Terdengar Ang Sun Tek tertawa bergelak, akan tetapi mereka kini menyerang kembali dengan mengendurkan dan tidak sungguh-sungguh. Gwat Kong terkejut sekali, akan tetapi ia juga bersyukur oleh karena Ang Sun Tek ternyata tidak hendak mencelakainya, hanya terdorong oleh karena kesombongannya hendak memberi peringatan bahwa Pat-kwa-tinh tidak boleh dibuat main-main.
Karena merasa bahwa percuma saja baginya untuk melanjutkan perlawanan lebih lanjut, Gwat Kong lalu menyerbu keluar hendak melarikan diri. Ia berhasil membabat putus tombak Lim Pok Ki yang menghadang di jalan. Kemudian ia menyerbu keluar dari bagian yang terjaga oleh Lim-ciangkun itu. Para penjaga di belakang yang dipimpin oleh Liok Ong Gun segera menghadang di jalan dengan senjata diputar dan kembali Gwat Kong terkurung.
Akan tetapi kini Liok-te Pat-mo tidak ikut mengurung karena ketika Gwat Kong lari, mereka sengaja tidak mau mengejar. Biarpun kini dikurung lagi, namun oleh karena para pengeroyoknya hanya terdiri dari penjaga-penjaga yang berkepandaian biasa, mudah bagi Gwat Kong untuk merobohkan beberapa orang dan membikin terpental banyak senjata lawan. Kemudian ia melompat lagi keluar dari kepungan. Para pengeroyoknya mengejar sambil berteriak-teriak.
Cepat bagaikan seekor burung walet, Gwat Kong melompat ke atas pagar tembok yang mengurungi taman bunga itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tembok, dari luar tembok menyambar anak panah dan piauw bagaikan hujan ke arah tubuhnya. Untung baginya, ia telah berlaku waspada dan tenang sehingga dengan cepat ia lalu memutar pedangnya dengan gerakan Sin-eng Po-in (Garuda sakti menyapu awan) sehingga seluruh tubuhnya bagian depan terlindung oleh sinar pedang dan semua anak panah dan senjata rahasia lain tertangkis runtuh ke bawah tembok.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendengar suara sambaran angin senjata rahasia dari belakang. Ternyata bahwa para pengejar di sebelah dalam taman itupun telah menyerangnya dengan senjata-senjata rahasia pula.
“Pengecut!” Gwat Kong berseru dan menggunakan kedua kakinya menggenjot tubuh dan melompat ke bagian lain di atas pagar tembok itu. Akan tetapi, oleh karena ia tidak dapat menggunakan pedangnya untuk menangkis ke belakang pada saat pedangnya digunakan untuk menangkis senjata rahasia dari depan, maka biarpun lompatannya cepat sekali, namun masih ada sebatang anak panah yang menancap pada punggungnya.
Baiknya pemuda ini telah siap sedia dan mengerahkan tenaga khikang di bagian tubuh belakang. Biarpun anak panah itu menancap pada punggungnya, akan tetapi tidak dalam betul, hanya kepalanya saja yang menancap. Betapapun juga, ia merasa sakit sekali, terutama karena luka di pundak kirinya dan keroyokan-keroyokan itu membuat ia merasa lelah dan darah yang keluar dari luka-lukanya membuat ia merasa pening kepala.
Dengan cepat Gwat Kong lalu menyambar turun sambil memutar pedangnya. Ketika para tentara penjaga di luar tembok itu menyerbu, ia berlaku ganas, dan roboh mandi darah.
Namun, para penjaga masih saja mendesak maju. Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Barisan penjaga, mundur!”
Para penjaga mengenal suara ini dan menjadi ragu-ragu. Ketika Gwat Kong menengok, alangkah kaget dan girangnya karena yang membentak itu adalah Tin Eng yang datang menuntun seekor kuda putih.
“Gwat Kong, lekas kau lari!” kata gadis itu sambil menyerahkan kendali kuda. Para penjaga tidak berani menyerang oleh karena gadis majikannya itu berada bersama Gwat Kong.
“Tin Eng,” bisik Gwat Kong. “Jaga dirimu baik-baik. Aku akan kembali kelak ”
“Gwat Kong, kau terluka ?”
