Pendekar Pemabuk Chapter 65

NIC

“Jangan!” Kau pergilah dari sini! Musuhmu ini aku yang menjatuhkannya, maka aku dan suhu yang berhak memutuskannya. Pula kau telah melakukan pekerjaan buruk dan kalau saja tidak mengingat bahwa kau adalah anak murid Gobi, tentu kami tak sudi membantumu.”

Penjahat itu pergi bagaikan anjing kena pukul, tidak berani menengok lagi, bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak.

“Suhu, teecu harap suhu tidak berkeberatan untuk mengampuni nona ini.” Bong Bi Sianjin gelak terbahak mendengar ucapan muridnya ini.

“Kau yang menangkapnya, maka terserah kepadamu. Kau tahu kemana harus menyusul, kalau sudah selesai urusanmu dengan nona ini!” Kembali tosu itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, meninggalkan Gan Bu Gi dan nona tawanan di tempat itu.

Tin Eng mendengar penuturan Kui Hwa dengan penuh perhatian. Ia melihat betapa kawannya itu memandang jauh dengan mata penuh lamunan, seakan-akan membayangkan segala peristiwa yang dahulu telah terjadi dan menimpa kepada dirinya.

“Demikianlah, adik Tin Eng. Tosu tua yang batinnya tidak bersih itu meninggalkan muridnya seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada muridnya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik,” kata Kui Hwa melanjutkan ceritanya. “Dan semenjak saat itu, aku telah bersumpah di dalam hatiku bahwa pada suatu hari aku pasti akan membunuh bangsat Gan Bu Gi dan tosu keparat itu!” Gadis itu kini menjadi merah mukanya dan matanya mengeluarkan cahaya berapi.

“Akan tetapi enci Hwa, apakah yang telah dilakukan oleh Gan Bu Gi kepadamu?” tanya Tin Eng sambil memandang penuh perhatian.

“Apa yang dilakukan? Jahanam itu .... anjing rendah itu .... ia ah, tak dapat kuceritakan apa

yang telah ia perbuat terhadap diriku!” Dan tiba-tiba Kui Hwa mengucurkan air mata, lalu bangkit berdiri dan melompat ke atas kudanya serta melarikan kuda itu secepatnya.

Tin Eng melengak, terpaksa iapun melompat ke atas kudanya dan menyusul kawannya. Biarpun Kui Hwa tidak memberi penjelasan, akan tetapi ia dapat menduga apakah yang telah diperbuat oleh Gan Bu Gi terhadap gadis itu. Dan kebenciannya terhadap Gan Bu Gi meluap- luap, Bangsat rendah, pikirnya, orang macam itu harus dibinasakan. Dan ayahnya bahkan memaksanya untuk menjadi isteri dari pemuda macam itu.

Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke Hong-san dengan cepat. Karena Tin Eng tidak mendesaknya dan tidak minta penjelasan, maka Kui Hwa tidak banyak bicara lagi dan soal yang lalu itu tidak pernah disinggung-singgung oleh kedua pihak. Berkat kejenakaan dan kegembiraan Tin Eng, awan gelap yang selalu menyelimuti wajah Kui Hwa semenjak ia menuturkan pengalamannya, mulai pudar dan ia menjadi gembira lagi seperti biasa. Pada suatu hari, mereka tiba di kota Keng-hoa-bun yang berada di tepi sungai Siong-kiang. Baru saja mereka memasuki pintu gerbang kota dan kuda-kuda mereka dilarikan congklang, tiba-tiba terdengar suara laki-laki memanggil Kui Hwa. “Tan-sumoi!”

Kui Hwa menengok dan ketika melihat dua orang pemuda berdiri di pinggir jalan, ia menahan kudanya dan menjawab, “Hai ! Jiwi suheng! Kalian juga berada di sini?”

Tin Eng menengok dan memandang kepada dua orang pemuda yang ditegur oleh Kui Hwa. Mereka ini adalah dua orang laki-laki muda yang tegap dan gagah, yang seorang berpakaian baju biru dan yang kedua baju putih. Dari sebutan yang dikeluarkan oleh Kui Hwa tadi ia maklum bahwa kedua orang pemuda itu adalah suheng (kakak seperguruan) dari kawannya, jago-jago muda dari Hoa-san-pai, maka ia memandang dengan penuh perhatian.

