Pedang Ular Mas Chapter 83

NIC

si anak muda.

Sin Cie pun tertawa, tapi ia lekas menyahuti: "Benar, dia pun satu nona. Tidak leluasa untuk ia berkelana, dari itu ia menyamar."

Wan Jie percaya anak muda itu, ia tertawa, lantas ia pegangi Ceng Ceng, untuk diangkat bangun, buat dipepayang kedalam kamarnya.

Nona Hee mendusin.

"Aku tidak ngantuk, aku masih hendak menonton," katanya. Tapi ia tidak buka matanya, ia meram terus, tandanya ia masih ngantuk.

571 Wan Jie terlebih muda, akan tetapi ia biasa ikuti ayahnya, ia sudah berpengalaman.

"Baik encie beristirahat dulu, sebentar nonton lagi," ia membujuk. Ia pepayang terus tetamu itu, sampai didalam kamarnya, ia buka kopiahnya Ceng Ceng, maka ia lihat rambut yang panjang dan hitam mengkilap, ditengahnya ditancapi dua potong tusuk konde.

Sin Cie layani gurunya dengan sungguh-sungguh, akan tetapi dua kali dia jalan keliru. Ia ingat tantangannya Kwie Jie-so untuk besok malam, pikirannya jadi tidak tenteram. Bagaimana ia harus layani enso yang aseran itu? Ia mencoba akan tenangkan diri. Tiba-tiba ia ingat suatu apa.

"Tootiang, cara bagaimana kau ketahui dia seorang wanita?" Tanya dia akhirnya.

Bhok Siang Toojin tertawa.

"Bersama-sama dengan Siokhumu itu, pada lima hari yang sudah telah aku bertemu denganmu," menyahut guru ini. "Aku ingin ketahui kemajuan bugeemu dan tingkah- lakumu juga, dari itu sengaja aku tidak mau lantas perlihatkan diri. - Kau hati-hati, aku hendak makan bijimu ini....." Ia lantas jalankan sebuah bijinya. Lalu ia menambahkan: "Kepandaianmu telah jadi apa yang dibilang, hijau itu asalnya dari biru, akan tetapi mungkin kau belum bisa lombai gurumu, hanya aku si imam tua, aku bukanlah tandinganmu."

Sin Cie lekas berbangkit dengan sikapnya yang sangat menghormat.

"Tapi semua itu berkat pengajaran suhu dan tootiang," kata ia. "Selama beberapa hari ini, umpama tootiang mempunyai waktu yang luang, teecu harap tootiang sudi ajari pula aku beberapa rupa ilmu pukulan lainnya." Imam itu tertawa.

"Sampai sebegitu jauh, selama kau temani aku main tiokie, belum pernah tempo itu dilewatkan dengan cuma- cuma," kata dia. "Habis apa lagi aku mesti ajari kau? Kepandaianmu sudah menyusuli kebisaanku. Justeru kaulah yang mesti ajarkan beberapa jurus kepadaku! - Ha- ha bentengmu kena aku serbu!"

Imam ini girang sekali.

"Kepandaian yang tinggi memang sukar didapatkannya," berkata ia pula. "Akan tetapi dalam halnya kau, sifatmu baik sekali, itulah terlebih sukar untuk didapatinya. Kau masih muda sekali akan tetapi hatimu lurus, terhadap kawan wanita, kau berlaku tepat dan hormat, atas itu aku dan Cu Siokhumu sangat kagumi kepadamu!"

Sin Cie jengah sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah, ia rasakan panas. Apakah tak mungkin, imam ini telah lihat bagaimana ia bergaul rapat sekali dengan Ceng Ceng? Ia malu sendirinya, kenapa imam itu bisa intip ia tanpa ia dapat ketahui. Itu menyatakan ilmu entengkan tubuh dari ini guru tak resmi sangat tinggi.

Ketika itu keduanya berhenti bicara, ruangan jadi sangat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara perlahan di luar ruangan. Sin Cie tahu sedikitnya datang tiga orang entah siapa, akan tetapi karena Bhok Siang Toojin diam saja, ia pun tidak ambil sesuatu tindakan, ia melanjuti jalankan biji-biji caturnya seperti si imam sendiri.

"Sepak-terjangnya Jiesusomu barusan aku telah dapat lihat," berkata Bhok Siang kemudian. "Kau jangan kuatir, besok aku nanti bantu kau untuk menghadapi dia."

"Justeru tak ingin teecu turun tangan terhadapnya," Sin Cie kata. "Paling baik apabila tootiang bisa damaikan kita." "Kau takut apa?" Bhok Siang bilang. "Kau lawan, kau hajar padanya! Umpama gurumu tegur padamu, katakan saja, aku yang anjurkan kau hajar padanya!"

Menyusul kata-katanya si imam, dari atas genteng loncat turun empat orang pula yang dibarengi dengan empat buah piau menyambar ke arah Bhok Siang Toojin dan Sin Cie berdua.

Imam itu geraki kedua tangannya kebelakang, dengan gapah ia tanggapi empat batang senjata rahasia itu, lalu dengan tidak dilihat lagi, ia letaki itu diatas meja.

Tujuh orang diluar itu menjadi gusar, dengan berbareng mereka singkap sero untuk lompat masuk kedalam ruangan. Mereka semua menyekal senjata, agaknya mereka berniat menyerang.

