“Siu Eng, benar-benarkah kau sekejam itu, untuk membunuh laki-laki yang kau sendiri mencintai?” Kini Siang Cu memandang dengan mata menyatakan kengerian.
Kedua orang gadis ini sama sekali tidak tahu betapa pembicaraan mereka semenjak tadi didengarkan oleh orang yang makin lama makin menjadi pucat, apalagi ketika mendengar pengakuan Siang Cu tadi. Orang ini adalah Tiong San yang diam-diam telah melakukan pengintaian sehingga mendengar dengan jelas semua percakapan kedua orang gadis itu!
Tubuhnya menggigil ketika ia mendengar pengakuan Siang Cu yang menyatakan cintanya yang demikian besar! Ingin ia melompat kegirangan, dan karena tidak mau membiarkan kekasihnya itu tersiksa lebih lama lagi, ia lalu mengeluarkan cambuknya yang menyambar ke arah muka Siu Eng, dibarengi kata-katanya yang ditujukan kepada Siang Cu,
“Siang Cu .... kau salah sangka ....! Aku ... cinta kepadamu, kekasihku Cinta padamu dengan seluruh
hati dan nyawaku !” Tiong San melompat ke ruang itu ketika Siu Eng dengan kaget sekali mengelak dari
sabetan cambuk.
Siang Cu memandang dengan mata terbelalak seakan-akan melihat setan di siang hari. Pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Tiong San dan melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan sinar mata penuh kasih sayang dan amat mesra. Tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan!
Sementara itu, Siu Eng menjadi marah sekali.
“Shan-tung Koai-hiap, bangsat hina! Kau sudah tidak sabar untuk menerima mampus? Baik, malam ini juga aku akan membunuh kau dan kekasihmu yang hina-dina ini!” Ucapan ini dikeluarkan dengan marah dan sangat kerasnya, sehingga pada saat itu juga dari dalam berkelebat bayangan yang cepat sekali datangnya. Kiu-hwa-san Toanio telah berada di ruang itu, menghadapi Shan-tung Koai-hiap dengan pedang di tangan.
Tanpa banyak cakap lagi, Tiong San lalu menyerang to-kouw itu karena ia maklum bahwa inilah orangnya yang membantu Siu Eng. Ia melakukan serangan dengan pedangnya yang segera ditangkis oleh Kiu-hwa- san Toanio. Tiong San terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang yang amat kuat dan tajam, tetapi ia semakin bersemangat. Sebentar saja ia telah dikeroyok dua oleh Kiu-hwa-san Toanio dan muridnya yang menyerang dengan mati-matian.
Tiong San mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan pedang di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan, ia mempertahankan diri dan bahkan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya, sehingga kedua orang lawannya merasa terkejut dan kagum. Tiong San maklum akan kekejian hati Siu Eng, maka sambil bertempur ia memperhatikan gadis itu, khawatir kalau-kalau Siu Eng akan mencelakai kekasihnya.
Benar saja dugaannya karena ketika merasa betapa sukarnya mengalahkan Shan-tung Koai-hiap yang amat lihai itu, tiba-tiba Siu Eng menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar putih kecil menyambar ke arah Siang Cu yang masih duduk menyandar tiang dengan muka gelisah, mengkhawatirkan keadaan Tiong San yang dikeroyok dua oleh to-kouw dan Siu Eng!
“Perempuan keji!” Tiong San membentak dan cambuknya menyambar cepat ke arah beberapa batang jarum yang menyambar ke arah Siang Cu itu. Sekali ia kebutkan cambuknya, semua jarum itu terpukul jatuh.
“Siang Cu, kau sembunyilah di belakang tiang itu!” teriaknya dan ia cepat mendesak Siu Eng yang dengan pedang di tangan hendak memburu Siang Cu. Siang Cu segera memutar tubuhnya dan bersembunyi di belakang tiang yang besar. Kini ia terlindung dari serangan senjata rahasia, karena tiang itu tebal dan besar, menutup semua tubuhnya.
Dengan amat gemas dan marah, kini Tiong San mengubah permainannya dan memainkan Im-yang Joan- pian serta Pat-kwa Kiam-hoat dengan sehebat-hebatnya. Pedang dan cambuknya berkilat-kilat menyambar dengan tak terduga dan dengan sangat cepatnya ke arah dua orang lawannya. Tentu saja Siu Eng amat sibuk menghadapi serangan ini, sedangkan gurunya sendiri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang luas, merasa bingung dan hanya dapat menangkis saja!
Gadis ini dengan sibuk dan marah menangkis pedang Tiong San yang meluncur ke arah dadanya, tetapi Tiong San sengaja menggetarkan pedangnya sedemikian rupa sehingga ketika pedang beradu, ujung pedangnya meleset dan membacok tangan Siu Eng yang memegang pedang! Siu Eng menjerit dan melepaskan pedangnya serta menarik tangannya, tetapi pedang yang tadi menyerangnya itu kini digunakan untuk menangkis serangan Kiu-hwa-san Toanio, sedangkan ujung cambuk di tangan kiri Tiong San secepat kilat mengirim cambukan hebat ke arah muka Siu Eng!
