Pendekar Pemabuk Chapter 51

NIC

Pang Sin Lan tersenyum sindir. “Bagus sekali, kami mempunyai sahabat Sian-kiam Lihiap, kau pun tahu! Kalau ingin sekali tahu urusan kami, mengapa tidak datang saja kepada Sian- kiam Lihiap untuk bertanya? Hmmm, tentu takut kepadanya, bukan? Takut kepada pedangnya yang tajam?”

Disindir seperti ini, Ong Kiat Bo merah juga mukanya. Ia lalu melangkah menuju ke pintu dan berkata, “Betapapun juga, tak mungkin kalian akan bisa mendapatkan harta pusaka itu tanpa bantuanku!” Ia lalu bertindak keluar dengan muka masam dan hati mendongkol. Pang Gun dan adiknya saling pandang sambil tersenyum puas.

Sementara itu, ketika Tin Eng dan Kui Hwa sedang membicarakan soal pencarian harta pusaka yang tiba-tiba saja diserahkan ke dalam tangan mereka itu, datanglah Lie-wangwe menyusul keponakannya ke dalam taman. Ternyata bahwa pesuruh yang dulu membawa suratnya untuk ayah Tin Eng, kini telah tiba kembali membawa balasan di mana Liok Ong Gun minta agar supaya Tin Eng untuk sementara berdiam dulu di rumah Lie-wangwe dan menanti datangnya orang-orang yang akan menjemputnya.

Selain itu, ayah Tin Eng menyatakan juga dalam surat itu bahwa kesalahan Tin Eng yang melarikan diri dari rumah itu dimaafkan, dan kini sedang dipersiapkan perayaan pernikahannya apabila sudah kembali ke rumah.

Mendengar berita ini, Tin Eng menjadi marah sekali.

“Paman, surat itu tidak ada artinya, karena hari ini juga aku mau pergi bersama kawanku ini!”

Lie-wangwe terkejut, “Eh, hendak pergi kemana, Tin Eng? Jangan kau tinggalkan rumah ini seperti yang telah dipesankan oleh ayahmu. Bagaimana aku harus menjawab kalau ayahmu atau orang-orang suruhannya datang ke ini dan tidak mendapatkan kau berada di sini?”

“Mudah saja, pekhu. Kau bilang saja bahwa aku telah berangkat pulang lebih dulu dengan ambil jalan memutar, sekalian merantau dan melihat-lihat pemandangan, bersama seorang kawan baikku, yakni cici Kui Hwa ini!”

Berkali-kali Lie-wangwe membujuk dan mencegah, akan tetapi akhirnya ia maklum bahwa ia tak dapat menahan kehendak hati keponakannya yang keras ini. Ia amat mencinta keponakannya ini dan pencegahannya hanya khawatir kalau-kalau keponakannya akan mengalami bencana di jalan. Maka ia lalu cepat menyuruh para pelayan untuk membeli dua ekor kuda yang besar dan baik, serta mempersiapkan beberapa stel pakaian untuk Tin Eng. Tak lupa ia memberi bekal uang mas yang sekiranya cukup untuk dipakai membiayai perjalanan gadis itu.

Tin Eng merasa amat berterima kasih dan girang. Ia menjura kepada hartawan itu bersama- sama Kui Hwa yang juga menyatakan terima kasihnya atas pemberian kuda, dan Tin Eng berkata,

“Lie-pekhu, aku takkan melupakan kebaikan hatimu dan mudah-mudahan saja kelak aku akan dapat membalasnya!”

Maka berangkatlah kedua orang gadis pendekar ini, mengaburkan kuda keluar dari Hun-lam, menuju ke bukit Hong-san untuk mencari harta pusaka yang dipercayakan oleh kedua anak pangeran itu kepada mereka.

****

Kira-kira sepuluh lie di luar kota Hun-lam, ketika dua orang gadis sedang menjalankan kudanya dengan perlahan, tiba-tiba mereka mendengar suara telapak kaki kuda mengejar dari belakang dan suara panggilan penunggang kuda itu.

“Nona Liok, tunggu dulu!”

Tin Eng menahan kudanya lalu menoleh, juga Kui Hwa memutar kudanya memandang penunggang kuda yang datang itu.

“Dia adalah Hoa-coa-ji Lui Siok, wakil ketua Hek-i-pang!” bisik Tin Eng dengan hati tak enak.

“Hmm, hmm, apakah maksud kedatangannya? Dengan tenaga kita berdua untuk menghadapinya, ia benar-benar mencari mampus sendiri!” kata Kui Hwa.

Setelah datang dekat, ternyata bahwa orang itu memang benar Lui Siok si Ular Belang, wakil ketua Hek-i-pang yang lihai itu. Tangan kanannya bergerak dan sabuk ular belangnya yang lihai telah berada di tangannya. Ia maklum akan kelihaian Dewi Tangan Maut, maka ia tidak mau menghadapinya dengan tangan kosong.

“Kau berada di sini, bangsat perempuan dari Hoa-san? Kebetulan sekali, tanganku sudah gatal-gatal untuk menghajar seorang bangsat Hoa-san-pai!”

Kui Hwa memandang tajam dan mencabut keluar pedangnya. “Lui Siok manusia busuk! Bersiaplah untuk mampus!”

