Akan tetapi setelah Kepala daerah Kiang-sui mengadakan pembersihan, kabarnya banyak bajak sungai tak berani mengganggu lagi.”
Gwat Kong melompat ke atas ketika mendengar ini. “Apa sungai ini mengalir sampai ke Kiang-sui?”
“Tidak memasuki kotanya, kongcu. Hanya mengalir di sebelah selatan kota itu. Kira-kira lima li jauhnya dari batas kota.”
“Bagus!” kata Gwat Kong dengan girang. “Kalau begitu kita dapat berhenti sebentar karena aku akan mengunjungi Kiang-sui.”
Cui Giok cemberut. “Hmm, kau tentu mencari Tin Eng di rumah ayahnya.”
Gwat Kong tersenyum. “Tidak, Cui Giok, Tin Eng tidak akan ada di rumahnya, karena aku tahu betul gadis itu takkan mau pulang ke rumah orang tuanya. Aku hanya ingin melihat kota di mana aku telah tinggal bertahun-tahun di situ, karena bukankah kita kebetulan melalui kota itu?”
Pada saat kedua orang muda itu hendak naik ke dalam perahu itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah lima orang penunggang kuda. Dua di antara mereka adalah Lui Siok si Ular Belang dan Song Bu Cu, dua orang pemimpin perkumpulan Hek-i-pang. Tiga yang lain adalah tiga orang anak buah mereka di kota Tong-kwan, pusat perkumpulan itu.
Song Bu Cu dan Lui Siok belum pernah bertemu Gwat Kong, maka mereka hanya melirik saja dan hendak melarikan kuda mereka melewati tempat itu. Akan tetapi seorang di antara anak buah mereka pernah melihat Gwat Kong ketika pemuda ini menangkap Touw Cit dan Touw Tek, pemeras kota Hun-lam dan anak buah Hek-i-pang, maka ia menahan kendali kudanya dan berseru,
“Kang-lam Ciu-hiap!”
Mendengar disebutnya nama ini, Song Bu Cu dan Lui Siok terkejut dan segera menahan kuda mereka.
“Mana jahanam itu?” tanya Lui Siok kepada anak buahnya yang berseru tadi. Orang itu lalu menudingkan jarinya ke arah Gwat Kong dan berkata,
“Itulah dia orangnya, Kang-lam Ciu-hiap yang telah mengacau di Hun-lam!”
Song Bu Cu dan Lui Siok memandang dan ketika melihat bahwa yang bernama Kang-lam Ciu-hiap seorang pemuda yang nampaknya lemah dan kawan pemuda itupun hanya seorang dara muda yang cantik. Maka mereka lalu melompat turun dari kuda dan menghampiri perahu itu dengan lagak sombong.
“Cui Giok,” kata Gwat Kong melihat sikap kedua orang itu. “Kita bertemu dengan orang- orang jahat. Mereka tentu akan mencari perkara.” “Bagus!” kata Cui Giok tersenyum girang. “Mereka akan menyesal hari ini selama hidupnya.”
SEMENTARA itu, nelayan tua ketika mendengar ucapan-ucapan ini dan melihat sikap Song Bu Cu dan Lui Siok yang galak mengancam menjadi ketakutan. Ia berjongkok di dalam perahunya dengan tubuh menggigil dan mulutnya tiada hentinya menyebut nama Budha sambil memohon,
“Omi-tohud! Lindungilah hamba ”
Dengan sikap tenang sekali Gwat Kong dan Cui Giok lalu keluar dari perahu dan berjalan maju menyambut kedatangan kedua orang itu. Setelah mereka berhadapan, Lui Siok menudingkan telunjuknya ke arah muka Gwat Kong dan membentak,
“Bangsat kecil, apakah kau yang bernama Gwat Kong dan yang menyombongkan diri sebagai Kang-lam Ciu-hiap?”
“Bangsat besar!” Gwat Kong balas memaki. “Memang cocok sekali watakmu sebagai bangsat besar, datang-datang memaki orang, seperti orang yang miring otaknya.”
“Kang-lam Ciu-hiap! Dengarlah baik-baik. Aku adalah Lui Siok, wakil ketua dari Hek-i-pang di Tong-kwan, sedangkan twako ini adalah Song Bu Cu, ketua dari Hek-i-pang. Kau telah berlaku kurang ajar dan telah menghina Touw Cit dan Touw Tek di Hun-lam. Mereka itu adalah anggauta-anggauta perkumpulan kami.”
“Pantas, pantas!” Gwat Kong mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantas saja nama Hek-i- pang dibenci semua orang. Tidak tahunya yang menjadi ketua dan wakil ketuanya orang- orang macam ini.”
“Akupun pernah mendengar tentang kebusukan nama Hek-i-pang,” tiba-tiba Cui Giok ikut bicara. “Karenanya sudah lama aku ingin menegurnya. Sekarang pemimpin-pemimpinnya datang menyerahkan diri. Sungguh bagus, tidak usah aku mencapekkan diri mencari.”
Bukan main marahnya Song Bu Cu dan Lui Siok mendengar ucapan kedua orang muda ini. “Perempuan busuk!” Song Bu Cu membentak. “Siapakah kau yang lancang mulut ini?”
Cui Giok tertawa. “Mau tahu aku siapa? Aku adalah malaikat penjaga sungai Yung-ting ini dan aku telah mendapat pesan dari Hay-liong-ong (Raja naga laut yang menguasai air) agar supaya aku menangkapmu dan melemparkan kau ke air agar dosa-dosamu dicuci bersih dengan air sungai ini.”
“Anjing betina!” Song Bu Cu memaki dengan marah yang meluap-luap. Belum pernah ada orang yang berani menghina sedemikian rupa. Apalagi seorang dara muda seperti Cui Giok. Maka ia lalu bergerak maju hendak menyerang, akan tetapi ia didahului oleh Lui Siok yang berkata,
“Twako, biarlah aku yang menangkap domba betina yang pandai berlagak ini. Harap twako membereskan saja Kang-lam Ciu-hiap!” Memang Lui Siok berwatak licik. Ia telah mendengar dari Gan Bu Gi tentang kelihaian Kang- lam Ciu-hiap, maka biarpun dulu di depan Gan Bu Gi ia bicara sombong, akan tetapi karena kini Gwat Kong berkawan seorang gadis muda, ia hendak mengambil rsiko sekecil-kecilnya dengan melawan gadis itu. Melawan Kang-lam Ciu-hiap ada bahayanya menderita kalah.
Akan tetapi menghadapi gadis muda ini tak mungkin akan kalah, demikian pikirnya.
Ia bermaksud membikin malu dara muda yang cantik itu, maka begitu ia menubruk maju, ia mengeluarkan ilmu silatnya yang lihai, yakni ilmu tangkap yang disebut Siauw-kin-na-jiu- hoat, sebagaimana pernah ia pergunakan ketika ia melawan Tin Eng. Siauw-kin-na-jiu-hoat ini dilakukan mengandalkan kekuatan jari tangan dan kecepatan gerakan. Setiap tangkapan atau cengkeraman ditujukan kepada jalan darah sehingga sekali saja tangan atau bagian tubuh lain dari lawan kena tertangkap, maka amat sukarlah bagi lawan itu untuk dapat melepaskan diri.