“Tidak mengapa, hanya luka sedikit!” kata Gwat Kong yang segera melompat ke atas kuda dan segera membalapkan kuda putih itu dengan cepat. “Aku menunggu ” masih terdengar suara Tin Eng dan gadis itu segera melompat kembali
ke dalam pintu depan untuk kembali ke kamarnya, sebelum ayahnya yang masih berada di dalam taman bunga itu melihatnya. Gadis ini tadi mendengar teriakan-teriakan di luar gedung, dan karena ia maklum bahwa Gwat Kong sedang dikeroyok, maka dengan nekad gadis ini lalu berlari keluar, tidak memperdulikan teriakan dan larangan ibunya. Ia melihat betapa Gwat Kong dikeroyok dan sedang bertempur mati-matian. Maka ia lalu cepat mengambil seekor kuda yang terbaik dari kandang kudanya kemudian menuntun kuda itu keluar dan menolong Gwat Kong melarikan diri.
Ketika Liok-taijin berlari keluar, ia masih melihat bayangan Gwat Kong di atas kuda yang melarikan diri dengan amat cepatnya.
“Keluarkan kuda!” teriaknya. “Kejar bangsat itu sampai dapat!”
Sepasukan berkuda lalu melakukan pengejaran, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri.
Gwat Kong membandel kudanya dan ketika ia menengok, ia melihat sepasukan berkuda yang terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri melakukan pengejaran. Karena ia tidak melihat Liok-te Pat-mo di antara para pengejar itu, kalau ia mau, ia akan dapat menghadapi mereka. Akan tetapi ia telah merasa jemu dan pening. Apalagi karena ia tidak mau melawan Liok-taijin bekas majikannya sendiri itu.
Baiknya Tin Eng memberikan kuda putih yang paling baik di antara semua kuda di dalam kandang Liok-taijin. Bahkan kuda putih ini adalah kesayangannya ketika ia masih menjadi pelayan di gedung itu. Maka ia dapat melarikan kuda itu dengan amat cepatnya sehingga para pengejarnya tertinggal di belakang.
Anak panah yang mengenai punggungnya masih menancap di punggung. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir karena luka itu hanyalah luka di luar saja yang cukup mendatangkan rasa panas dan sakit.
Ia hanya mengharapkan untuk cepat sampai di sungai, di mana perahu telah menunggu, di mana Cui Giok dan nelayan tua telah menunggunya. Mudah-mudahan Cui Giok dan nelayan itu ada di sana, pikirnya. Bagaimana kalau Cui Giok tidak berada di dalam perahu?
Bagaimana kalau nona itu sedang pergi meninggalkan perahu untuk menghibur diri ke darat?
Ia telah terlalu lama meninggalkan Cui Giok. Ketika ia berangkat tadi, matahari baru saja muncul. Sekarang matahari telah jauh berada di barat. Hampir sehari penuh ia meninggalkan perahu. Ah, Cui Giok tentu merasa amat kesepian. Mengingat akan hal ini, Gwat Kong makin mempercepat larinya kuda yang ditendang-tendangnya sehingga kuda itu membalap bagaikan terbang cepatnya.
Ketika ia lewat di bukit dekat sungai itu, dan membelok ke kiri, hatinya merasa girang sekali. Hampir saja ia berseru karena girangnya ketika melihat bahwa Cui Giok sedang berdiri di kepala perahu. Gadis itu berdiri lurus dan jelas terlihat dari jauh bahwa gadis itu sedang menungguinya. Angin yang bertiup perlahan membuat ikat pinggang gadis itu melambai- lambai seakan-akan menyuruh ia datang lebih cepat.
Gwat Kong telah merasa pusing sekali, akan tetapi ia tersenyum girang. “Cui Giok,” bisiknya di dalam hati. “Kau benar-benar menungguku ,” ia memandang
kepada gadis yang berdiri dengan gagah dan cantik menarik itu.
Sementara itu, Cui Giok berdiri dengan mulut merengut. Ia marah sekali setelah melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu semenjak tadi. Semenjak Gwat Kong pergi, ia duduk termenung saja, dan setelah hari menjadi siang, ia mulai gelisah karena belum juga melihat Gwat Kong kembali.