Juga Tin Eng mencabut keluar pedangnya, siap membantu Kui Hwa menghadapi si Ular Belang yang telah diketahui kelihaiannya itu. Melihat sikap Tin Eng ini, Lui Siok berkata kepadanya, “Nona Liok kau adalah anak murid Go-bi-pai. Tidak tahukah kau bahwa perempuan ini adalah musuh besar cabang kita? Dia adalah musuhmu juga, mengapa kau berjalan bersama- sama?”

Tin Eng tersenyum sindir. “Orang she Lui, dengarlah! Aku tidak tahu tentang permusuhanmu dan takkan perduli sedikitpun juga. Aku hanya kenal dua golongan orang, yakni orang baik- baik dan jahat. Yang baik kudekati dan yang jahat ku jahui. Cici Kui Hwa adalah orang baik tidak seperti kau seorang penjahat, maka mudah saja bagiku untuk mengambil keputusan harus membantu yang mana!”

“Anak kurang ajar! Tahukah kau bahwa ayahmu dan tunanganmu akan menjadi malu dan marah sekali kalau mendengar bahwa kau membantu seorang anak murid Hoa-san-pai yang menjadi musuh kita?”

“Aku tidak pernah bertunangan dan jangan kau sebut-sebut nama ayahku! Lebih baik kau lekas bilang apa keperluanmu menyusul dan memanggil-manggil aku!”

Lui Siok marah sekali. Ia menuding ke arah Tin Eng dengan telunjuk tangan kirinya dan membentak, “Perempuan tak tahu diri! Tadinya aku menyusulmu untuk membujuk agar supaya jangan meninggalkan gedung Lie-wangwe karena akupun bertugas menjaga keselamatanmu. Akan tetapi karena ternyata kau mengkhianati cabang persilatan kita, maka kau akan kuhajar sekalian dengan anjing betina dari Hoa-san-pai ini!”

Sambil berkata demikian ia melompat turun dari kuda. Kui Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, sambil berseru nyaring iapun melompat turun dari kuda dan langsung menyerang Lui Siok dengan pedangnya. Serangan yang amat ganas dan cepat dan ia mainkan Hoa-san-kiam-hoat yang cepat gerakannya dan lihai. Lui Siok berseru keras dan menangkis dengan senjatanya yang istimewa.

Tin Eng lalu melompat turun dari kudanya pula, lalu membawa kudanya sendiri dan kuda Kui Hwa ke bawah pohon di mana terdapat banyak rumput. Kemudian, dengan pedang ditangannya ia lalu lari menyerbu pertempuran itu dan membantu Kui Hwa. Pedang Tin Eng berkelebat menyambar bagaikan seekor burung garuda menyambar mangsanya. Ketika Lui Siok menangkis serangan pedang gadis itu, diam-diam ia terkejut karena tenaga dan kecepatan gadis ini sudah banyak maju jika dibandingkan dengan dulu ketika ia datang menyerang gadis itu di kebun bunga Lie-wangwe.

Memang semenjak dikalahkan oleh Lui Siok, Tin Eng lalu melatih diri dengan amat giatnya, sehingga ia mendapatkan kemajuan yang lumayan. Kini menghadapi musuh yang pernah mengalahkannya, tentu saja hatinya penuh dendam hendak menebus kekalahannya sehingga permainan pedangnya menjadi makin kuat. Ditambah pula dengan adanya Kui Hwa membuat Tin Eng merasa tabah sekali dan setiap serangan pedangnya dengan ilmu pedang Sin-eng- kiam-hoat yang luar biasa, merupakan tangan maut yang menjangkau ke arah nyawa Lui Siok.

Lui Siok harus mengerahkan seluruh kepandaian dan kegesitannya menghadapi kedua orang lawannya ini, karena Tin Eng dan Kui Hwa benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya! Ilmu pedang Kui Hwa adalah Hoa-san-kiam-hoat yang memiliki gerakan cepat, ditambah oleh watak Kui Hwa yang keras maka gerakan pedangnya menjadi ganas dan berbahaya sekali. Tingkat kepandaian Kui Hwa sudah mencapai tempat cukup tinggi dan pengalaman bertempur yang banyak membuat ia merupakan lawan yang bahkan lebih berbahaya dari pada Tin Eng yang memiliki ilmu pedang luar biasa. Juga Tin Eng merupakan lawan yang cukup berbahaya, maka kini ia menghadapi dua orang pendekar yang mainkan dua macam ilmu pedang dengan gaya jauh berbeda.

Biarpun tingkat kepandaian Kui Hwa masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Tin Eng, akan tetapi ilmu pedang Tin Eng masih menang jauh. Menghadapi ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang makin lama makin kuat, Lui Siok merasa bingung juga dan diam-diam ia akui bahwa ilmu pedang ini jauh lebih berbahaya dari pada ilmu pedang Hoa-san-pai.

Lui Siok tidak ragu-ragu lagi menghadapi Tin Eng, karena ia mendapat alasan kuat untuk melukai atau bahkan membunuh gadis ini. Terang-terangan gadis ini membantu Dewi Tangan Maut yang telah menjadi musuh besar golongan Go-bi-pai. Maka kalau kini Tin Eng membantunya, berarti gadis ini menjadi pengkhianat, menjadi musuh Go-bi-pai juga dan karenanya ia takkan dipersalahkan oleh Seng Le Hosiang atau tokoh-tokoh Go-bi-pai yang lain.

Posting Komentar