"Tahukah pangcu bahwa Lim piauwko justeru ditahan di pulau Hay ciu, tidak dikota ini seperti beritanya yang kita terima.....?" tanya Coa Giok Seng; dan perkataannya itu benar-benar telah mempesona si biang pengemis, juga Wie Keng Siang, sehingga keduanya lagi-lagi telah saling mengawasi, sementara Coa Giok Seng lalu menceritakan perihal pertemuannya dengan Ong Sin Kian, sampai Ong Sin Kian tewas setelah secara singkat memberitahukan penahanan atas diri Lim Hwat Bie.
Kemudian Coa Giok Seng juga menceritakan perihal perkenalannya dengan Ong Sin Kian, sampai terjadi Coa Giok Seng bertempur melawan Ma Tay Him; yang waktu itu menjadi okpa atau tuan tanah yang amat kejam; dan sebagai akibat dari pertempuran itu, maka Coa Giok Seng berhasil melukai Ma Tay Him, luka pada bagian muka yang sebelah kiri, dan untuk itu Ma Tay Him menjadi dendam terhadap Coa Giok Seng lalu sengaja membiarkan adanya berita tentang Lim Hwat Bie yang katanya pada saat itu ditahan didalam kota Soan hoa; sebab Ma Tay Him sedang memasang perangkap hendak menuntut balas terhadap Coa Giok Seng.
"... jelas bahwa dalam hal ini Ma Tay Him menghendaki aku seorang diri, dan aku pasti akan menghadapi dia ..." kata Coa Giok Seng yang menyudahi keterangannya; dengan sikap ksatrya yang pantang mundur. "Tunggu dulu, hiantit..." kata Wie Keng Siang yang memang sudah mengenal jiwa Coa Giok Seng; dan orang tua ini insaf betapa besar bahayanya jika terjadi pemuda itu menghadapi pihak Hong-bie pang tanpa perhitungan yang cermat.
" .. meskipun kau telah menanam permusuhan secara pribadi dengan Ma Tay Him, akan tetapi hendaklah kau jangan lupa bahwa Ma Tay Him yang sekarang adalah ketua Hong bie pang cabang dikota ini; dan Hong-bie pang adalah persekutuan para penghianat bangsa yang menjadi musuh kita semua. Bersama Dywa pangcu, aku sedang mengatur persiapan mengundang kawan kawan seperjuangan kita; dari itu aku harapkan kau jangan sampai bertindak terburu napsu yang dapat mengakibatkan rusaknya rencana kita ... " demikian Wie Keng Siang menambahkan perkataannya kepada Coa Giok Seng: dan pemuda ini tidak mengatakan sesuatu, namun kelihatan dia seperti sedang berpikir.
“Kami dari pihak Kay-pang,” kata Dywa Sin Hok yang mendapat kesempatan bicara; "... sebenarnya kami merasa malu karena kami tidak mempunyai kekuatan buat menumpas pihak Hong-bie pang sebab kami insyaf dengan kurangnya tenaga kami; terlebih oleh karena sebagian besar dari para rekan kami sedang mengadakan musyawarah berkenaan pihak pemerintah yang sekarang sedang memusuhi kami ..."
Coa Giok Seng tetap tidak mengucap apa-apa, sementara Lie Kiu yang sejak tadi mengundurkan diri, telah kembali dengan memberitahukan bahwa hidangan makan malam telah disediakan.
"Coa hiantit, dimana kau menginap ...?” tanya Dywa Sin
Hok ditengah mereka bersantap; dan Coa Giok Seng lalu memberitahukan, dengan menambahkan bahwa dia yakin tempatnya itu sudah diketahui oleh Lie-Kiu.
Lie Kiu yang juga ikut sama-sama bersantap, tidak mengucap apa apa; akan tetapi dia kelihatan bersenyum bangga.
"Apakah tidak lebih baik hiantit menginap ditempat
kami ?” Dywa Sin Hok yang berkata lagi.
"Terima kasih, pangcu; akan tetapi didalam urusan menghadapi pihak musuh, aku pikir sebaiknya aku tetap menginap di rumah penginapan; bahkan sebaiknya pihak musuh tidak mengetahui bahwa aku mempunyai hubungan dengan pihak Kay pang " sahut Coa Giok Seng.
