Pedang Ular Mas Chapter 81

NIC

Terkejut Sin Cie apabila dengar pengaduan itu.

"Inilah hebat!" pikirnya. "Coba aku tahu pedangnya itu adalah pedang pemberian jie-suso, biar bagaimana juga, tidak nanti aku bikin patah." Maka lekas-lekas ia memberi hormat pada enso itu dan kata: "Siautee tidak mengetahui itu, untuk kelancanganku harap suheng dan suso maafkan aku. "

Kwie Jie-so tidak sahuti anak muda ini, ia hanya berpaling kepada suaminya.

"Eh, jieko, katanya suhu telah terima satu murid yang masiih muda sekali, apakah ini dianya?" tanya dia. "Kenapa dia begini tidak tahu aturan?"

"Aku belum pernah ketemu dengannya," sahut sang suami, yang berbareng pun menjadi jie suheng isterinya itu, kanda seperguruan yang kedua.

"Orang mesti ketahui, ilmu pelajaran tiada batas habisnya," berkata Kwie Jie-so, seperti pada dirinya sendiri. "Orang pun mesti ingat, diluar langit ada langit lainnya, di atas orang, ada orang lagi! Baru dapat pelajarkan sedikit ilmu, sudah lantas dengan sembarang saja menghina orang lain! Hm! Taruh kata muridku salah, toh ada aku yang nanti menegurnya, tidak usah ada susioknya yang menggantikan aku mengajar adat!"

Sin Cie tahu, kata-kata itu ditujukan kepadanya. "Ya, ya, siautee insaf kesemberonoanku," ia akui.

"Kau telah patahkan pedangku, apakah dimatamu masih ada orang yang lebih tinggi derajatnya?" tegur Kwie Jie-so. "Taruh kata suhu sangat sayang padamu, mustahil terhadap suheng sendiri kau dapat berbuat kurang ajar seperti ini?"

Para hadirin jadi merasa tidak enak. Nyonya petani ini makin lama jadi makin sengit. Itulah perbuatan yang keterlaluan, sebab dia belum tahu duduknya hal.

Tapi Sin Cie lain, ia terus bersikap sabar, ia mengalah saja.

Dipihaknya Ciau Kong Lee, orang tidak puas dengan sikapnya Kwie Jie-so, adalah Bin Cu Hoa, Tong Hian, dan Ban Hong merasa puas sekali.

"Suhu, subo," kata pula Sun Tiong Kun, "dia ini bilang ada satu Kim Coa Long-kun yang menjadi tulang punggungnya, begitulah Bwee Suheng dan Lau Suheng dia telah rubuhkan!. "

Mendengar perkataan muridnya ini, tak kepalang gusarnya Kwie Jie-so.

Kwie Sin Sie dan isterinya ini sedang dalam perjalanan untuk mencari obat guna tolong anak meraka. Anak itu adalah anak satu-satunya, namanya Cin Tiong, sakitnya berat, maka juga, sebagai ayah dan ibu, mereka berkelana, untuk cari tabib yang pandai, yang sanggup mengobatinya. Menurut beberapa tabib terkenal, yang telah periksa penyakitnya anak itu, sebabnya penyakit adalah luka sejak didalam kandungan, yaitu selagi hamil, Kwie Jie-so telah bertempur dan hamilannya dapat goncangan hebat, yang berakibat menganggu kesehatannya bayi dalam kandungan. Untuk bisa tolong anak itu, obat yang dibutuhkan adalah campuran dari Tay-hok-leng dan Ho-siu-ou yang sudah seribu tahun tuanya, kalau tidak, lagi satu atau dua tahun, anak ini bakal jadi demikian kurus-kering dan akhirnya akan mati meroyan. Tentu sekali, karenanya, ayah dan ibu itu menjadi sangat sibuk dan kuatir. Maka mereka coba cari kedua macam obat itu, sampai mereka mohon bantuan sahabat-sahabat dan kenalan dari rimba persilatan. Tay- hok-leng saja sudah susah dicari, apalagi Ho-siu-ou. Kemana kedua obat mesti dicari? Mereka sudah berkelana lebih daripada satu tahun, masih sia-sia saja usaha mereka. Disebelah itu, mereka dapati anak mereka semakin kurus, semakin kurus, maka bisalah dimengerti kekuatiran mereka. Suami-isteri itu sangat berduka. Kwie Sin Sie sendiri masih dapat tenangkan diri, tapi isterinya sering-sering melepas air mata. Begitulah, dalam usaha mencari obat, mereka menuju ke Lam-khia. Kota ini kota tua dan kota raja, mereka harap didalam kota ini nanti menemui kedua rupa obat yang dibutuhkan itu. Kebetulan sekali, mereka dengar kabar tiga murid mereka ada di Lam-khia juga, mereka memang tahu ketiga murid itu cerdik, ingin mereka minta bantuan tiga murid itu. Maka itu, langsung mereka menuju ke rumah Ciau Kong Lee. Apa mau, disini mereka ketemukan Sun Tiong Kun dalam keadaan hebat itu. Kwie Jie-su memang aseran tabiatnya, ia pun lagi bersusah hati karena anaknya itu, tidak heran kalau ia jadi mendongkol dan gusar, hingga ia umbar hawa-amarahnya. Ia pun tidak puas murid-murid itu 'diperhina' suteenya. Begitulah, ia cuma dengar saja satu pihak. Ia jadi bertambah gusar mendengar Sun Tiong Kun sebut Sin Cie ada punya 'tulang punggung'.

