayalah bahwa selama aku hidup, aku takkan melupakan kamu dan hatimu ini ...”
Merahlah wajah Cui Giok. Untuk beberapa lama ia menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata yang mesra sekali, karena seluruh perasaan hatinya terpancar keluar dari pandang mata ini. Akan tetapi ia segera menundukkan muka dan menarik kedua tangannya.
“Aaah, baru saja sembuh kau sudah berlaku aneh, Gwat Kong. Di antara kita untuk apa berhutang budi. Gwat Kong mengapa kau sampai terluka? Ceritakanlah pengalamanmu di Kiang-sui. Aku sudah tak sabar lagi untuk mendengar ceritamu itu.”
Maka berceritalah Gwat Kong tentang pengalamannya di Kiang-sui. Betapa Tin Eng ditawan, dipaksa pulang oleh Ang Sun Tek. Beberapa lama kemudian Tin Eng minta pertolongannya untuk membantu anak murid Hoa-san-pai mencari harta pusaka yang juga dicari oleh Ang Sun Tek bersama kawan-kawannya. Juga ia menceritakan tentang pertempurannya melawan Liok-te Pat-mo dan perwira-perwira lain. “Ah, kalau saja aku tahu bahwa Liok-te Pat-mo berada di Kiang-sui, tentu aku akan pergi mencari mereka di sana,” kata Cui Giok setelah mendengar penuturan ini. “Gwat Kong, biarlah sekarang aku pergi ke Kiang-sui untuk menantang mereka.”
“Jangan, Cui Giok. Aku telah mengajukan tantangan kepada mereka dan juga sudah menyebutkan namamu. Agaknya Ang Sun Tek bersedia menghadapi kita di Sian-nang dan diam-diam aku telah mengadakan perjanjian ini dengan dia. Bahkan ketika aku terdesak, ia sengaja tidak mau membunuhku, hanya melukai pundakku, agaknya untuk memberi kesempatan agar aku dan kau kelak dapat bertempur dengan Pat-kwa-tin di Sian-nang. Lagi pula, sekarang mereka tidak berada di Kiang-sui lagi, karena mereka bertugas pula mencari harta pusaka itu di Hong-san. Maka dari itu, kalau kau tidak berkeberatan, Cui Giok, marilah kita pergi ke Hong-san lebih dahulu.”
“Hmm kau hendak mencarikan harta pusaka itu untuk Tin Eng?” Aneh, tiap kali menyebut nama Tin Eng, suara gadis ini gemetar, dan sinar matanya memancarkan cahaya ganjil.
“Itu hanya soal kedua, Cui Giok. Harta pusaka itu adalah hak milik kedua saudara Phang yang masih muda, keturunan dari Pangeran Phang Thian Ong. Yang terpenting bagiku adalah membantu murid-murid Hoa-san-pai, karena apabila mereka bertiga itu, yakni yang bernama Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok, sampai bersua dengan rombongan perwira kerajaan, mereka tentu akan mendapat bencana besar. Pula, selain maksud tersebut, kitapun akan dapat bertemu dengan Liok-te Pat-mo di tempat itu sehingga kita sekalian dapat menghadapi mereka dalam pibu. Bukankah ini berarti sekali bekerja banyak hasilnya?”
Cui Giok terpaksa harus menyatakan setujunya, oleh karena memang alasan pemuda itu kuat sekali. Liok-te Pat-mo sedang pergi ke Hong-san, maka untuk apa mencari mereka ke kota raja?”
“Baiklah, Gwat Kong. Akan tetapi, apakah kau sudah kuat betul untuk melakukan perjalanan ke sana?”
Gwat Kong tersenyum. “Tidak percuma kau merawatku selama tiga malam ini, Cui Giok. Aku sudah sembuh betul dan kalau digunakan untuk melakukan perjalanan darat, tentu kekuatanku akan timbul kembali.”
Mereka lalu berkemas dan menyatakan keinginan mereka kepada nelayan tua itu.
“Lopek,” kata Gwat Kong. “Kami terpaksa meninggalkan perahumu untuk melanjutkan perjalanan melalui darat. Besar jasamu untuk kami, lopek dan tak lupa kami menyatakan terima kasih kami. Terimalah sedikit uang ini sekedar pembalas jasamu.” Gwat Kong menyerahkan uang sepuluh tail kepada kakek itu.
Nelayan itu menghela napas. “Kongcu, selama aku menjadi nelayan, baru kali ini aku merasa beruntung mempunyai penumpang-penumpang seperti kongcu dan siocia. Aku merasa seakan-akan melakukan pelayaran dengan keluarga sendiri. Mudah-mudahan kalian berdua selamat dan bahagia, kongcu dan besar harapanku kelak kita akan dapat bertemu pula.”
Juga Cui Giok menyatakan terima kasihnya dan sebagai tanda jasa, ia memberi sebuah hiasan rambut dari pada emas. Kakek itu menerimanya dengan penuh kegirangan. Maka berangkatlah Cui Giok dan Gwat Kong meninggalkan perahu itu, langsung menuju ke selatan untuk pergi ke Hong-san. Pada hari-hari pertama mereka melakukan perjalanan seenaknya dan lambat karena kesehatan Gwat Kong baru saja sembuh. Akan tetapi, tiga hari kemudian, Gwat Kong sudah sembuh sama sekali dan mereka dapat melakukan perjalanan dengan cepat mempergunakan ilmu lari cepat. Setelah mereka tiba di pantai sungai Huang-ho mereka lalu membelok ke kiri, menuju ke timur karena bukit Hong-san terletak di lembah sungai Huang-ho sebelah timur.
Pada suatu hari, ketika mereka sedang berlari cepat melalui sebuah hutan, tiba-tiba dari depan mereka melihat seorang kakek tua yang rambutnya putih, pakaiannya putih bersih penuh tambalan. Biarpun kakek itu berjalan dibantu oleh tongkatnya, akan tetapi kedua kakinya seakan-akan tidak mengambah bumi.
Cui Giok mengeluarkan seruan heran dan terkejut menyaksikan ilmu ginkang yang sedemikian hebatnya, akan tetapi Gwat Kong berseru dengan girang,
“Suhu !”
Memang kakek itu bukan lain adalah Bok Kwi Sianjin, pencipta ilmu tongkat Sin-hong Tung- hoat, yang pernah melatih ilmu silat itu kepada Gwat Kong. Sebagaimana diketahui, tempat pertapaan kakek sakti ini memang dekat sungai Huang-ho.
Melihat Gwat Kong yang berlutut di depannya, dan juga seorang nona cantik jelita yang gagah berlutut pula di depannya di sebelah Gwat Kong, kakek itu nampak girang sekali.
“Bagus! Memang agaknya Thian menaruh kasihan kepada sepasang kakiku yang tua sehingga kita dapat bertemu di sini. Gwat Kong, siapakah kawanmu yang manis dan gagah ini?”
“Suhu, dia ini Sie Cui Giok, cucu dari Sie Cui Lui locianpwe. Dialah yang menjadi ahli waris Im-yang Siang-kiam-hoat!”
Tercenganglah kakek itu mendengar keterangan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa Im- yang Siang-kiam-hoat terjatuh ke dalam tangan seorang gadis muda secantik ini.
“Ah, bagus, bagus! Nona, aku kenal baik kepada kakekmu Sie Cui Lui itu!” Dengan amat hormatnya, Cui Giok berkata,
“Locianpwe, harap sudi menerima hormat dari aku yang muda dan bodoh.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Gwat Kong, apakah kau sudah mencoba Im-yang Siang-kiam dengan tongkatmu?”