Kui Hwa melompat turun dari kudanya, dituruti oleh Tin Eng, sedangkan kedua orang pemuda itupun berlari menghampiri mereka.

“Sumoi, kau hendak pergi kemanakah?”

Kui Hwa tersenyum dan berkata sambil menunjuk ke arah Tin Eng,

“Panjang untuk dibicarakan, kita harus mencari tempat yang cocok untuk memutuskan hal ini. Sekarang perkenalkan dulu, ini sahabat baikku yang bernama Liok Tin Eng yang berjuluk Sian-kiam Lihiap. Adikku, ini adalah kedua suhengku yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok!”

Kedua saudara Pui itu menjura kepada Tin Eng yang membalasnya pula sebagaimana lazimnya.

“Sumoi berkata benar!” kata Pui Hok yang berbaju putih. “Mari kita pergi ke rumah makan untuk bercakap-cakap.”

Tin Eng dan Kui Hwa lalu menuntun kuda mereka dan berempat pergi ke sebuah rumah makan yang terdekat. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera menyuruh seorang kawannya menerima dua ekor kuda itu untuk dicancang di pinggir rumah makan. Kemudian ia mengantar keempat orang tamunya ke ruangan tamu yang kosong.

Pui Kiat, Pui Hok, Tin Eng dan Kui Hwa lalu duduk mengelilingi sebuah meja. Rumah makan itu amat sederhana, bahkan buruk sekali. Temboknya sudah banyak yang rusak kelihatan batanya, karena keadaan di situ tidak amat bersih, mereka memilih tempat duduk dekat jendela yang kereinya tergulung agar mendapat hawa segar. Pelayan itu lalu mendekati mereka sambil membungkuk-bungkuk. Sikapnya menghormat sekali dan pelayan ini memang lucu wajahnya. Mukanya bundar, seperti juga tubuhnya yang gemuk pendek, senyumnya lebar dan pakaiannya sudah tambal-tambalan.

“Tuan-tuan dan nona-nona tentu haus dan hendak minum arak, bukan? Arak kami sudah tersohor enak dan wangi dan saya berani bertanggung jawab bahwa setetes pun air tidak dicampurkan seperti arak yang dijual di lain rumah makan!” kata pelayan itu sambil mengacungkan ibu jari kedua tangannya.

Pui Kiat berwatak polos dan kasar dan pada waktu itu ia telah merasa lapar sekali, maka berkata keras, “Sediakan nasi yang banyak dan arak baik!”

Pelayan itu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri untuk menyediakan pesanan Pui Kiat. Kemudian Pui Kiat memandang kepada sumoinya dan berkata dengan muka girang,

“Sumoi, telah lama kita tidak bertemu. Kau harus menuturkan semua pengalamanmu. Kau hendak pergi kemanakah dan setelah kita bertemu di sini, lebih baik kita mengadakan perjalanan bersama.”

Kui Hwa tersenyum dan Tin Eng yang melihat pandangan mata Pui Kiat kepada sumoinya diam-diam tersenyum juga karena pandang mata pemuda itu dengan jelas menyatakan bahwa Pui Kiat menaruh hati sayang kepada sumoinya.

“Twa-suheng, aku dan adik Tin Eng ini hendak pergi ke Hong-san!” jawab Kui Hwa.

Pui Kiat yang duduk di sebelah kanannya memandang kepada Pui Hok dan kedua orang itu menyatakan keheranan mereka.

“Mengapa semua orang hendak pergi ke Hong-san?” kata Pui Hok. “Pasukan berkuda itupun hendak pergi ke Hong-san! Ada apakah di Hong-san, sumoi?”

Kui Hwa bertukar pandang dengan Tin Eng dan Dewi tangan maut itu mengerti bahwa Tin Eng tidak setuju apabila ia menceritakan tentang harta terpendam itu kepada kedua suhengnya, maka lalu ia menjawab,

“Ah, itu hanya kebetulan saja barangkali jiwi-suheng. Kami berdua hanya ingin meluaskan pemandangan. Karena kami mendengar bahwa pemandangan di Hong-san amat indah, maka kami hendak pesiar di sana.”

