Gwat Kong berlari cepat mengitari bukit itu dan benar saja, tak lama kemudian nampaklah tembok kota Kiang-sui di depan matanya. Hatinya berdebar ketika ia melihat kota yang pernah ditinggalinya sampai beberapa tahun itu dan teringatlah ia kepada Tin Eng. Bagaimana kalau ia mengunjungi gedung Liok-taijin? Apakah pembesar itu masih marah kepadanya? Ia teringat pula kepada Gan Bu Gi yang pernah menyerang dan hendak menangkapnya. Ia lalu turunkan pedang dan menggantungkan sarung pedang Sin-eng-kiam di pinggangnya. Tadi ia sengaja membawa pedang yang biasanya disimpan dalam bungkusan pakaian ini, untuk menjaga kalau-kalau terjadi sesuatu. Ia tak perlu menyembunyikan kepandaiannya lagi, bahkan kalau perlu ia hendak memperlihatkan kepada Liok-taijin bahwa dia bukanlah Gwat Kong si pelayan yang bodoh dan lemah.
Kota Kiang-sui tidak banyak berubah semenjak ditinggalkan. Keadaannya masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran besar makin banyak dikunjungi orang. Gwat Kong berjalan-jalan melihat-lihat kota, bahkan ia berjalan di jalan raya depan gedung Liok-taijin. Akan tetapi pada saat ia berjalan lewat di depan gedung itu, ia tidak melihat seorangpun di depan gedung. Ia tidak berani masuk karena apakah yang akan dijadikan alasan untuk memasuki rumah itu?
Bagaimana kalau ia diusir seperti pengemis?
Gwat Kong lalu menuju ke sebuah restoran besar yang dulu hanya dilihat dari luar saja. Ia maklum bahwa masakan restoran ini amat lezat dan mahal. Ia dahulu hanya dapat merasai masakan restoran ini apabila Liok-taijin membeli masakan dari situ dan ia mendapatkan sisanya. Kini ia ingin masuk dan membeli masakan sendiri, ingin duduk di bangku menghadapi meja di restoran yang besar dan mewah itu.
Restoran besar itu mempunyai tiga ruang dan karena ruang di sebelah kanan dan tengah sudah padat dengan tamu-tamu, Gwat Kong lalu melangkah memasuki ruangan sebelah kiri. Baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, ia mendengar ribut-ribut di ruang itu dan ketika ia memandangnya, alangkah terkejutnya melihat dua orang pemuda yang masih dikenalnya, yakni Pui Kiat dan Pui Hok kedua orang murid Hoa-san-pai yang pernah bertemu dengannya dahulu itu duduk menghadapi meja dan sedang dibentak-bentak oleh seorang setengah tua yang berjenggot runcing.
“Kalian ini bajingan-bajingan kecil sungguh menjemukan sekali!” si jenggot runcing itu membentak-bentak. “Tidak tahukah kau siapa aku? Apakah kalian mencari mampus? Aku tahu bahwa kalian selalu mengikuti rombonganku semenjak dari Keng-hoa-bun sampai ke Kiang-sui. Aku sengaja mendiamkan saja karena menyangka bahwa kalian hanya dua orang penjahat tangan panjang. Akan tetapi sampai sekarang kalian tidak bergerak, bahkan masih terus mengintaiku. Sekarang, katakanlah terus terang apakah kehendakmu? Awas, kalau tidak berkata terus terang, kepalanku akan meremukkan kepalamu berdua seperti ini!” Sambil berkata demikian, si jenggot runcing itu menggunakan kepalan tangannya ditekukkan dengan perlahan pada ujung meja di mana kedua saudara Pui itu duduk dan hancurlah kayu tebal
itu bagaikan terpukul dengan penggada baja.