"Apakah benar Kim Coa si mahluk aneh itu masih hidup?" ia tanya suaminya seraya ia berpaling pada suami itu.

"Kabarnya dia sudah menutup mata, akan tetapi siapa pun tidak dapat memastikannya," Kwie Sin Sie jawab. Suami ini masih tetap tenang, ia ada lebih berduka daripada bergusar.

Ceng Ceng sudah tidak puas melihat Sin Cie ditegur pulang-pergi dan diperlakukan sekasar itu, sekarang ia dengar ayahnya dikatakan 'mahluk aneh', tak dapat ia menahan sabar lagi.

"Perempuan jahat, perempuan jahat!" ia berseru. "Kenapa kau sembarang mendamprat orang?"

Tapi juga Kwie Jieso gusar. "Kau siapa?" dia bentak.

"Dialah anaknya si Kim Coa mahluk aneh itu!" Sun Tiong Kun kasih tahu guru perempuannya.

Sebelah tangannya Kwie Jie-so tiba-tiba berkelebat, lalu satu sinar menyambar, ke arah nona Hee.

Sin Cie terperanjat, hendak dia mencegah, tapi serangannya enso itu hebat sekali, tak keburu dia berbuat apa-apa. Ceng Ceng menjerit, karena pundak kirinya kena terserang, walau ia mencoba untuk berkelit. Dalam kagetnya, Sin Cie lompat pada kawannya untuk cekal bahu tangannya. Ia lihat sebatang paku shong-bun-teng nancap di pundak.

Ceng Ceng kesakitan akan tetapi ia gusar, tak perduli mukanya pias. "Jangan bergerak!" Sin Cie peringati.

Dengan dua jari tangan telunjuk dan tengah, anak muda ini pegang ujung paku, ia mencabut dengan pelahan tetapi tetap, setelah kira tiga-empat bagian dan dapatkan paku itu tidak bercagak, dengan mendadak ia kerahkan tenaganya, untuk mencabut terus dengan tiba-tiba, maka dilain saat, paku itu telah tercabut dan jatuh ke lantai dengan berbunyi nyaring.

Wan Jie telah menghampirkan mereka, segera ia berikan bantuannya. Ia telah lantas siapkan dua potong saputangan yang bersih dengan apa Sin Cie susuti lukanya Ceng Ceng, yang ia terus balut.

"Dengar aku, adik Ceng," Sin Ci berbisik. "Jangan layani dia."

"Kenapa?" tanya si nona dengan murka.

"Kita mesti hormati suhengku, tak dapat aku turun tangan," Sin Cie kasi mengerti, sikapnya sungguh-sungguh.

Ceng Ceng manggut dengan lesu, karena ia mesti tindas penasarannya.

Lega hati Sin Cie, sebab ia tahu, kawan itu aseran dan kukuh, tapi sekarang, walaupun dia dilukai dan dibikin marah, masih dia suka dengar nasihatnya. Ia girang sang kawan jadi lunak, ia bersenyum.