Dalam kegemasannya tadi, Tiong San hendak menggunakan tenaga besar untuk memberi “hadiah besar” kepada Siu Eng agar muka gadis yang dibencinya itu terluka dan berdarah. Akan tetapi, tiba-tiba wajah kekasih gurunya kedua, Si Cui Sian, dengan mukanya yang terluka oleh guratan pedang, terbayang pada pikirannya. Apakah ia hendak mengulangi perbuatan suhunya dan membuat Siu Eng bercacad mukanya selama hidupnya? Ia tidak tega dan mengendurkan tangannya sehingga ujung cambuknya itu hanya memberi “hadiah kecil” saja, yakni mendatangkan gurat merah melintang pada muka Siu Eng, tanda merah yang mudah lenyap kembali. Akan tetapi cukup menyakitkan sabetan ini karena Siu Eng menjerit dan menutup mukanya dengan tangan.
Tiong San tidak mau berlambat-lambatan lagi dan segera mendesak Kiu-hwa-san Toanio dengan kedua senjatanya yang lihai itu. Dengan libatan ujung cambuknya pada pergelangan tangan to-kouw itu, akhirnya ia dapat pula membuat pedang Kiu-hwa-san Toanio terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai! Tiong San melompat mundur dan menahan senjatanya sambil memandang tajam kepada to-kouw itu.
Kiu-hwa-san Toanio menjadi merah mukanya. Dipungutnya pedangnya dan berkata, “Shan-tung Koai-hiap, kau benar-benar lihai sekali!” Kemudian tanpa berkata sesuatu lagi, to-kouw itu memegang tangan muridnya dan mengajak muridnya melompat pergi dari kuil itu, menghilang di dalam bayangan pohon!
Tiong San menyimpan kedua senjatanya dan ketika ia memutar tubuh memandang ternyata Siang Cu tak tampak pula di situ! Ia menjadi heran dan mengejar keluar. Ternyata bahwa gadis itu setelah melihat betapa Tiong San mengalahkan musuh-musuhnya, menjadi malu sekali teringat akan kata-kata pemuda tadi dan diam-diam ia mendahului lari ke kampung!
Ketika Tiong San dapat menyusulnya, ternyata Siang Cu telah berpeluk-pelukan dengan nyonya Lie yang juga menyusul ke kuil itu dan bertemu di jalan dengan Siang Cu. Mereka lalu kembali ke rumah mereka.
“Ibu,” kata Tiong San, “Pada malam ini juga, saat ini juga kuminta ibu supaya meminang Siang Cu menjadi jodohku!” Ucapan ini terdengar gagah dan tidak malu-malu lagi. Nyonya Lie memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tertawa lebar.
“Tiong San, bukankah kau membenci wanita?” ia menggoda. “Ibu, kau gi !” tetapi tiba-tiba ia berhenti karena Siang Cu mengerling tajam kepadanya penuh teguran.
“Di antara semua wanita di dunia ini, hanya ibu dan Siang Cu yang kucintai sepenuh hatiku. Dan aku ....
aku bukan pembenci wanita lagi sekarang!”
“Siang Cu, kau mendengar sendiri pinangan anakku, bagaimana jawabmu?” tanya nyonya Lie kepada gadis itu sambil tersenyum.
“Aku .... aku ” gadis ini tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan lalu berlari keluar, dikejar oleh Tiong
San! Nyonya Lie tertawa bahagia dan masuk ke dalam kamarnya, membiarkan mereka berdua “menyelesaikan” urusannya.
Ketika Tiong San tiba di luar, ia melihat Siang Cu berdiri memandangi bulan.
“Siang Cu ” kata pemuda itu halus sambil menyentuh pundaknya. “Bagaimana jawabmu?”
“Kau tentu sudah tahu akan isi hatiku,” jawab gadis itu perlahan sambil tunduk, “Tetapi ada tiga hal yang hendak kukatakan.”
“Katakanlah!”
“Pertama, kau tidak boleh menyebut orang dengan makian gila lagi! Kedua, semenjak sekarang kau tidak boleh meninggalkan ibu lagi. Ketiga, kalau kau melanggar dua pantangan itu, aku aku akan kembali ke
kota raja menjadi pelayan kaisar!”
Tiong San tertawa geli dan hatinya berbahagia sekali.
“Kau ... kau gila ....!” katanya dan ia terkejut sekali karena kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya tanpa disadarinya itu ternyata telah merupakan pelanggaran! Maka cepat-cepat ia menyambung, “Eh ....
maksudku .... kau .... kau manis sekali !”
Siang Cu mengerling dan tersenyum geli. Sepasang matanya menatap wajah Tiong San dengan seri yang mengagumkan.
“Coba kau ulangi makianmu tadi ” bisiknya.
“Ha ....??? Kau .... kau .... gila ?”
“Memang aku gila ...., aku gila karena tergila-gila kepada seorang seperti kau ....!” bisik Siang Cu yang pada saat itu juga tenggelam dalam pelukan Tiong San.
Bulan purnama di atas kepala mereka berseri menyaksikan kebahagiaan dua makhluk bumi ini…..
>>>>> T A M A T <<<<<