Gwat Kong merasa amat terkejut melihat kehebatan tenaga orang itu dan melihat demonstrasi ini saja ia maklum bahwa kedua murid Hoa-san-pai itu bukanlah lawan orang yang kosen ini. Maka ia lalu melangkah maju dan pada saat itu melihat seorang lain duduk menghadapi meja di belakang si jenggot runcing yang sedang marah itu. Orang ini bukan lain adalah Gan Bu Gi yang berpakaian sebagai panglima besar yang indah dan mentereng. Akan tetapi Gwat Kong tidak memperdulikan. Gan Bu Gi hanya langsung menghampiri meja. Pui Kiat dan Pui Hok, sengaja menuju ke depan si jenggot runcing itu dan berdiri membelakanginya.
“He, saudara2 Pui!” tegurnya keras.
Pui Kiat dan Pui Hok masih duduk dengan muka pucat. Mereka tidak mengira sama sekali bahwa diam-diam Ang Sun Tek yang memimpin pasukan dan menawan Tin Eng itu mengenal mereka dan tahu bahwa mereka mengikutinya sampai ke Kiang-sui. Karena terkejut, heran dan gelisah, mereka tadi duduk diam saja bagaikan patung tak tahu harus berbuat apa.
Melihat pukulan Ang Sun Tek pada meja, mereka terkejut dan percaya kepada penuturan Kui Hwa bahwa Ang Sun Tek memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka. Maka mereka berdua menjadi gentar juga. Selagi Pui Kiat dan Pui Hok tercengang dan mencari-cari alasan untuk menjawab, tiba-tiba muncul Gwat Kong di depan mereka. Untuk beberapa lama mereka tidak mengenal Gwat Kong, akan tetapi Pui Kiat lalu teringat akan pemuda aneh dan lihai yang pernah menolong mereka ketika mereka terdesak oleh Bong Bi Sianjin.
“Ah, Bun-taihiap!” katanya girang sekali. Bagaimana pemuda ini selalu muncul pada waktu mereka terancam bahaya? “Kau dari mana? Silahkan duduk!”
Sementara itu, Ang Sun Tek menjadi marah sekali melihat pemuda yang tidak memperdulikannya dan bahkan secara sengaja berdiri menghalanginya dan membelakanginya.
“Minggir kau, bedebah!” katanya sambil menggunakan tangan kanan memegang siku lengan kiri Gwat Kong.
Angin gerakan Ang Sun Tek ini membuat Gwat Kong maklum bahwa apabila sambungan sikunya terpegang, ada bahaya sambungan sikunya akan terluka atau terlepas maka dengan cepat sekali sehingga tidak terlihat oleh kedua saudara Pui yang memandang cemas, ia menggerakkan sikunya ke atas mengelak pegangan itu sehingga tangan Ang Sun Tek yang mencengkeram itu tidak mengenai siku akan tetapi mengenai lengan.
Gwat Kong menggeser kakinya dan membalikkan tubuh sambil mengerahkan tenaga dalam dengan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup hawa melindungi jalan darah), sehingga lengan yang dicengkeram itu tidak terluka bagian dalamnya. Kemudian ia melangkah ke belakang dengan cepat sambil membetot lengannya itu terlepas dari pegangan Ang Sun Tek.
Ang Sun Tek terkejut bukan main ketika tangannya yang mencengkeram itu merasa betapa lengan tangan pemuda itu keras dan licin seperti besi, sehingga tenaga cengkeramannya dapat terpental kembali. Dan tiba-tiba ia merasa betapa lengan tangan itu licin dan lemas bagaikan belut sehingga dapat terlepas dari cengkeramannya ketika ditarik kembali oleh pemuda itu.
Inilah ilmu Jui-kut-kang atau ilmu melemaskan tulang yang hebat.
“Bagus!” teriaknya marah sekali. “Tidak tahunya kau memiliki sedikit ilmu kepandaian!” Ia tahu bahwa pemuda ini lihai dan tindakannya tadi sengaja hendak mencari permusuhan untuk melindungi kedua pemuda yang mengikutinya. Maka ia lalu menggerakkan tangan memegang goloknya yang selalu tergantung di pinggang sambil membentak, “Barangkali kau sudah bosan hidup!”
