Pendekar Pemabuk Chapter 71

NIC

Pengalaman dan pertempuran melawan dua orang pemimpin Hek-i-pang itu membuat pergaulan antara Gwat Kong dan Cui Giok makin erat. Sambil menikmati pemandangan yang sungguh indah di sepanjang sungai tiada hentinya mereka membicarakan kedua orang itu sambil tertawa-tawa gembira. Yang lebih gembira lagi adalah tukang perahu yang tua itu.

Tiada habisnya ia memuji dan matanya yang sudah tua itu berseri-seri.

“Seumur hidupku belum pernah aku menyaksikan dua orang muda yang sehebat dan segagah kalian!” katanya sambil mendayung. “Kalian merupakan pasangan yang paling cocok dan hebat yang pernah kujumpai, sama gagah, sama elok, pendeknya hebat! Anak kalian kelak

tentu seorang yang luar biasa dan ”

“Hush ” Lopek jangan bicara sembarangan! Kami bukan suami isteri, juga bukan

tunangan!”

Nelayan itu melongo dan memandang dengan heran. Jelas bahwa ia merasa amat kecewa. Adapun Cui Giok ketika mendengar ucapan kakek nelayan itu, merahlah wajahnya sampai ke telinganya. Semenjak saat itu, apabila mata mereka bertemu, Gwat Kong melihat cahaya gemilang yang aneh di dalam manik mata gadis itu, sinar yang sebelumnya tak terlihat olehnya.

Dan kalau dulu Cui Giok memandangnya dengan berani dan terbuka, kini gadis itu tidak berani menentang pandang matanya terlalu lama. Aneh, pikirnya. Akan tetapi sama sekali ia tidak dapat menduga apakah sebenarnya yang terdapat dibalik sinar mata itu.

Benar sebagaimana keterangan nelayan tua itu, perjalanan melalui air sungai Yung-ting itu aman dan mnyenangkan. Tidak terdapat gangguan bajak sungai dan mereka kadang-kadang hanya bertemu dengan perahu-perahu nelayan yang menjala ikan. Akan tetapi ketika telah memasuki daerah Kiang-sui yang banyak terdapat hutan-hutan lebat, muncullah bajak sungai yang pernah dituturkan oleh nelayan tua itu kepada mereka.

Perahu mereka sedang berlayar dengan tenang melalui sebuah hutan dan pada sebuah tikungan yang tajam, ketika perahu mereka baru saja membelok, tiba-tiba mereka berhadapan dengan lima buah perahu besar penuh dengan bajak-bajak sungai.

“Celaka!” nelayan tua yang mengemudikan perahu kecil itu berseru dengan wajah pucat. “Minggirkan perahu ke darat!” kata Gwat Kong yang duduk bersama Cui Giok. Kedua anak muda ini masih tenang saja, bahkan ketika saling pandang, senyum gembira membayang di bibir mereka.

Perahu-perahu bajak itu ketika melihat calon korbannya mendayung perahu ke pinggir, segera meminggirkan perahu pula dan terdengar seruan-seruan mereka diselingi suara ketawa.

Mereka merasa gembira melihat betapa korban-korban mereka itu seperti hendak melarikan diri ke darat. Akan tetapi, alangkah heran mereka ketika melihat sepasang orang muda yang berada di perahu kecil itu setelah melompat ke darat. Bukannya mereka melarikan diri sebagaimana mereka sangka, akan tetapi bahkan berdiri di pantai menanti mereka dengan sikap menantang.

Kepala bajak ini adalah seorang bermuka hitam bertubuh kurus tinggi. Ia bernama Oey Bong dan telah bertahun-tahun ia hidup sebagai kepala bajak yang ditakuti orang. Tadinya ia bersama anak buahnya berpangkal di sungai Yung-ting dekat kota Kiang-sui. Akan tetapi belakangan ini setelah Kepala daerah Kiang-sui, yakni Liok-taijin, mengerahkan tentara di bawah pimpinan Gan Bu Gi yang pandai untuk menggempurnya, sehingga pasukan bajak itu menjadi kocar-kacir. Terpaksa ia melarikan diri dan kini melakukan pencegatan dan pembajakan di dalam hutan itu.

Melihat betapa sepasang muda-mudi yang hendak dirampok itu mendarat, Oey Bong lalu mengerahkan anak buahnya untuk mengejar dan iapun terheran-heran ketika melihat sepasang orang muda itu tidak melarikan diri. Maka ia menduga bahwa kedua orang muda itu tentulah memiliki kepandaian.

Setelah perahunya berada dekat dengan daratan, ia lalu berseru keras dan tubuhnya melompat ke darat dengan gesit. Beberapa orang pembantunya yang juga pandai ilmu silat, lalu melompat pula ke darat dan sebentar saja Gwat Kong dan Cui Giok yang masih tersenyum- senyum itu telah dikurung oleh belasan orang yang dipimpin oleh pemimpin bajak. Para anggauta bajak hanya berdiri mengurung agak jauh sambil bersorak-sorak. Sementara itu, kakek nelayan yang mengantar Gwat Kong, duduk mendekam di dalam perahunya dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Kalian ini orang-orang kasar menghadang perahu kami, mempunyai maksud apa?” tanya Gwat Kong kepada si muka hitam Oey Bong.

