“Gwat Kong, kau terluka ?” Cui Giok berbisik penuh perhatian. Mendengar pertanyaan
ini, Gwat Kong teringat akan ucapan Tin Eng yang sama pula. Tin Eng juga mengeluarkan bisikan seperti itu ketika menyerahkan kuda tadi. Gelap kedua mata Gwat Kong dan tak dapat ditahannya lagi. Ia lalu roboh tak sadarkan diri.
“Gwat Kong !”
Cui Giok menjerit perlahan dan ia lalu mencabut anak panah yang masih menancap di punggung pemuda itu. Ia merasa ngeri melihat dara mengalir keluar dari punggung itu. Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek baju Gwat Kong dan sambil melepaskan kepala pemuda itu di atas pangkuannya, ia lalu membalut luka pemuda itu dengan ujung ikat pinggangnya yang diputuskannya. Nelayan tua itupun membantunya dan melihat betapa gadis itu hendak membalut pundak dan punggung yang luka, ia berkata dengan tenang,
“Tenanglah, siocia. Luka ini tidak besar dan berbahaya. Sebelum dibalut, lebih baik dicuci lebih dahulu.”
Nelayan itu lalu membuat api di atas perahu dan memasak air sungai, karena menurut pengalamannya, untuk mencuci luka, lebih baik menggunakan air yang telah matang. Sementara itu, Cui Giok menutup luka dipunggung dan pundak Gwat Kong dengan sapu tangannya yang telah basah oleh darah.
Melihat muka Gwat Kong yang pucat dan tak bergerak bagaikan mayat itu, hatinya terasa gelisah dan terharu. Pikirannya bingung tidak keruan sehingga tanpa disadarinya pula beberapa titik air matanya menetes turun dan mengenai muka Gwat Kong. Karena sapu tangannya telah penuh dengan darah, Cui Giok lalu menggunakan ujung bajunya untuk menghapus air mata yang membasahi hidung dan pipi pemuda itu.
Malam tiba dengan lambat, sama lambatnya dengan perahu kecil yang hanyut oleh aliran air sungai Yung-ting. Untuk menjaga serangan angin malam, Cui Giok telah memindahkan Gwat Kong ke dalam perahu, menyelimuti tubuh pemuda itu dengan selimut mantelnya dan menggunakan setumpuk pakaian sebagai bantal. Ketika perahu itu tiba di sebuah tempat yang banyak pohonnya, Cui Giok minta nelayan minggirkan perahu dan nelayan tua itu lalu mengikat perahu pada akar pohon.
Angkasa penuh bintang gemerlapan membuat langit nampak bagaikan beludru hitam terhias ratna mutu manikam yang serba indah. Nelayan itu membuat api unggun di tepi sungai dan karena ia merasa amat lelah, ia tertidur di bawah pohon, dekat api unggun.
Akan tetapi Cui Giok tak dapat tidur. Ia semenjak tadi duduk menjaga di dekat Gwat Kong setelah mencuci luka-luka di tubuh pemuda itu dan membalutnya dengan hati-hati. Gwat Kong masih tetap tak sadar, tak bergerak dengan wajah pucat. Akan tetapi pernapasannya normal dan Cui Giok menjaga dengan hati gelisah. Gadis ini hanya memperhatikan jalan pernapasan Gwat Kong, seakan-akan khawatir kalau-kalau jalan pernapasan itu tiba-tiba berhenti.
Beberapa kali ia meraba-raba jidat pemuda itu dan mencoba untuk memanggil-manggilnya. Akan tetapi Gwat Kong tetap tak sadar, bagaikan seorang yang tidur nyenyak.
Bukan main gelisahnya hati dara itu. Ia tidak mempunyai pengalaman merawat orang sakit, dan tidak tahu harus berbuat apa. Kadang-kadang ia mencucurkan air mata kalau kegelisahannya memuncak, takut kalau-kalau Gwat Kong akan mati karena luka-lukanya ini.