Dari pegangan pada lengannya tadi Gwat Kong dapat menduga bahwa orang berjenggot runcing ini seorang ahli ilmu silat yang pandai karena biarpun ia berhasil melepaskan tangannya, akan tetapi ketika ia membetot lengannya tadi, merasa betapa lengannya panas tanda bahwa ilmu dan tenaga dalam orang ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Maka iapun meraba gagang pedang Sin-eng-kiam dan berkata,
“Manusia sombong, apa kau kira, kau seorang saja yang mempunyai senjata tajam? Cabutlah golokmu dan jangan kira bahwa aku takut kepadamu!”
Dua orang jago silat itu berdiri berhadapan dengan tangan memegang gagang senjata masing- masing, siap untuk mencabutnya dan mata mereka saling pandang dengan tajam, seakan-akan dua ekor ayam jago berlaga dan hendak bertempur mati-matian. Pui Kiat dan Pui Hok memandang dengan penuh kekhawatiran. Dua orang murid Hoa-san-pai ini yang maklum akan kelihaian Ang Sun Tek, merasa gelisah dan takut kalau-kalau Gwat Kong takkan dapat melawan ketua Liok-te Pat-mo itu maka Pui Kiat lalu bangun berdiri dan menghampiri Gwat Kong sambil membujuk.
“Bun-taihiap, sudahlah, jangan kau berkelahi karena urusan kami. Mari kita pergi dari sini. Ada urusan amat penting yang perlu kami sampaikan kepadamu.”
Sementara itu, Gan Bu Gi juga merasa cemas. Ia maklum pula akan kelihaian Gwat Kong dan kalau sampai Ang Sun Tek kalah, tentu ia akan berada dalam bahaya menghadapi Gwat Kong yang membencinya, maka ia membujuk Ang Sun Tek,
“Ang-ciangkun, jangan kau meladeni bocah ini!”
Memang Ang Sun Tek masih ragu-ragu untuk mencabut goloknya. Ia adalah seorang ternama dan sedang menjalankan tugas sebagai seorang perwira kerajaan, maka di tempat umum ini kalau sampai ia kalah oleh pemuda ini, tidak saja namanya akan jatuh, akan tetapi biar ia menang sekalipun, namanya takkan menjadi harum karenanya. Melihat kepandaian pemuda itu ketika melepaskan tangannya dari pegangannya, maka resikonya terlalu besar untuk melawan pemuda ini yang sama sekali tidak berdasarkan permusuhan sesuatu. Maka iapun hanya berdiri saja tak mau mencabut goloknya lebih dahulu.
Sementara itu, Gwat Kong ketika mendengar bujukan Pui Kiat, menjadi tertarik hatinya. Ia tahu bahwa kedua orang ini bukan tanpa sebab berada di Kiang-sui dan tuduhan orang berjenggot tadi terhadap kedua saudara Pui membuat ia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Apalagi ia melihat bahwa orang berjenggot itu bersama Gan Bu Gi, maka ia lalu melepaskan gagang pedangnya dan berpaling kepada Pui Kiat,
“Akupun tidak hendak mencari permusuhan dan perkelahian, asal saja orang tidak mendahului dan menyerangku.”
Tanpa banyak cakap lagi, Pui Kiat lalu menggandeng tangan Gwat Kong dibawa keluar dari restoran. Sedangkan Pui Hok lalu membayar harga makanan kepada seorang pelayan yang semenjak tadi berdiri di sudut dengan muka pucat melihat pertempuran yang hampir saja terjadi itu.
Setibanya di luar restoran, Pui Kiat dan Pui Hok membawa Gwat Kong ke tempat yang sunyi. Mereka sudah mendapat tahu tentang keadaan Tin Eng.
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, kedua saudara Pui ini mendapat tugas dari Kui Hwa untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng. Mereka merasa lega ketika melihat bahwa Tin Eng benar-benar dikembalikan ke rumah orang tuanya dan tidak mendapat gangguan di jalan.