Sementara itu, semenjak tadi Pui Hok mengerling ke arah Tin Eng dengan pandang mata kagum dan hormat,

“Bolehkah siauwte mengetahui, Liok lihiap ini anak murid dari mana?” ia bertanya kepada Tin Eng. Dara ini merasa ragu-ragu untuk menjawab oleh karena maklum bahwa kedua saudara Pui ini adalah anak murid Hoa-san-pai yang bermusuhan dengan Go-bi-pai, cabang persilatan dari ayahnya, maka ia menjadi serba salah dan memandang kepada Kui Hwa. Dewi tangan maut itu tertawa dan berkata kepada kedua suhengnya,

“Harap jiwi suheng jangan heran dan kaget. Nona ini adalah seorang anak murid yang tidak langsung dari Go-bi-pai.”

Kedua saudara Pui ini tercengang, bahkan air muka mereka berubah ketika mendengar ini, akan tetapi Kui Hwa cepat-cepat melanjutkan keterangannya.

“Suheng berdua jangan salah sangka. Biarpun adik Tin Eng anak murid Gobi, akan tetapi sikap dan pendiriannya berbeda dengan anak murid Go-bi-pai yang lain. Ia tidak bermusuhan dengan cabang kita, buktinya ia menjadi sahabat karibku. Adik Tin Eng samasekali tidak memperdulikan permusuhan-permusuhan itu, dan menurut pertimbangannya, tidak perduli dari cabang manapun yang jahat adalah musuhnya dan yang baik menjadi sahabatnya.” Kedua saudara Pui itu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum dan girang. “Pertimbangan yang amat bijaksana!” Pui Hok memuji.

“Bagus!” Pui Kiat menyatakan kegirangan. “Kalau semua anak murid Go-bi-pai seperti Liok lihiap ini, alangkah akan senangnya hatiku.”

“Akan tetapi sesungguhnya adik Tin Eng bukanlah mengandalkan kepandaiannya dari ilmu silat cabang Gobi. Ia mendapat sebutan Sian-kiam lihiap, bukan karena ilmu pedang cabang Go-bi-pai, akan tetapi karena ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat!”

Makin tercengang kedua orang pemuda itu mendengar keterangan ini.

“Ah ...! Tidak tahunya kita berhadapan dengan seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-hoat yang terkenal itu!” kata Pui Kiat sambil berdiri dan menjura kepada Tin Eng, diturut pula oleh Pui Hok. “Maaf, lihiap. Kami berlaku kurang hormat!”

Tin Eng cepat berdiri dan membalas penghormatan ini, lalu berkata cemberut sambil mengerling kepada Kui Hwa yang duduk di sebelah kanannya,

“Dasar enci Kui Hwa yang bisa saja memuji orang. Ilmu pedangku yang masih dangkal apa harganya untuk diperkenalkan? Harap jiwi enghiong tidak berlaku sungkan dan banyak menjalankan peradatan!”

Pada saat itu, pelayan yang gemuk pendek itu muncul membawa guci arak, cawan-cawan arak dan empat mangkok nasi putih yang bersih. Dengan cekatan dan tersenyum-senyum ia mengatur cawan-cawan arak dan mangkok nasi itu dihadapan keempat orang tamunya. “Silahkan, tuan-tuan dan nona-nona. Selamat makan dan minum!”

Pui Kiat sudah lapar semenjak tadi. Melihat nasi putih yang masih mengebul hangat itu, cepat ia menyambarnya dan menggunakan sumpit untuk makan nasi itu. Akan tetapi Kui Hwa memandang kepada pelayan tadi dan berkata,

“Apakah kau sudah mabok? Mana masakan sayurannya? Apakah kami harus makan nasi saja?”

Pui Hok juga merasa tidak senang dan sambil memandang kepada pelayan itu dengan mata mendelik ia berkata,

“Bagaimana sih kau melayani tamu? Apakah restoran ini hanya menjual nasi saja? Hayo, cepat sediakan masakan-masakannya yang paling istimewa. Cepat, kami sudah lapar!”

Posting Komentar