Wie Keng Siang manggut membenarkan perkataan Coa Giok Seng, membikin Dywa Sin Hok tidak memaksa; dan setelah selesai mereka bersantap malam, maka Coa Giok Seng lalu pamitan.
Sebelum pemuda ini meninggalkan kedua orang tua tersebut, maka sempat Coa Giok Seng berkata kepada Wie Keng Siang :
"Susiok, sebenarnya ada sesuatu yang hendak aku tanyakan kepada susiok akan tetapi biarlah aku tunda pada lain kesempatan nanti…"
“Pertanyaan apa yang hendak hiantit ajukan ?" tanya Wie Keng Siang; namun pemuda itu hanya bersenyum, dan dia meninggalkan kedua orang tua itu, tanpa dia menghiraukan Wie Keng Siang menjadi berpikir tentang apa gerangan maksud Coa Giok Seng.
Coa Giok Seng tiba ditempat penginapan tanpa dia menghadapi rintangan dijalan, bahkan tidak ada tanda tanda bahwa dia diikuti oleh seseorang, dan hal ini malah menjadi bahan pemikiran bagi Coa Giok Seng, sebab dia malah menduga bahwa pihak Ma Tay Him akan segera mengganggu dia.
Seorang pelayan menyambut kedatangan Coa Giok Seng dengan muka berseri seri, dan tangan memegang sekeranjang buah buah yang katanya buat Coa Giok Seng; dikirim oleh pihak Kay pang yang dibawa oleh seorang pengemis muda.
Sejenak Coa Giok Seng tersenyum tercengang mengawasi si pelayan, sementara tangannya belum mau menerima sekeranjang buah buah itu. Dia justeru baru saja habis mengunjungi pihak Kay pang dan Dywa Sin Hok tidak pernah mengatakan sesuatu tentang kiriman buah buah itu. Jelas ada pihak lain yang mengirimkan buah buah itu dengan memakai nama Kay pang, dan pihak lain itu pasti adalah pihak musuh; yakni pihak Hong bie pang atau si Ma Tay Him !
"Mana si pengemis yang mengantarkan buah buah ini ?" akhirnya Coa Giok Seng menanya.
"Si pengemis sudah pergi. Buah buah ini sudah lama kami terima, yakni sesaat sejak siangkong keluar tadi," sahut si pelayan; tetap dengan muka berseri seri.
Semula Coa Giok Seng tidak mau menerima buah buah itu, akan tetapi kebiasaannya yang melakukan tabah menghadapi segala sesuatu menghendaki dia menyelidiki perihal buah buah yang dihadiahkan untuknya itu.
Oleh karenanya, segera Coa Giok Seng menerima sekeranjang buah-buah itu sambil dia mengucap terimakasih; lalu dia melangkah mendekati letak kamarnya. Sikapnya bertambah waspada waktu dia membuka kunci pintu kamarnya dan menendang terbuka daun pintu kamar itu. Kamarnya itu ternyata kosong. Dia memasuki dan mengunci lagi pintu kamarnya dari bagian dalam, lalu dia menempatkan keranjang buah itu diatas meja, dan dia memasang api pelita.
Kemudian Coa Giok Seng mulai memeriksa buah buah itu ternyata merupakan buah buah Leng sebesar buah apel; sementara di bagian teratas terselip selembar surat :
"Buat Coa siaohiap, dari Dywa pangcu "
Didalam hati Coa Giok Seng tertawa sehabis dia membaca surat singkat itu, kemudian dia mulai meneliti tanpa menyentuh buah buah itu, lalu dia dekati hidungnya untuk membaui; namun tak ada bau yang mencurigakan melainkan bau harum yang keluar dari buah buah itu.
Dari dalam kantong bajunya Coa Giok Seng lalu mengambil sebatang tusuk sanggul perak yang dia bungkus dengan sehelai sapu tangan; dan tusuk sanggul itu adalah pemberian atau peninggalan dari almarhum ibunya.
Coa Giok Seng memilih salah satu dari buah-buah itu, yang lalu dia tusuk memakai tusuk sanggul itu; kemudian dia menunggu dan meneliti. Cairan sari buah yang menempel pada tangkai tusuk sanggul lambat laun berobah menjadi cairan yang berwarna biru kehitam-hitaman, menandakan buah itu mengandung racun maut!
Coa Giok Seng perdengarkan suara mendesir, menandakan dia sangat gusar dengan perbuatan pihak musuh yang telah memilih tindakan pengecut buat membinasakan dia.