Akan tetapi mereka masih tidak mengerti apakah sebenarnya kehendak Ang Sun Tek dengan penangkapan atas diri Tin Eng itu dan mengapa pula Ang Sun Tek yang tadinya hendak pergi ke Hong-san sampai menunda perjalanannya di Kiang-sui. Kemudian mereka melihat betapa Ang Sun Tek mengadakan pertemuan dengan Gan Bu Gi dan masuk ke dalam restoran untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. “Saudara Pui, sebenarnya mengapakah kalian berada di kota ini dan mengapa pula orang itu hendak menyerangmu? Siapakah dia yang kepandaiannya tinggi itu?”
Pui Kiat lalu menuturkan pengalamannya dengan singkat dan menutup penuturannya dengan menghela napas,
“Bun-taihiap, memang dia bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang yang kini menjadi pembantu istimewa pada perwira-perwira kerajaan. Namanya Ang Sun Tek. Dialah ketua dari Liok-te Pat-mo, delapan iblis bumi yang amat terkenal itu!”
Terkejutlah Gwat Kong mendengar penuturan Pui Kiat. Sungguhpun nama Ang Sun Tek ini membuatnya menjadi tercengang. Karena ini tidak disangkanya sama sekali bahwa ia akan bertemu dengan orang yang sedang dicari-cari oleh Cui Giok. Namun ia lebih terkejut lagi mendengar bahwa Tin Eng telah ditawan oleh Ang Sun Tek itu dan dengan paksa dikembalikan ke rumah orang tuanya.
“Saudara Pui berdua, kalau begitu, serahkanlah urusan ini kepadaku. Kalian telah diketahui bahwa kalian mengikuti rombongan mereka, dan hal ini berbahaya sekali. Aku kenal baik dengan nona Liok Tin Eng, bahkan sekarang juga aku akan menengoknya. Tentang Ang Sun Tek itu, memang sudah lama aku hendak mencoba kepandaiannya, bahkan terus terang saja, aku ingin menghadapi delapan iblis itu sekali gus. Lebih baik sekarang kalian berdua cepat pergi dari kota ini, menyusul dan membantu sumoimu itu.”
Pui Kiat dan Pui Hok tercengang mendengar ucapan ini, akan tetapi karena merekapun maklum bahwa keadaan mereka di kota Kiang-sui akan membahayakan keselamatan mereka, maka mereka menyatakan setuju dan segera meninggalkan Gwat Kong untuk keluar kota dan pergi menyusul Kui Hwa ke Hong-san.
Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia maklum akan kesedihan hati Tin Eng dan ia merasa gemas kepada Ang Sun Tek yang telah menawan dan memaksa Tin Eng pulang. Kalau saja ia tidak sedang merasa cemas memikirkan keadaan Tin Eng, tentu ia akan kembali ke restoran itu menemui Ang Sun Tek dan mengajaknya berkelahi! Akan tetapi, ia perlu sekali mendapatkan Tin Eng dan menengok keadaan gadis pujaan hatinya itu. Kalau perlu menolongnya keluar dari gedung Liok-taijin.
Mudah saja bagi Gwat Kong untuk memasuki pekarangan belakang dari gedung keluarga Liok, oleh karena ia memang hafal akan keadaan dan jalan di situ. Ia maklum bahwa kalau ia mengambil jalan dari pintu depan dan masuk secara berterang, tak mungkin Liok-taijin akan suka menerimanya. Atau andaikata pembesar itu suka menerimanya juga, sungguh amat tak mungkin kalau ia diperkenankan bertemu dengan Tin Eng. Oleh karena itu, Gwat Kong sengaja mengambil jalan belakang dan masuk ke dalam kebun bunga secara sembunyi- sembunyi bagaikan maling.
Ia tidak berani mengambil jalan dari atas genteng, oleh karena maklum bahwa di dalam gedung itu terdapat orang-orang pandai dan juga Liok-taijin sendiri memiliki ketajaman telinga yang cukup sehingga hal itu akan membuat ia ketahuan orang sebelum dapat bertemu dengan Tin Eng. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai menanti saat yang baik.