"Bisa apa tidak kau makan ini tujuh biji semuanya?" si imam tanya kawan main catur itu.

"Teecu akan coba-coba," sahut Sin Cie yang mengerti masuk perkataan itu.

Sementara itu, dua dari tujuh orang tidak dikenal itu hampirkan Tiang Pek Sam Eng, untuk kasi bangun pada mereka itu, dan lima yang lain maju terus kepada dua orang yang asik main catur itu, untuk serang mereka ini dengan golok dan pedang.

Sebat luar biasa, Sin Cie raup biji catur, terus ia menyambit kebelakang, hingga sambaran anginnya terdengar nyata, menyusul mana tujuh orang itu mendadakan rubuh terjungkal, senjata mereka terlepas dan jatuh kelantai dengan terbitkan suara nyaring dan berisik.

Wan Jie Baru selesai urus Ceng Ceng, ia dengar suara berisik itu, ia kaget, ia lari keluar, maka ia saksikan Bhok Siang Toojin dan Sin Cie sedang asik lanjutkan

574 permainannya, akan tetapi didalam thia itu, tujuh orang lain lagi meringkuk. Ia segera mengerti duduknya hal, tapi ia tidak mau ganggu dua orang itu, maka ia tepuk kedua tangannya tiga kali, atas mana muncullah enam orangnya. Dengan suara perlahan, ia suruh mereka ambil tambang, akan ringkus tujuh orang itu berikut Tiang Pek Sam Eng juga.

Selang setengah jam kemudian, Barulah dua orang itu akhirkan pertempuran mereka diatas papan catur, kesudahannya Sin Cie kalah tiga kali.

Bukan main girangnya si imam. "Dalam beberapa tahun ini, ilmu silat caturmu mundur, tak ada kemajuannya!" katanya.

"Dasar tipu-tipu tootiang yang liehay dan teecu tidak sanggup melawannya," Sin Cie aku.

Bhok Siang lantas menoleh kepada Wan Jie. "Nona, coba tolong geledah mereka!" ia minta.

Wan Jie menurut, akan tetapi ia tidak turun tangan sendiri, ia suruh orang-orangnya yang bekerja.

Sebagai kesudahan dari penggeledahan itu, kecuali senjata-senjata rahasia, diketemukan beberapa lembar surat serta beberapa buku kecil yang memuat pelbagai tanda rahasia. Salah satu surat itu adalah suratnya si pangeran Boan, Kiu-ong-ya To Jie Kun, untuk Sulee Thaykam Co Hoa Sun di kota raja. Kepada thaykam ini, thaykam, telah diberitahukan, oleh karena penjagaan di Sanhaykwan keras sekali, utusannya ini sampai mesti jalan mutar, dengan jalan laut. Kiu-ong-ya pesan, segala urusan besar, boleh didamaikan dengan pembawa suratnya itu, bernama Ang Seng Hay.

Bhok Siang gusar apabila ia ketahui siapa mereka itu. "Semakin lama kawanan dorna ini jadi makin bernyali besar!" katanya dengan sengit. "Hm! Di hadapanku mereka berani mencoba merampas orang!"

Masih imam ini sengit, hingga ia dupak kepalanya satu orang tangkapan, hingga tidak ampun lagi, kepala itu pecah, polonya berantakan.

Masih Bhok Siang hendak menendang pula tapi Sin Cie mencegah.

"Sabar, tootiang. Mungkin mereka itu ada faedahnya untuk kita. Nanti teecu periksa mereka."

Bhok Siang demikian mendongkol, hingga ia hendak robek-robek surat itu.

"Jangan, tootiang," Sin Cie mencegah pula.

"Baik aku suka dengar kau," kata si imam kemudian. "Tapi ingat, besok kau mesti layani aku main lagi sampai tiga babakan!"

"Asal tootiang mempunyai kegembiraan, sampai sepuluh babak pun boleh," jawab Sin Cie.

Ia sukai imam ini tak perduli tabeatnya aneh.

Sampai disitu, Wan Jie undang imam itu pergi beristirahat, untuk mana, satu bujang layani dia.

Sin Cie perhatikan surat-surat dan buku itu, mendadakan ia dapat pikiran.

"Sakit hatinya ayahku belum terbalas, surat-surat ini seumpama hadiah Thian kepadaku," demikian ia pikir. "Baik aku nelusup masuk kedalam istana raja, untuk wujudkan pembalasanku."

Tidak ayal lagi, ia totok sadar satu orang. "Katakan padaku, yang mana diantara kamu yang bernama Ang Seng Hay?" Tanya dia.

Orang itu menunjuk salah satu kawannya, yang berumur tiga-puluh lebih, yang romannya cakap.

Sin Cie lantas totok sadar orang she Ang itu. "Kau beri keterangan padaku," ia kata.

Ang Seng Hay berkepala batu, ia tidak suka bicara.

Anggap orang tak suka bicara karena mereka bicara didepan satu kawannya, Sin Cie perintah orang angkat Seng Hay untuk dibawa kekamar tulis.

"Kau adalah utusan Kiu-ong-ya, kau mestinya satu laki- laki sejati," kata dia. "Aku hendak minta keterangan dari kau, maka aku Tanya satu, kau mesti jawab satu. Jikalau kau tetap tidak hendak bicara, aku nanti tahan terus padamu sampai beberapa hari, supaya kau nanti mati secara perlahan-lahan!"

Posting Komentar