Akan tetapi, pelayan itu tidak cepat-cepat melakukan perintah ini, bahkan berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka dengan muka yang bodoh.
“Mengapa kau masih berdiri saja?” Pui Kiat yang masih makan nasinya itu membentak pula.
Pelayan gemuk pendek itu mengangkat pundak dan mengembangkan kedua tangannya seperti orang yang merasa susah dan putus harapan. “Harap jangan marah, tuan-tuan dan nona-nona. Selain nasi, tidak ada masakan apapun juga di sini. Kalau tuan-tuan dan nona-nona suka akan kecap saja ”
“Kau suruh kami makan nasi dengan kecap? Gila! Kenapa tidak ada masakan? Apakah restoranmu ini sudah mau gulung tikar?” kata Pui Kiat yang menunda makannya. Nasi semangkok itu tinggal sedikit saja karena perutnya yang lapar membuat nasi tanpa sayur itu terasa cukup nikmat.
“Pagi tadi sih lengkap,” pelayan itu menjawab. “Akan tetapi semua masakan kami diborong oleh pasukan berkuda dari kota raja itu dan harus diantarkan semua ke tempat pemberhentian mereka. Bukan dari restoran kami saja, bahkan dari restoran lain pun demikian.”
Pui Kiat menggebrak meja. “Apakah hanya mereka saja yang mampu membayar? Kami juga akan membayar sepenuhnya!”
Pelayan itu makin gelisah dan mukanya menjadi pucat melihat dandanan pakaian empat orang tamu ini. Ia dapat menduga bahwa mereka ini adalah orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat yang tak boleh dibuat gegabah. Maka dengan amat hati-hati dan membungkuk-bungkuk ia berkata,
“Maaf siauw-ya (tuan muda). Siapa berani membantah kehendak perwira dari kota raja? Kalau kami memberi masakan kepada cuwi, kemudian terlihat kepada mereka, bukankah itu berarti bahwa kami mencari bencana sendiri?”
“Jangan takut, kami yang akan tanggung!” kata pula Pui Kiat yang berangasan. Keluarkan sayur dan daging untuk kami, akan kami bayar sepenuhnya. Lagi pula, kami hanya berempat dan kami bukanlah orang-orang yang gembul, tentu takkan habis persediaan masakanmu oleh kami berempat.”
Pelayan itu tidak menjawab hanya kini ia mewek seperti mau menangis, matanya memandang bingung dan kadang-kadang melirik ke arah mangkok nasi Pui Kiat yang hampir habis nasinya itu. Agaknya meragukan ucapan Pui Kiat yang menyatakan bahwa empat orang ini bukan orang-orang gembul. Kalau bukan gembul, masa semangkok nasi tanpa sayur dapat dilalap habis dalam waktu sebentar saja?
Pui Kiat tidak sabar lagi, lalu bangkit berdiri menghampiri pelayan itu, memegang tangannya dan menariknya menuju ke dapur di restoran itu. Merasakan betapa pegangan tangan Pui Kiat bagaikan jepitan besi pada pergelangan tangannya, pelayan itu tidak berani berlambat-lambat lagi dan segera mengerjakan semua pesanan Pui Kiat. Juga para tukang masak melihat hal ini menjadi bingung karena mereka benar-benar merasa takut kalau-kalau mendapat marah dari perwira pemesan masakan itu.
Atas desakan dan ancaman Pui Kiat, karena bahan-bahan berupa sayur dan daging memang sudah tersedia, sebentar saja beberapa mangkok masakan yang mengepul dan mengeluarkan kesedapan yang menimbulkan selera dihidangkan oleh pelayan gemuk pendek ke meja empat orang muda itu. Pui Kiat dan tiga orang kawannya lalu makan minum dengan gembira.
“Anak-anak murid Hoasan bermakan minum dengan seorang murid Gobi!” kata Pui Hok sambil mengerling ke arah Tin Eng yang duduk di sebelah kanannya. “Aduh, sungguh hal yang belum pernah terjadi selama bertahun-tahun ini. Sungguh hal yang mengagumkan dan menyenangkan sekali!”
“Jiwi suheng (kakak seperguruan berdua) sebetulnya hendak ke manakah? Tanya Kui Hwa yang telah menghabiskan nasinya.
“Kami hendak pergi ke Swi-siang mengunjungi seorang paman dan karena kita satu jurusan, maka biarlah kita melakukan perjalanan bersama,” kata Pui Kiat. “Bukankah perjalanan ke Hong-san melalui kota itu?”
“Bagiku sih tidak ada halangannya, bahkan makin banyak kawan seperjalanan makin gembira. Akan tetapi harus ditanyakan dahulu kepada adik Tin Eng.”