Kebetulan sekali seorang pelayan yang dikenalnya baik, keluar dari pintu belakang. Pelayan ini adalah seorang wanita tua yang telah ikut keluarga itu semenjak Tin Eng masih kecil, bahkan ia menjadi bujang pengasuh dari gadis itu. “Bibi Song !” Gwat Kong memanggil perlahan sambil keluar dari tempat sembunyinya.
Nenek pelayan itu terkejut memandang. Eh, kau itu, Gwat Kong? Aduh, sampai kaget setengah mati aku! Seperti setan saja kau muncul tiba-tiba.”
“Ssst jangan keras-keras, bibi Song! Kehadiranku di sini tidak dikehendaki orang!”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Aku tahu, aku tahu! Kalau kau terlihat oleh taijin, kepalamu akan digebuk!”
“Bibi yang baik, tolonglah aku. Aku aku ingin bertemu dengan siocia, di manakah dia?”
Nenek itu mainkan matanya. “Hm, kau main api!”
“Bibi tolonglah! Bukankah siocia sedang berduka? Tolonglah beritahu bahwa aku berada di sini dan ingin berjumpa dengan dia!”
“Bagaimana kau bisa tahu dia berduka?” nenek itu bertanya heran.
“Bibi lekaslah kau beritahukan padanya. Apakah kau ingin ada orang melihat kita bicara di sini? Kaupun akan mendapat gebukan kalau taijin melihatnya!”
Terkejut dan takutlah bibi Song mendengar hal ini. “Akan tetapi, tak mungkin siocia dapat keluar. Ia dilarang keras untuk meninggalkan kamarnya!”
“Kalau begitu, beritahulah saja. Aku menanti di sini untuk mendengar jawabannya.”
Nenek itu lalu masuk ke dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah putih rambutnya itu.
Memang semenjak Tin Eng ditawan oleh Ang Sun Tek, gadis ini sama sekali tidak berdaya dan terpaksa menurut saja dibawa pulang ke rumah orang tuanya dengan paksa. Ketika tiba di rumah, ia disambut dengan wajah muram dan marah oleh ayahnya. Akan tetapi ibunya segera menubruk dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Tin Eng terkejut melihat betapa ibunya menjadi kurus sekali dan pucat seperti orang yang bersedih. Ia dibawa masuk ke dalam kamar oleh ibunya di mana ibunya itu sambil menangis berkata,
“Tin Eng apakah kau tidak kasihan kepada ibumu. Anakku, janganlah kau pergi lagi
meninggalkan ibumu!”
Tin Eng menjadi terharu dan memeluk ibunya sambil menangis pula. Ayahnya menyusul ke dalam kamar dan pembesar ini marah sekali.
“Tin Eng, bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau sebagai puteri tunggal seorang pembesar telah menodai nama baik orang tuamu! Kau telah membikin malu ayah ibumu dan membikin kami merasa susah sekali. Apakah benar-benar kau tidak mempunyai rasa sayang kepada orang tua dan akan menjadi anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Tin Eng melihat betapa di dalam kemarahannya, ayahnya itu nampak amat berduka sehingga muka ayahnya itu kelihatan makin tua. Ia menjadi kasihan juga dan dengan tangis sedih ia menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya. Hati seorang ayah betapa bengispun akan menjadi lunak apabila melihat anak tunggalnya berlutut dan menangis di depan kakinya, maka pembesar ini lalu mengelus-elus kepala puterinya.
“Tin Eng, jadilah seorang anak yang baik dan jangan kau menyusahkan hati ayah ibumu.”
“Ayah, anak berjanji takkan pergi lagi, asal saja jangan memaksa anak harus kawin dengan orang she Gan itu! Kalau ayah memaksa, biarlah anak membunuh diri saja!”
Ibunya menjerit dan memeluknya, sedangkan Liok-taijin menjadi pucat wajahnya. Kemudian ia hanya menghela napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala.