Pendekar Pemabuk Chapter 61

NIC

Biarpun tubuhnya telah mulai hangat karena terpanggang api dari luar, namun ia masih merasa dingin perutnya. Maka Gwat Kong lalu mengeluarkan guci araknya dan membuka tutupnya. Ia mengulurkan tangan menawarkan minuman itu kepada Cui Giok.

“Minumlah supaya perut menjadi hangat!”

Cui Giok menerimanya dan memandang guci perak itu dengan kagum dan tanyanya, “Mana cawannya?”

Gwat Kong menggeleng kepala. “Aku tidak pernah membawa cawan.” “Habis bagaimana minumnya?”

“Teguk saja dari mulut guci!”

“Kau kira aku setan arak?” kata Cui Giok. Akan tetapi karena iapun merasa betapa perut dan dadanya dingin, ia lalu membawa mulut guci itu ke bibirnya dan menuangkan sedikit isinya ke dalam mulut. Ia merasai minuman yang manis dan wangi, sama sekali berbeda dengan arak biasa, akan tetapi juga mempunyai sifat panas seperti arak. Ia menunda minumnya, dan memandang kepada pemuda itu dengan heran dan mata mengandung pertanyaan.

“Itu sari buah, bukan arak biasa. Disebut arak obat oleh suhu, baik untuk peredaran darah.”

Cui Giok tersenyum lalu minum lagi beberapa teguk. Benar saja, tubuhnya terasa hangat dan enak setelah arak obat itu mengalir masuk ke dalam perutnya. Ia mengembalikan guci itu kepada Gwat Kong yang menerimanya dan terus meneguknya dengan gaya seorang ahli minum benar-benar.

Melihat betapa pemuda itu tidak membersihkan atau menghapus dulu mulut guci yang tadi menempel di bibirnya dan terus meneguknya, tak terasa lagi muka gadis itu menjadi merah karena jengah. Akan tetapi melihat cara pemuda itu minum arak ia teringat akan sesuatu dan setelah Gwat Kong menurunkan guci dan menutupnya kembali, Cui Giok berkata,

“Kau, tentulah Kang-lam Ciu-hiap yang disohorkan orang!” Gwat Kong tercengang, akan tetapi ia memandang kepada guci araknya dan tersenyum. “Kau pandai sekali menghubungkan sesuatu. Tentu guci arakku ini yang telah membuka rahasia.

Nona bicaramu seperti orang selatan. Apakah benar-benar kau ahli waris Im-yang Siang- kiam-hoat sebagaimana yang aku dengar tadi? Telah lama sekali aku mendengar dari suhu tentang kelihaian Im-yang Siang-kiam dan hari ini benar-benar aku membuktikan kebenaran ucapan suhu itu. Ilmu pedangmu benar-benar hebat!”

Merahlah wajah gadis itu. “Kalau kau tidak mengeluarkan ilmu silat cap-jai itu, ilmu pedangku takkan kalah oleh Sin-eng Kiam-hoat atau Sin-hong Tung-hoat!”

Gwat Kong tersenyum mendengar betapa ilmu silat campuran yang ia mainkan tadi untuk mengalahkan gadis ini disebut ilmu silat cap-jai.

“Memang Im-yang Siang-kiam hebat sekali,” ia memuji. “Nona sebetulnya siapakah kau dan hendak pergi ke mana?”

Nona itu memandang dengan mata yang tajam, lalu menjawab,

“Kau yang mengejarku dan karena gara-gara kau aku menjadi basah semua, maka sudah sepatutnya kalau kau yang menceritakan lebih dulu siapa kau ini dan apa maksudmu mengejarku tadi!”

Kembali Gwat Kong tertegun karena banyak sekali persamaan watak gadis ini dengan Tin Eng akan tetapi ia mengalah dan mulai menuturkan keadaan dirinya.

“Aku bernama Gwat Kong, she Bun seorang biasa saja, tidak ada apa-apa yang aneh

padaku dan eh, apalagi yang harus kuceritakan padamu?”

Ia memandang dengan bingung sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Ketika ia melihat betapa mata gadis itu memandang dengan lucu seakan-akan mentertawakannya, ia buru-buru melanjutkan penuturannya.

“Aku Bun Gwat Kong ... eh, sudah kukatakan tadi .... hmmm kau juga sudah tahu bahwa

aku disebut Kang-lam Ciu-hiap. Aku yatim piatu, sebatang kara tak berhandai taulan, tiada kawan kenalan, dan aku tadi tanpa kusengaja aku melihat sepak terjangmu dan mendengar

bahwa kau adalah ahli waris Ilmu pedang Im-yang Siang-kiam. Oleh karena itu, aku sengaja hendak berkenalan dengan ilmu pedangmu.”

Gwat Kong menarik napas lega karena dapat bicara lancar dan dapat menyelesaikan penuturan itu, karena sesungguhnya belum pernah ia menuturkan riwayatnya sendiri di depan orang lain, terutama kalau orang lain itu seorang gadis muda yang memandangnya dengan sepasang mata yang bersinar demikian tajam dibarengi bibir menahan senyum geli seakan- akan mentertawakan.

“Jadi, kau murid Bok Kwi Sianjin?” “Benar”

“Kalau begitu, untung aku bertemu dan bertempur dengan kau!” Gwat Kong memandang heran. “Mengapa bertempur dengan aku, kau anggap untung?”

“Kalau tidak bertemu dan bertempur dengan kau, tentu aku akan bertemu dengan Bok Kwi Sianjin!”

“Nona, apa maksudmu?”

Sie Cui Giok menarik napas panjang dan berkata sambil mulai menguncir kembali rambutnya yang telah mulai kering. Tadi ia melepaskan kuncirnya sehingga rambut terurai di atas pundaknya.

“Untuk menjelaskan maksud kata-kataku tadi, terpaksa aku harus menceritakan riwayatku.” “Ceritakanlah!” kata Gwat Kong dengan gembira dan penuh perhatian.

“Namaku Cui Giok, she Sie. Keluargaku tinggal di daerah selatan, di propinsi Ciang-si. Aku memang keturunan langsung dari pencipta Im-yang Kiam-hoat, yakni Sie Cui Lui, kakekku. Ayah telah meninggal dunia semenjak aku masih kecil. Ibu tinggal bersama kakek dan nenek. Jadi nasibku tak banyak bedanya dengan kau.

“Tapi kau masih punya ibu!” Gwat Kong mencela. “Ya, akan tetapi ada ibu tidak ada ayah, apa artinya?”

“Tapi kau masih punya kakek, punya nenek!” Gwat Kong mengejar dan mendesak lagi.

Cui Giok memandangnya dan tersenyum, “Sudahlah, biar kau menang! Memang nasibmu lebih buruk. Semenjak kecil aku mendapat latihan Im-yang Kun-hoat dan kiam-hoat dari kakekku.”

“Kemudian aku mulai melakukan perjalanan perantauan, yakni kurang lebih satu setengah tahun yang lalu. Aku mendapat dua macam pesanan dari kakek yang merupakan tugas bagiku dan belum terlaksana. Pertama-tama kalau aku kebetulan lewat di daerah di mana tinggal Bok Kwi Sianjin, aku harus menemuinya dan mengajak pibu sebagai wakil dari kakekku yang menjadi kawan baik Bok Kwi Sianjin! Karena kakek berpesan bahwa pibu ini harus dilakukan secara persahabatan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Maka setelah kini bertemu dengan kau yang menjadi murid Bok Kwi Sianjin, bahkan kita sudah bertempur pula, kurasa tugas pertama ini sudah kupenuhi!”

Gwat Kong mengangguk-angguk. “Kurasa memang benar begitu!” Ia sengaja membenarkan pandangan nona ini agar nona yang karena hari ini tidak mencari suhunya untuk mengajak pibu.

“Karena inilah maka tadi kukatakan untung telah bertempur dengan kau!” kata pula nona itu dan karena melihat betapa api unggun itu mengecil karena kayu bakarnya telah hampir habis, ia berkata,

“Apa ini perlu ditambah bahan bakar lagi?” Gwat Kong tersenyum, karena ia maklum bahwa secara tidak langsung, gadis ini minta ia mencari tambahan kayu kering. Tak terasa lagi, ketika ia mencari kayu kering di bawah- bawah pohon, ia mendapat kenyataan bahwa pada saat itu senja telah terganti malam. Ia cepat mengumpulkan kayu kering dan menambahkannya pada api unggun itu yang segera membesar lagi nyalanya.

“Dan apakah adanya pesan kedua dari kakekmu?” tanya Gwat Kong setelah menambah kayu pada api itu dan duduk di atas rumput lagi.

Posting Komentar