mengganggunya.”
“Kau benar-benar aneh. Bagaimana seorang sahabat dapat mengganggu pertemuan antara kedua orang kawan?”
“Jadi kau anggap aku seorang sahabatmu?”
“Tentu saja, habis, bukankah kita memang sahabat karib?” Diam sejenak.
“Gwat Kong, apakah dia akan suka melihat dan menerima aku kalau aku ikut ke sana?”
“Siapakah yang kau maksudkan? Tin Eng? Tentu saja! Tin Eng adalah seorang gadis pendekar yang berkepandaian tinggi dan berhati gagah. Dia mempunyai ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat.” Mendengar ini, Cui Giok memandang cepat. “Oh, jadi dia masih sumoimu sendiri?”
Memang pertanyaan Cui Giok ini sudah sewajarnya oleh karena ia tahu bahwa Gwat Kong adalah ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, maka kalau gadis yang bernama Tin Eng itu pandai ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat pula, siapa lagi kalau bukan sumoi (adik perempuan seperguruan) dari Gwat Kong?
“Bukan, bukan sumoiku. Dia itu adalah anak dari bekas majikanku. Tentang kepandaiannya dalam ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat itu sesungguhnya ada perbedaannya dengan kepandaianku.”
Gwat Kong lalu menuturkan tentang kitab pelajaran ilmu pedang yang diketemukannya ketika ia menggali kebun di belakang rumah gedung Liok-taijin dan bahwa Tin Eng hanya mempelajari ilmu pedang itu dari kitab salinannya yang disalin secara buruk sekali oleh Bu- eng-sian Leng Po In.
Sambil bercakap-cakap mereka memasuki kota Hun-lam dan tak terasa pula tahu-tahu mereka telah berada di depan gedung Lie-wangwe. Hati Gwat Kong berdebar ketika ia melihat gedung itu. Kegembiraan memenuhi hatinya kalau ia ingat bahwa sebentar lagi akan bertemu dan berhadapan muka dengan Tin Eng.
Akan tetapi gedung itu nampaknya sunyi saja dan ketika Gwat Kong yang diikuti oleh Cui Giok telah masuk di ruang depan, seorang pelayan menyambutnya. Pelayan itu masih mengenali Gwat Kong maka dengan muka girang ia lalu mempersilahkan pemuda itu duduk untuk menunggu sedangkan ia lalu melaporkan kedatangan tamu ini kepada Lie-wangwe.
Tak lama kemudian pelayan itu keluar lagi dan mempersilahkan kedua orang tamunya masuk ke ruang tamu di mana Lie-wangwe sendiri menyambut mereka. Gwat Kong terkejut melihat orang tua itu nampak pucat dan seperti keadaan sakit. Ia buru-buru memberi hormat yang diturut pula oleh Cui Giok.
“Bun-hiante, kau baru datang?” tanya hartawan itu dengan suara lemah. “Lie-siokhu, apakah kau selama ini sehat-sehat saja?”
Hartawan itu menghela napas dan memberi isyarat dengan tangannya untuk mempersilahkan kedua orang tamunya mengambil tempat duduk.
“Semenjak Tin Eng pergi, kesehatanku selalu terganggu. Aku merasa sunyi dan tak ada kegembiraan sama sekali.”
“Tin Eng pergi? Kemanakah dia siokhu? Apakah dia pulang ke Kiang-sui?” tanya Gwat Kong dengan hati kecewa.
“Tidak, mana dia mau pulang ke Kiang-sui? Dia pergi bersama seorang sahabatnya, seorang nona gagah perkasa yang bernama Tan Kui Hwa yang berjuluk Dewi Tangan Maut.”
“Ah, dia??” kata Gwat Kong, teringat bahwa Dewi Tangan Maut adalah anak musuh besar ayahnya. “Kemanakah mereka pergi, susiokhu?” “Siapa tahu ke mana anak-anak muda pergi. Mereka hanya menyatakan hendak merantau. Ah
... memang aneh sekali anak-anak muda sekarang. Lebih suka merantau bersusah payah dan mencari lelah, padahal di rumah lebih senang dan segala apa tersedia.”
Gwat Kong tidak lama berada di situ, karena ia maklum bahwa orang tua yang sedang tidak sehat itu tidak boleh diganggu terlalu lama. Ketika ia berpamit, Lie-wangwe hanya memesan bahwa apabila pemuda itu bertemu dengan Tin Eng, minta supaya gadis itu kembali ke Hun- lam.
Cui Giok dapat melihat kekecewaan yang membayang keluar dari pandang mata Gwat Kong, maka ia tidak mau mengganggunya. Hanya berkata sambil berjalan di sebelah pemuda yang menjadi pendiam itu,
“Aku pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut yang terkenal. Bukankah dia itu anak murid Hoa-san-pai?”