Setelah dapat menahan air matanya, ia memandang dengan mata sayu dan menghela napas panjang berulang-ulang. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar keluhan dari mulut pemuda itu dan tangannya bergerak-gerak.
“Gwat Kong ” Cui Giok memanggil dengan mesra dan memegang tangan pemuda itu. Ia
merasa betapa Gwat Kong menekan jari-jari tangannya dan memegang tangannya itu erat- erat.
“Gwat Kong ” kembali Cui Giok memanggil perlahan dengan suara gemetar penuh
perasaan. Ia merasa girang karena pemuda itu telah siuman kembali.
Gwat Kong membuka matanya, akan tetapi ia tidak mengenal Cui Giok terbukti dari pandang matanya yang liar. Penerangan api lilin di dalam perahu itu hanya suram-suram. Akan tetapi Cui Giok dapat melihat betapa pipi Gwat Kong merah sekali. Ia mengulur tangan menyentuh jidat pemuda itu. Alangkah kagetnya, ketika merasa betapa jidat itu panas membara. Gwat Kong telah terserang demam yang timbul karena luka-lukanya. Luka itu memerlukan perawatan dan pengobatan, akan tetapi Cui Giok dan nelayan itu tidak mempunyai obat dan tidak tahu pula harus memberi obat apa, maka hanya dicuci dan dibalut. Inilah yang membuat luka itu membengkak dan menimbulkan panas demam.
“Panas ..... panas ” Gwat Kong berkata gelisah sambil menggoyang kepala ke kanan kiri.
Cui Giok makin bingung. “Bagaimana Gwat Kong ...? Sakitkah ?”
“Panas .... minum ” Gwat Kong berkata setengah sadar.
Cui Giok cepat berbangkit dan mengambil minum yang tersedia di cawan. Ia mengangkat kepala pemuda itu dan memberi minum yang diminum oleh Gwat Kong dengan lahapnya. Kemudian ia meletakkan kepala pemuda itu di atas tumpukan pakaian lagi. Akan tetapi Gwat Kong tetap gelisah. Kepalanya berdenyut-denyut, tubuhnya terasa amat panasnya. Bagaikan seorang gila ia merenggut pakaiannya dan “bret .... bret ...” bajunya terobek dan terbuka sehingga tubuhnya bagian atas terbuka dan telanjang sama sekali.
“Eh, jangan begitu, Gwat Kong! Kau nanti terkena angin!” kata Cui Giok yang segera menarik mantelnya untuk diselimutkan kepada tubuh Gwat Kong.
“Panas ,” Gwat Kong makin gelisah dan kepalanya miring ke kanan kiri sehingga
akhirnya terjatuh dari tumpukan pakaian itu.
“Diamlah, Gwat Kong. Tenanglah!” Cui Giok hampir menangis saking gelisahnya dan bingungnya. Ia memegang kepala Gwat Kong, mengangkatnya dan meletakkan kepala itu di atas pangkuannya sambil memeluk kepala itu erat-erat agar jangan tergoyang ke kanan kiri. Ia menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu untuk memijit-mijit kepala Gwat Kong dengan mesra. Agaknya Gwat Kong merasa nyaman dipijit-pijit dan dipeluk kepalanya itu.
Karena ia menjadi tenang lagi dan sambil meramkan mata ia tertidur pula di atas pangkuan Cui Giok.
Gadis itu merasa lega dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir kalau-kalau ia mengagetkan Gwat Kong. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap rambut kepala pemuda itu bagaikan seorang ibu mengelus-elus kepala anaknya. Kasih sayangnya terhadap pemuda ini meluap-luap dan hatinya berdebar penuh kebahagiaan.
Semalam suntuk Cui Giok memangku kepala Gwat Kong dengan hati-hati dan tidak berani bergerak sedikitpun sehingga kedua kakinya terasa lumpuh dan kaku kesemutan karena darahnya tidak dapat berjalan dengan baik. Namun ia dapat mempertahankan diri dengan setia. Tubuh Gwat Kong masih panas sekali sehingga rasa panas yang hebat menembus pakaian dan membuat kedua paha Cui Giok terasa panas bagaikan dekat api.
