Pendekar Pemabuk Chapter 63

NIC

Tiba-tiba Cui Giok tersenyum lebar. “Bagus kalau begitu, empat besar akan bertemu di kota raja. Dengan adanya kau, aku merasa lebih yakin bahwa mereka tentu akan mengalami kehancuran. Aku tidak malu datang bersama kau mencari mereka, karena merekapun delapan orang!”

“Terima kasih Cui Giok. Kau baik sekali dan aku girang kau percaya kepadaku.”

“Sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu semenjak kau terlahir sampai sekarang!” kata Cui Giok yang mengumpulkan daun kering ditumpuk lalu ia membaringkan tubuhnya berbantal daun kering setumpuk itu, di dekat api. Gwat Kong tersenyum geli mendengar ucapan itu, maka dengan singkat ia lalu bercerita tentang riwayatnya, tentang ayahnya yang difitnah oleh hartwan Tan, tentang ibunya yang hidup sengsara dan menderita. Kemudian ia menceritakan pula betapa ia bekerja sebagai pelayan di rumah pembesar she Liok dan bagaimana ia menemukan kitab ilmu pedang Sin- eng Kiam-hoat secara kebetulan.

Pendeknya ia menceritakan seluruh riwayatnya, kecuali tentu tentang Tin Eng ia tidak menceritakan sama sekali. Lama juga ia bercerita sambil memandang ke arah api dengan pikiran melayang ke masa lampau. Setelah ia berhenti bercerita dan memandang kepada Cui Giok karena gadis itu semenjak tadi diam saja tidak bersuara sedikitpun, ia melengak. Karena ternyata bahwa nona baju kuning itu telah tidur pulas!

Gwat Kong merasa mendongkol sekali karena agaknya sudah sejak tadi gadis itu tertidur sehingga tadi ia bercerita kepada api unggun! Akan tetapi ia merasa geli juga dan

memandang kepada gadis itu dengan hati girang karena ia merasa suka melihat sikap gadis itu yang begitu terbuka. Ia percaya bahwa Cui Giok bukan tertidur karena kesal mendengar ceritanya. Akan tetapi karena memang benar-benar ia lelah sekali sehingga tertidur tanpa terasa lagi.

Gwat Kong mencari ranting-ranting kering untuk menambah bahan bakar, kemudian iapun duduk melenggut bersandarkan pohon dan tak lama kemudian iapun tertidur.

Pada keesokan harinya, pundaknya digoyang-goyang orang dan ketika ia terbangun ia mendengar suara Cui Giok. “Bangun! Bangunlah, pemalas benar.”

Gwat Kong membuka matanya dan melihat bahwa malam telah berganti pagi dan api unggun di depannya telah padam. Cui Giok nampak segar. Agaknya gadis ini pagi-pagi telah mandi di sungai itu. Melihat pakaiannya sendiri yang masih kotor berlumpur, Gwat Kong lalu membuka buntalan pakaiannya karena pakaian ini telah kering dan bersih. Kemudian ia berlari menuju ke sungai untuk mandi dan bertukar pakaian. Ketika ia kembali ke tempat itu, ternyata Cui Giok memanggang dua potong daging kelinci di atas api unggun. Bau daging panggang yang sedap itu membuat perut Gwat Kong berbunyi keras dan panjang.

“Aduh sedapnya!” ia berkata sambil menelan ludah.

Cui Giok mengerling dan berkata, “Akan kuberikan sepotong kepadamu asal kau duduk dengan baik dan menceritakan riwayatmu kepadaku. Kau belum menceritakannya sedangkan aku telah menuturkan semua riwayatku.”

“Siapa bilang belum kuceritakan? Semalam telah kuceritakan semua dari awal sampai akhir. Akan tetapi kau telah tertidur dan tidak mendengarkannya sama sekali!”

“Benarkah ??” Suara ini terdengar demikian kecewa dan wajah yang manis itu nampak

demikian menyesal sehingga Gwat Kong segera berkata, “Ah, tidak, aku membohong. Kau memang tertidur dan akupun menghentikan ceritaku. Nah, kau makanlah daging itu, aku akan menuturkan riwayatku dengan singkat!” Demikianlah, Gwat Kong untuk kedua kalinya menuturkan riwayatnya dan beberapa kali ia memandang tajam, takut kalau-kalau ia dipermainkan lagi. Akan tetapi melihat perhatian yang dicurahkan oleh Cui Giok, ia maklum bahwa gadis itu tidak mempermainkannya.

Setelah daging itu matang, mereka makan dengan lezat dan enaknya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja untuk mencari Liok-te Pat-mo si delapan iblis bumi.

Di sepanjang jalan mereka merasa gembira dan cocok sekali, bagaikan dua orang sahabat yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat.

****

Setelah merobohkan Lui Siok si Ular Belang yang menjadi wakil ketua dari Hek-i-pang dan menjadi suheng (kakak seperguruan) Gan Bu Gi, kemudian melukai kuda yang ditunggangi oleh Song Bu Cu ketua Hek-i-pang sehingga ketua itu bersama Gan Bu Gi tak berdaya dan tak dapat mengejar. Tin Eng dan Kui Hwa melarikan kuda mereka dengan senang dan di sepanjang jalan kedua orang nona pendekar ini tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya.

“Aah, cici Hwa, benar-benar puas hatiku dapat mempermainkan mereka! Ha ha ha !! Kedua ketua dari Hek-i-pang bersama si keparat Gan Bu Gi itu telah mendapat hinaan dari kita berdua. Aah, sungguh senang melakukan perjalanan dengan kawan segagah engkau, enciku yang baik.”

Sebaliknya Kui Hwa menarik napas panjang. “Akan tetapi aku merasa kecewa, adik Eng. Kalau saja aku dapat bertemu berdua saja dengan Gan Bu Gi, tanpa adanya bantuan dari Lui Siok dan Song Bu Cu yang tangguh tentu pedangku akan menamatkan riwayat pemuda jahanam itu!”

“Enci Hwa, mengapakah sebetulnya maka kau amat membenci Gan Bu Gi? Dahulu kau mengatakan bahwa orang she Gan itu pernah menyakitkan hatimu. Penghinaan apakah yang telah ia perbuat?”

Tiba-tiba Kui Hwa menghentikan kudanya bahkan lalu turun dan pergi duduk di tepi jalan di bawah sebatang pohon. Tin Eng juga melompat turun dan melihat betapa kedua mata Kui Hwa tiba-tiba menjadi merah dan beberapa titik air mata turun membasahi pipinya. Tin Eng merasa terkejut sekali. Ia memegang tangan kawannya itu dan bertanya, “Ah, maafkan aku telah menyinggung perasaan hatimu, enci Hwa.”

Alangkah herannya ketika ia melihat Kui Hwa tiba-tiba menangis sedih, menutupi mukanya dan dengan ujung lengan baju dan tak dapat menjawab, hanya terisak-isak.

“Enci Kui Hwa, agaknya orang she Gan itu telah memberikan sesuatu yang hebat kepadamu. Ketahuilah bahwa aku juga menderita oleh karena dia.”

Kui Hwa mengangkat mukanya yang merah dan memandang kepada Tin Eng. Ucapan Tin Eng ini benar-benar menarik perhatiannya. Tin Eng maklum bahwa kawannya itu ingin mengertahui riwayatnya dan karena menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa, maka ia lalu menuturkan riwayatnya. “Enci Kui Hwa, entah apa yang ia lakukan terhadapmu sehingga kau merasa amat berduka. Akan tetapi, Gan Bu Gi yang menjadi biang keladi sehingga aku terpaksa meninggalkan rumah orang tuaku dan merantau seperti seorang yang tak berkeluarga.”

Diceritakannya betapa Gan Bu Gi itu diantar oleh gurunya, yakni Bong Bi Sianjin tokoh Kim- san-pai juga oleh Seng Le Hosiang tokoh Go-bi-pai mengunjungi ayahnya sehingga kemudian Gan Bu Gi diberi kedudukan sebagai komandan pasukan pengawal. Betapa kemudian ayahnya bahkan hendak memaksanya untuk menjadi isteri perwira she Gan itu.

“Demikianlah enci Kui Hwa, maka aku lalu melarikan diri dari rumah karena ayah memaksaku. Aku tidak sudi menjadi isterinya, aku aku benci kepadanya. Akhir-akhir ini

aku mendapat perasaan bahwa orang she Gan itu bukanlah seorang manusia baik.”

“Kau benar, adikku dan dalam hal ini kau lebih cerdik dan awas dari padaku,” akhirnya Kui Hwa berkata setelah berkali-kali menghela napas. “Gan Bu Gi memang hanya di luarnya saja kelihatan tampan dan gagah serta halus, sopan sikapnya. Akan tetapi ia memiliki watak yang tidak baik dan palsu.”

“Kalau kau percaya kepadaku, enci Kui Hwa, ceritakanlah pengalamanmu ini sehingga aku dapat mendengar sampai di mana kejahatan Gan Bu Gi.”

Posting Komentar