Oey Bong tertawa geli dan kawannyapun tertawa bergelak mendengar pertanyaan ini.

“Orang muda,” kata Oey Bong. “Kami adalah orang baik-baik dan kami takkan mengganggumu, asal saja kautinggalkan semua barang-barangmu, berikut isterimu yang cantik jelita ini!” Dengan jari telunjuknya yang panjang, kepala bajak ini menunjuk ke arah Cui Giok.

Merahlah wajah Cui Giok mendengar ini. Telah dua kali orang menyangka ia dan Gwat Kong sebagai suami isteri. Akan tetapi, kalau persangkaan nelayan tua membuat ia malu dan hanya diam-diam berdebar girang, adalah sangkaan kepala bajak yang amat kasar dan menghina ini membuat ia jadi marah sekali.

“Anjing bermuka hitam!” ia memaki sambil menuding ke arah muka Oey Bong. “Apa sih yang kau andalkan maka anjing buduk macam kau ini berani menjadi kepala bajak sungai?” “Ha ha ha!” Oey Bong yang dimaki itu tertawa bergelak. “Sungguh galak, makin galak makin manis! Kau cocok sekali untuk menjadi permaisuriku. Ha ha!

“Kurang ajar!” seru Gwat Kong sambil mencabut pedangnya. Hatinya panas dan marah sekali melihat kekurang ajaran bajak itu. Akan tetapi Cui Giok berseru menahannya,

“Jangan Gwat Kong! Biar aku yang memberi hajaran kepada anjing buduk ini. Kalau dia belum melepaskan dua buah telinganya, aku tak mau ampunkan dia!” Cui Giok mencabut sepasang pedangnya.

Gwat Kong tersenyum. “Ah, dasar kau yang sudah bernasib harus kehilangan telinga! Jagalah baik-baik daun telingamu, muka hitam!” Sambil berkata demikian, Gwat Kong menggenjotkan kedua kakinya dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan ketika para penjahat dengan terkejut memandang ke atas, ternyata pemuda itu telah duduk di atas sebuah cabang pohon yang tinggi.

Mereka merasa kaget sekali karena gerakan itu saja sudah cukup membuka mata mereka bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka. Akan tetapi telah terlanjur dan karena pemuda yang lihai itu tidak ikut menghadapi mereka, maka Oey Bong lalu mencabut goloknya dan mendahului menyerang Cui Giok.

Ia maklum bahwa pemuda itu amat lihai, maka lenyaplah keinginannya mengganggu Cui Giok. Ia hendak merobohkan gadis itu terlebih dahulu sebelum pemuda itu turun tangan. Kemudian kalau pemuda itu terlalu lihai baginya, ia akan mengeroyok dengan semua anak buahnya. Cepat sekali ia mencabut golok dan menyerang Cui Giok dengan sebuah sabetan ke arah pinggang. Inilah tipu gerakan Hon-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun Tua) yang dilakukan cukup gesit dan kuat.

Akan tetapi dengan tertawa mengejek, pedang di tangan Cui Giok melakukan gerakan berbareng. Pedang kiri menangkis sambaran golok sedangkan pedang di tangan kanan menghantam ke arah pergelangan tangan lawan. Oey Bong terkejut bukan main dan cepat menarik kembali goloknya untuk menghindarkan tangannya terbabat putus. Akan tetapi percuma saja ia mencoba menghindarkan diri. Oleh karena ujung pedang Cui Giok bagaikan hidup dan bermata. terus mengikuti pergelangan tangannya dengan kecepatan yang menyilaukan mata, maka Oey Bong menjadi makin gelisah.

“Lepaskan golok!” Cui Giok membentak dan Oey Bong merasa betapa pergelangan tangannya menjadi perih sekali karena telah tertempel oleh mata pedang yang tajam. Ia tak dapat berbuat lain dan terpaksa melepaskan goloknya. Dalam kegugupannya, ia berteriak memberi komando kepada kawan-kawannya.

“Serbu!”

Setelah berteriak, kepala bajak yang licik ini lalu melompat mundur hendak lari.

Kawan-kawannya yang semenjak tadi telah berdiri dengan senjata di tangan, segera maju menyerbu, mengeroyok Cui Giok. Akan tetapi gadis itu berseru keras dan begitu tubuhnya berkelebat, maka terdengarlah seruan kaget dan pedang atau golok di tangan para bajak itu beterbangan ke atas, ada yang patah, ada yang mencelat berikut jari-jari tangan yang terbabat putus. Jerit dan pekik terdengar dan keadaan menjadi amat gaduh. Oey Bong masih mencoba untuk melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya,

“Anjing muka hitam! Tinggalkan dulu dua telingamu!” Sebelum ia dapat mengelak, tiba-tiba kedua telinganya mendengar sambaran angin yang luar biasa dan tiba-tiba ia merasa kepalanya menjadi sakit dan perih di kanan kiri. Ketika ia menggunakan kedua tangan untuk meraba ia menjerit keras karena daun telinga di kanan kiri kepalanya benar-benar telah lenyap. Oey Bong berhenti berlari dan membalikkan tubuh. Ia melihat gadis yang luar biasa itu telah berdiri dengan tertawa bergelak sedangkan daun telinganya telah putus dan kini berada di depan kakinya.