KETIKA matahari mulai menyinarkan cahayanya, nelayan tua itu terjaga dari tidurnya. Melihat betapa Cui Giok masih duduk di dalam perahu sambil memangku kepala Gwat Kong, ia menggeleng-geleng kepala dan merasa amat terharu, teringat akan anak perempuannya yang telah mati.
“Siocia, tidurkan kongcu di atas tumpukan pakaian dan kau perlu beristirahat.” Akan tetapi Cui Giok menggelengkan kepala dan berbisik,
“Tubuhnya panas sekali, lopek. Agaknya ia terkena demam.”
Nelayan itu meraba jidat Gwat Kong dan keningnya berkerut ketika merasa betapa panasnya jidat pemuda itu.
“Hmmm, benar-benar ia terkena demam,” katanya.
Pada saat itu, Gwat Kong sadar kembali dan menggeliat-geliat karena napasnya. Cui Giok menaruh kepala pemuda itu di atas bantal pakaian dan memberinya minum lagi.” “Kita berhenti dulu di sini, lopek. Tak perlu melanjutkan pelayaran,” katanya.
Demikianlah dengan penuh perhatian dan amat telaten dan sabar, Cui Giok dan nelayan tua itu merawat Gwat Kong. Ternyata bahwa luka di bagian punggung yang terkena anak panah itu membengkak dan berwarna merah sekali. Luka di pundak sudah mulai mengering.
Agaknya anak panah itu telah berkarat sehingga mendatangkan racun dan membuat luka itu bengkak dan panas.
Sampai tiga hari Gwat Kong terserang demam dan tidak ingat akan keadaan sekelilingnya. Akan tetapi pemuda itu bertubuh kuat dan darahnya yang sehat ternyata mempunyai daya tahan yang luar biasa sehingga biarpun luka itu tidak diobati akan tetapi tiga hari kemudian bengkaknya mengempis dan panasnya turun.
Ia mulai sadar dan teringat akan semua kejadian. Ketika ia membuka mata, sadar dari tidurnya yang sudah mulai tenang, ia mendapatkan Cui Giok duduk di dekatnya dan kagetlah ia ketika melihat betapa gadis itu nampak pucat dan kurus, sepasang matanya agak cekung. Ia tidak tahu bahwa selama tiga hari itu Cui Giok hampir tidak makan sama sekali, hanya makan sedikit kalau sudah dipaksa-paksa dan diberi nasehat oleh nelayan tua itu.
“Siocia,” nelayan itu memberi nasehat dengan terharu. “Kau benar-benar seorang gadis berhati mulia dan amat setia kepada kawanmu. Akan tetapi, kongcu telah menderita sakit dan betapapun juga, kita harus bersabar. Kalau kau menyiksa dirimu sendiri, tidak tidur dan tidak makan, bagaimana kalau kau sampai menderita sakit pula? Bukankah hal itu membuat keadaan menjadi makin buruk? Kalau kau jatuh sakit pula, siapa yang akan merawat kongcu? Aku sudah tua dan bodoh. Bagaimana aku dapat mengurus kalian berdua kalau keduanya jatuh sakit? Maka dari itu, makanlah siocia, biarpun hanya sedikit!”
Setelah diberi nasehat dan dibujuk-bujuk, barulah Cui Giok mau makan sedikit bubur, akan tetapi apabila ia memandang ke arah Gwat Kong, ia melepaskan mangkuk buburnya lagi.
Dengan telaten ia menyuapkan bubur ke mulut Gwat Kong dan selama tiga hari itu biarpun ia makan sedikit bubur, namun ia sama sekali tak pernah tidur.
Ketika Gwat Kong sadar dan melihat keadaan Cui Giok, ia bangun dan dibantu oleh Cui Giok, ia duduk. Tubuhnya masih lemah, akan tetapi tidak panas lagi dan kepalanya tidak pusing.
“Bagaimana, Gwat Kong? Apakah masih merasa sakit dan pusing?” tanya Cui Giok penuh perhatian.