Segera Coa Giok Seng keluar dari kamarnya dengan membawa semua buah buah itu. Diluar rumah penginapan sudah sunyi waktu Coa Giok Seng membuang buah-buah itu ditempat sampah, setelah itu Coa Giok Seng kembali hendak memasuki kamarnya.
Dua kesalahan telah dilakukan oleh Coa Giok Seng waktu dia keluar membuang buah buah itu. Kesalahan pertama dia keluar tanpa dia mengunci pintu kamarnya, dan kesalahan kedua goloknya sebagai senjatanya dia tidak bawa. Sudah tentu Coa Giok Seng tidak berpikir waktu dia melakukan kesalahan itu, sebab kepergiannya hanya memerlukan waktu sejenak, tidak ada dua menit lamanya; akan tetapi waktu yang dua menit itu sudah dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh pihak musuh.
Sebatang pedang menyambar Coa Giok Seng pada waktu pemuda itu baru saja memasuki kamarnya. Syukur dia sempat bergerak cepat untuk berkelit menyingkir, namun serangan berikutnya menyusul dengan amat pesatnya; membikin tak sempat Coa Giok Seng memperhatikan wajah muka penyerangnya. Dan serangan itu terus dilakukan secara bertubi-tubi; oleh karena pemuda itu masih sanggup untuk berkelit menghindarkan diri.
Setelah lewat belasan serangan, maka Coa Giok Seng sempat pula melihat wajah muka si penyerang, dan pemuda ini hampir terpesona, karena dia mendapati penyerangnya adalah seorang dara cantik dengan tubuh ramping menarik; namun amat lincah dan galak bagaikan seekor harimau betina yang sedang mengancam mangsa.
Disuatu saat serangan dara cantik itu berhasil menusuk lengan baju Coa Giok Seng yang sebelah kiri; namun dengan tangan kanannya Coa Giok Seng berhasil membikin dara cantik itu melepaskan pedangnya. Akan tetapi, diluar dugaan Coa Giok Seng, maka dara cantik itu dapat bergerak dengan amat gesitnya, karena tangan kirinya yang memegang sarung pedang, terayun mengarah muka Coa Giok Seng dengan suatu pukulan yang keras. Dalam kagetnya Coa Giok Seng cepat cepat melompat mundur, akan tetapi dara cantik itu tidak mengambil lagi pedangnya yang sudah lepas dari tangannya; sebaliknya selagi Coa Giok Seng lompat mundur, maka dara cantik itu lompat menerkam dengan kegalakan seekor harimau betina menerkam anak kecil.
Coa Giok Seng mengelak menyamping, dan berhasil dia menangkap pinggang dara cantik itu; namun dengan suatu gerak berputar, dara cantik itu menghantam punggung Coa Giok Seng memakai sarung pedang, dan waktu sarung pedang itu tidak berhasil mencapai sasaran, maka dengan jari-jari tangan kanan yang memiliki kuku panjang, dara cantik itu berusaha hendak mencakar muka Coa Giok Seng
DALAM kagetnya, Coa Giok Seng sempat memegang pergelangan tangan dara cantik itu, lalu tanpa ragu ragu dia mengerahkan tenaganya, membikin dara cantik berteriak karena kesakitan, namun Coa Giok Seng tidak menghiraukan, bahkan dia mendorong dara cantik itu kearah pintu kamar sampai kemudian secara tidak disengaja dia mendorong bagian dada dara cantik itu, sehingga saking kagetnya maka Coa Giok Seng buru buru melepaskan pegangannya.
Dara cantik itu terjerumus beberapa langkah kebelakang, namun tak sampai dia terjatuh karena tubuhnya tertahan dengan daun pintu.
"Kurang ajar ! kau telah menghina aku ! kau akan mati dan kau akan menderita ...!” teriak dara cantik itu, yang merasa gusar bercampur malu sebab bagian dadanya kena disentuh oleh Coa Giok Seng tadi. Coa Giok Seng berdiri terpesona, tak mampu dia mengucap apa apa karena dia jadi merasa malu, sehingga pemuda ini bahkan tetap berdiri bagaikan patung, waktu dara cantik itu pergi meninggalkan kamarnya, dengan tidak lupa mengambil pedangnya yang terjatuh tadi.