Melihat ini, makin sakitlah rasanya kepala yang luka itu. Maka tanpa dapat dicegah lagi, ia lalu menjatuhkan diri berjongkok dan mengaduh-aduh seperti seekor anjing kena gebuk.

“Nah, siapa lagi yang sudah bosan mempunyai daun telinga?” seru Cui Giok sambil memalangkan pedangnya di depan dada.

Para pemimpin bajak telah merasai kelihaian nona itu karena tadi ketika mereka menyerbu, dalam segebrakan saja gadis itu telah berhasil merampas senjata dan melukai beberapa orang, maka kini tak seorang pun berani bergerak. Juga anak buah bajak yang tadinya bersorak- sorak, kini berdiri bagaikan patung, sama sekali tak berani bersuara maupun bergerak.

Nelayan tua yang tadinya ketakutan, dengan memberanikan hati ia merangkak ke pinggir dan menyaksikan pertempuran itu. Kini ia menjadi lega dan girang bukan kepalang, maka ia lalu bangun berdiri dan dengan dada terangkat tinggi-tinggi dan kaki melangkah tetap, ia menghampiri kepala bajak dan kawan-kawannya. Sambil bertolak pinggang ia lalu berkata dengan suara keras,

“Nah, biarlah kali ini kalian mendapat pelajaran dan kapok. Kalian telah banyak mengganggu orang, banyak membunuh nyawa orang-orang tak berdosa. Kalau sekarang mendapat hukuman sebesar ini boleh dikatakan masih ringan dan terlalu murah. Jangan anggap bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang gagah seperti siocia dan kongcu ini. Tadi baru siocia sendiri yang turun tangan, kalau kongcu ikut marah, mungkin kepala kalian ini semua telah putus. Tidak berlutut minta ampun sekarang, mau tunggu kapan lagi?”

Bentakannya terakhir ini amat berpengaruh karena tiba-tiba semua anggauta bajak itu lalu menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun. Bukan main senangnya hati kakek itu. Belum pernah ia mengalami hal seperti itu dan karena para bajak itu berlutut di depannya, maka ia merasa seakan-akan menjadi seorang raja. Ia lalu berkata lagi dengan suara gagah,

“Mulai sekarang jangan kalian berani sekali lagi mengganggu lalu lintas di sungai Yung-ting ini. Ketahuilah aku adalah kawan baik sepasang pendekar ini. Aku tukang perahunya dan kalau kalian mengganggu perahuku dan perahu kawan-kawanku. Tentu kedua pendekar gagah ini akan datang untuk menghukum kalian.

Kemudian ia berkata kepada Cui Giok dan Gwat Kong, “Jiwi yang mulia, marilah kita melanjutkan perjalanan kita!” Melihat sikap nelayan tua ini, Cui Giok dan Gwat Kong tertawa geli dan merasa lucu sekali. Akan tetapi mereka menganggap bahwa sikap nelayan tua itu bukan tak ada artinya bagi keselamatan para nelayan. Maka Gwat Kong hendak memperkuat ucapan nelayan tadi. Ia melompat turun bagaikan seekor burung garuda, kemudian menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan lengan.

“Ucapan lopek ini harus kalian perhatikan dan taati, karena kami tidak mengancam kosong belaka. Kalau kalian melanggar, inilah contohnya!” Dengan tangan kanannya, Gwat Kong lalu memukul batang pohon itu dengan tangan dimiringkan sambil mengerahkan ilmu keraskan tangan Cin-kong Pek-ko-jiu.

“Kraaak!” batang pohon itu terpukul patah dan dengan mengeluarkan suara keras pohon itu tumbang.

Para bajak melihat ini dengan muka pucat dan mata terbelalak. Batang pohon yang besar dan kuat itu sekali pukul saja patah, apalagi tubuh atau leher mereka. Maka mereka kembali mengangguk-anggukan kepala bagaikan ayam mematuk beras dan mulut mereka tiada hentinya minta ampun sambil berjanji akan mentaati larangan mengganggu sungai Yung-ting.

Gwat Kong, Cui Giok dan nelayan tua itu lalu berjalan kembali ke perahu mereka. Nelayan tua itu berjalan dengan lenggang dibuat-buat, kepala dikedikkan dan dadanya yang kurus ditonjolkan dengan perasaan seakan-akan dialah yang menjadi pendekar gagah dan mengalahkan semua bajak kejam itu.

Posting Komentar