“Liok–lihiap tentu tidak keberatan untuk melakukan perjalanan bersama kami berdua, bukan?” Pui Hok bertanya sambil memandang pada gadis itu.
MENGHADAPI dua orang bersaudara yang amat peramah itu, tentu saja tak mungkin bagi Tin Eng untuk menyatakan keberatannya. Sungguhpun ia akan lebih senang apabila dapat melakukan perjalanan berdua saja dengan Kui Hwa. Demi kesopanan dan persahabatan, ia tersenyum sambil menjawab,
“Mengapa aku harus keberatan? Jiwi enghiong adalah kakak seperguruan enci Kui Hwa dan karena enci Kui Hwa adalah sahabat baikku, maka jiwi berarti juga sahabat-sahabatku pula.”
Bukan main girangnya Pui Kiat dan Pui Hok mendengar ini. Lagi-lagi mereka memuji gadis ini dan menyatakan bahwa apabila semua anak murid Go-bi-san seperti Tin Eng, tentu keadaan dunia akan menjadi aman.
“Akan tetapi kalian berdua menunggang kuda,” kata Pui Kiat. “Maka lebih baik aku dan adikku ini mencari dua ekor kuda pula. Sumoi dan Liok-lihiap harap tunggu sebentar di sini, karena aku dan adikku akan membeli dua ekor kuda dulu.”
Kui Hwa dan Tin Eng menyatakan baik dan kedua orang saudara Pui itu meninggalkan rumah makan untuk pergi membeli kuda tunggangan. Kedua orang gadis yang ditinggal berdua saja itu bercakap dengan gembira.
“Kedua suhengku itu biarpun agak kasar, akan tetapi mereka mempunyai hati yang baik dan jujur,” kata Kui Hwa.
“Enci Hwa, melihat suhengmu Pui Kiat itu amat menaruh perhatian padamu. Apakah kau tidak merasakan hal itu?”
Merahlah muka Kui Hwa. Ia mengangguk dan menjawab, “Dugaanmu memang benar, Tin Eng. Semenjak dahulu dia memang ada hati terhadapku.”
Setelah berkata demikian, Dewi tangan maut ini menundukkan kepalanya dan mukanya membayangkan kedukaan besar. Tin Eng yang cerdik dapat menduga bahwa kawannya ini tentu teringat lagi akan malapetaka yang menimpa dirinya berhubungan dengan pertemuannya dengan Gan Bu Gi.
Pada saat itu terdengar suara orang di depan restoran dan mereka mengenal suara pelayan pendek gemuk yang bicara dengan suara gemetar ketakutan.
“Ampun, tai-ciangkun. Bukan sekali-kali maksud hamba membangkang terhadap perintah akan tetapi kami tidak berdaya. Empat orang tamu telah memaksa kepada hamba melayani mereka dan menghidangkan masakan yang telah dipesan oleh Tai-ciangkun, maka terserahlah kepada kebijaksanaan tai-ciangkun!”
“Kurang ajar!” terdengar suara orang memaki. Suara ini tinggi dan kecil hingga amat ganjil bagi suara seorang laki-laki.
Kemudian terdengar tindakan kaki banyak orang memasuki restoran itu.
Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang dan bersiap sedia karena mereka maklum bahwa yang datang ini tentulah perwira kerajaan yang menurut kata pelayan tadi, itulah pemborong semua masakan restoran itu. Mereka melihat munculnya lima orang.
Yang terdepan adalah seorang laki-laki berusia hampir empat puluh tahun yang berpakaian seperti guru silat dengan sarung golok tergantung pada pinggang kirinya. Tubuh orang ini tegap dan jenggotnya hanya sedikit, meruncing ke bawah bagaikan jenggot kambing bandot.
Di belakangnya nampak empat orang berpakaian seragam dan melihat hiasan bulu di atas topi mereka, tahulah kedua orang gadis itu bahwa mereka adalah perwira-perwira kerajaan. Ketika melihat seorang yang masuk paling belakang, Tin Eng terkejut sekali karena mengenal orang itu sebagai Thio Sin, kepala pengawal atau perwira yang bekerja pada ayahnya. Thio Sin membisikkan sesuatu kepada laki-laki setengah tua yang memimpin tadi. Laki-laki itu berubah mukanya dan kalau tadi ia nampak marah sekali, kini ia berubah menjadi girang, bahkan lalu tertawa bergelak.
“Ah, ini namanya jodoh! Dicari dengan sengaja ke mana juga tidak bertemu. Tidak tahunya tanpa disengaja berjumpa di sini. Ha ha!”
Tin Eng berdiri dengan hati tidak enak. Ia tidak tahu siapakah orang ini. Akan tetapi dengan hadirnya Thio Sin di situ, ia merasa bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.