Gwat Kong hanya mengangguk. Kekecewaan membuat ia malas bicara. Cui Giok dapat merasakan pula sikap Gwat Kong ini. Maka gadis yang berhati polos ini bertanya,
“Gwat Kong, agaknya kau dan Tin Eng saling menyintai.”
Gwat Kong terkejut mendengar ini dan mukanya menjadi merah sekali.
“Cui Giok, bagaimana kau bisa berkata demikian? Tin Eng adalah anak tunggal dari Kepala daerah di Kiang-sui, seorang bangsawan tinggi yang berpengaruh dan kaya raya. Sedangkan aku ini orang macam apakah? Aku dahulu hanyalah menjadi seorang pelayan tukang kebon dari keluarga Liok. Mana ada aturan seperti yang kau duga itu?”
“Jadi kalau begitu, kau dan Tin Eng hanyalah sahabat belaka?”
“Disebut sahabat pun sudah janggal terdengarnya. Aku pernah menjadi pelayannya. Mana ada pelayan menjadi sahabat puteri majikannya?”
Kini Cui Giok memandang dengan mata berseri.
“Gwat Kong ” katanya akan tetapi kata-katanya terhenti.
“Kau hendak bilang apakah, Cui Giok?” Gwat Kong bertanya sambil memandang. “Ada orang yang semenjak bertemu dengan kau ” ia berhenti lagi.
“Ya ?” Gwat Kong mendesak.
“Yang tidak memandang rendah kepadamu bahkan yang menganggap kau cukup berharga untuk menjadi sahabat seorang puteri kaisar sekalipun!”
“Ah, orang itu tentu terdorong hatinya oleh rasa kasihan terhadap anak yatim piatu sebatang kara yang miskin ini,” cela Gwat Kong. “Tidak! Orang itu menyatakan dengan sejujur hatinya bahwa kau adalah orang yang jujur dan mulia. Sifat kebajikan ini tak dapat diukur dengan hanya melihat keadaan lahirnya. Sejarah menyatakan bahwa tak sedikit jumlahnya orang-orang yatim piatu yang paling miskin memiliki jiwa kesatria dan hati mulia yang jauh lebih berharga dari pada segala pangkat dan harta benda orang-orang berhati rendah!”
Maka merahlah muka Gwat Kong. “Aaah, orang itu terlalu melebih-lebihkan!” Diam-diam ia menjadi bingung dan dadanya berdebar, karena ia maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Cui Giok ‘orang’ itu adalah Cui Giok sendiri.
Nona itu tertawa dan memandang kepada Gwat Kong dengan mata berseri dan gembira. “Sayangnya kau pemalu dan berpura-pura alim!”
“Haaa ?” Gwat Kong memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cui Giok hanya
tertawa geli lalu berlari cepat sehingga Gwat Kong harus mengerahkan tenaga untuk menyusulnya.
Beberapa hari kemudian mereka tiba di pinggiran sungai Yung-ting di propinsi Hope.
“Gwat Kong, aku sudah bosan melakukan perjalanan melalui darat. Marilah kita melanjutkan melalui sungai Yung-ting ini. Aku mendengar kabar bahwa pemandangan di kanan kiri sungai ini amat indahnya, pula dengan membonceng kepada aliran air, kita menghemat tenaga kaki.”
“Kau pemalas!” Gwat Kong menggoda.
Akan tetapi ia tidak membantah dan keduanya lalu menyewa sebuah perahu kepunyaan seorang nelayan tua yang berjenggot panjang. Perahu itu kecil saja akan tetapi masih baik dan kuat. Di sini terdapat sebuah payon dari bilik yang kecil akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai pelindung serangan hujan atau angin. Tiang layarnya dari kayu kasar dan kuat, dipasang di tengah-tengah perahu.
“Ji-wi jangan kuatir, perahuku ini cukup dan baik, tidak bocor sedikitpun juga seperti mulut seorang budiman.”
Gwat Kong tersenyum dan sambil memandang air sungai Yung-ting yang sedang pasang, ia bertanya,
“Apakah tidak berbahaya, lopek? Aku harus akui bahwa aku tak pandai berenang, sungguhpun kawanku ini seorang ahli berenang yang pandai.” Sambil berkata demikian, ia mengerling kepada Cui Giok yang tertawa geli karena kata-kata ini mengingatkan ia akan peristiwa ketika ia berjumpa untuk pertama kalinya dengan Gwat Kong.
“Sama sekali tidak berbahaya. Bahkan kalau air sedang pasang seperti ini, lebih mudah untuk berlayar. Tidak takut akan bahayanya batu karang yang menghalang di bawah permukaan air.”
“Apakah tidak ada bajak sungai?” tanya Cui Giok. Kakek nelayan itu mengerutkan alisnya. “Tak berani aku mengatakan tidak ada. Biasanya sih aman saja. Hanya kadang-kadang di dekat Kiang-sui suka timbul gangguan bajak sungai.