Ketika nelayan tua itu telah memasak nasi dan menyuruh ia makan, gadis itu menolaknya, menyatakan bahwa ia belum lapar. Nelayan itu menggeleng-gelengkan kepala dan maklum bahwa gadis ini tak merasa senang karena Gwat Kong tidak berada di situ.
“Kongcu tentu akan kembali, siocia. Makanlah dulu dan jangan khawatirkan dia.”
“Siapa memikirkan dia?” kata Cui Giok marah. “Biar dia tidak kembali sekalipun, aku tidak perduli.” Akan tetapi ia tahu bahwa ucapannya ini bohong belaka.
Setelah hari menjadi makin gelap, kegelisahannya memuncak. Semenjak tadi ia berdiri di kepala perahu memandang ke arah jalan tikungan di balik bukit itu dengan wajah sayu dan muram. Ingin sekali ia menyusul ke Kiang-sui. Akan tetapi ia merasa malu kepada Gwat Kong dan malu kepada diri sendiri. Ia teringat akan dongengan nelayan tadi, dan diam-diam di dalam hatinya terdengar nyanyian,
“Seribu tahun dinda akan menanti juga!”
Ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul dari balik bukit sambil menunggang seekor kuda putih, dadanya berdebar dan mukanya terasa panas. Sepasang matanya terasa pedas karena air mata hampir menitik turun. Sedangkan mulutnya menjadi cemberut. Ia gemas dan marah.
Lenyaplah semua kegelisahannya berganti oleh rasa marah mengapa pemuda itu demikian lama meninggalkannya.
Akan tetapi, ketika melihat pasukan berkuda yang mengejar dari belakang, kemarahannya lenyap tersapu angin dan pada wajahnya yang manis itu terbayang kegelisahan hebat. Apalagi setelah Gwat Kong tiba di depannya dan pemuda itu melompat turun terhuyung-huyung dengan tubuh lemas. Ia menjadi kaget sekali. Dengan lompatan kilat ia mendarat dan memegang tangan pemuda itu,
“Gwat Kong, apa yang terjadi ?” suaranya gemetar ketika ia melihat pundak pemuda itu
yang penuh darah dan terbelalak matanya ketika melihat anak panah di punggung pemuda itu.
“Cui Giok! Syukurlah kau berada di perahu. Lekas kita pergi dari sini. Lopek, lekas lepaskan tambang perahu dan jalankan perahu.”
Cui Giok menggandeng tangan Gwat Kong masuk ke dalam perahu. Ia penasaran sekali.
“Gwat Kong, kau beristirahatlah dan biar aku menghajar sampai mampus semua pengejarmu itu.” Sambil berkata demikian, Cui Giok lalu mencabut sepasang pedangnya yang disimpan di buntalan pakaiannya.
Akan tetapi Gwat Kong memegang tangannya. “Jangan, Cui Giok. Jangan lawan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Liok-taijin dan aku tak dapat melawan dia. Lopek, hayo cepat jalankan perahu!”
Nelayan itu tak perlu diperintahkan lagi, karena dengan ketakutan ia telah melepaskan tambang yang mengikat perahu dan cepat mendayung perahu itu ke tengah sungai, yang menghanyutkan perahu itu dengan cepat, dibantu oleh tenaga dayung nelayan itu.
Cui Giok merasa dadanya panas. “Hmm, kau tidak mau melawan orang she Liok itu, karena dia ayah .... Tin Eng ...??” Nada suaranya penuh perasaan cemburu.
Gwat Kong menjatuhkan diri di bangku perahu. “Tidak ..., aku, aku ah, pening sekali
kepalaku ”
Lenyap pula kemarahan Cui Giok. Ia berlutut dan menahan tubuh Gwat Kong yang lemah.
Sementara itu para pengejar tiba di pantai sungai dan terdengar mereka memaki-maki marah, karena mereka tidak berdaya mengejar perahu yang telah jauh itu. Tak lama kemudian mereka lalu melarikan kuda kembali sambil membawa kuda yang tadi ditunggangi oleh Gwat Kong.