Kwie Jie-nio tunggu sampai Sin Cie sudah membalut selesai, sambil tertawa dingin, ia kata: "Namanya Kim Coa Long-kun nama kosong belaka! Jikalau dia benar liehay, kenapa puteranya tak dapat kelit pakuku yang aku sengaja gunai untuk mencobanya?" Sin Cie berdiam, didalam hatinya ia kata: "Jie-suso terbenam dalam salah faham hebat, apabila aku bantah dia, itu melulu akan menambah kemurkaannya."

Melihat orang berdiam, nyonya Sin Sie kata pula: "Disini ada terlalu banyak orang, tak dapat kami omong banyak tentang Hoa San Pay kita, maka itu besok malam, jam tiga, kami suami-isteri berdua suka menantikan kau disamping panggung Ie Hoa Tay dibukit Cie Kim San. Kami undang kau, tuan Wan, untuk kitaorang mencoba-coba, untuk buktikan kau benar atau bukan suteeku."

Biarnya njonya ini mengucapkan demikian, semua hadirin tahu itulah tantangan belaka, maka juga Ciau Kong Lee jadi sibuk sekali, ia berkuatir.

"Kwie-sie suami-isteri telah kenamaan sekali di Kanglam, terutama nama besar dari Sin-kun Bu-tek telah membuat aku sangat kagum," berkata dia, "maka itu, jiewie, bukan main girangku atas kedatangan jiewie kemari. Sebenarnya, mengundang pun tak dapat aku lakukannya."

"Hm!" Kwie Jie-so perdengarkan suara dihidung.

Kwie Sin Sie berdiam, ia masih empo anaknya, ia merasa tak enak sendirinya.

"Saudara Wan ini," berkata pula Ciau Kong Lee, "dia ketahui aku menghadapi kesulitan, dengan kebaikan hatinya, dia datang untuk mendamaikan. Mengenai ini, Bwee Toako, Lau Toako dan Sun Toa-cia bertiga telah mengetahuinya dengan jelas. Biarlah besok malam, sebagai tuan rumah, aku undang Kwie-sie berdua hadirkan perjamukanku, sekalian aku hendak memberi selamat yang sam-wie tiga saudara telah bertemu satu dengan lain. " Kwie Jie-so tidak tunggu tuan rumah bicara habis, dia berpaling kepada Sin Cie dan tanya dengan getas: "Bagaimana? Kau pergi atau tidak?"

"Suheng dan suso tinggal dimana?" tanya Sin Cie tanpa perdulikan tantangan orang. "Besok pagi aku nanti datang kepada suheng dan suso untuk menerima nasihat, bagaimana juga suheng dan suso menegur aku, tidak nanti aku berani untuk egoskan diri. "

"Hm!" terdengar pula sang enso kedua. "Siapa ketahui kau tulen atau palsu? Jangan kau panggil suheng atau suso dulu kepada kami! Tunggu sampai besok, setelah kita mencoba-coba, Baru kita bicara pula! Tiong Kun, mari kita pergi!"

Guru perempuan ini tarik tangan muridnya, untuk diajak berlalu.

Selama itu Tiang pek Sam Eng, yaitu tiga jago dari Tiang Pek San - Su Peng Kong, Su Peng Bun dan Lie Kong - goncang hatinya. Diluar dugaan mereka, Sin Cie muncul untuk menyulitkan mereka. Mereka insyaf bahwa rahasia mereka sudah bocor, sehingga mereka jadi berkuatir sekali. Sekarang mereka bisa duga pasti, Sin Cie adalah orang yang tadi malam satroni mereka dan rampas surat-surat mereka, hingga mereka kuatir Sin Cie nanti buka rahasia mereka dimuka umum itu. Maka itu mereka girang dengan munculnya Kwie Sin Sie suami-isteri, karena rewelnya nyonya yang aseran ini membuat Sin Cie jadi "jinak". Mereka harap-harap nyonya itu membuat onar, supaya bisa datang ketikanya yang baik untuk mereka mencari keuntungan karenanya. Tapi mereka kecele apabila mereka dengar, nyonya Kwie cuma tantang Sin Cie akan bertanding di Cie Kim San besok malam. Itulah berarti, mereka terancam bahaya pula, dari itu, setelah satu sama lain kedipi mata, ketiganya bertindak, untuk ngeloyor pergi

562 dengan diam-diam dengan dului nyonya Kwie, selagi dia ini Baru memutar tubuh.

"Hei, tunggu dulu!" berseru Sin Cie, yang lihat gerakan orang itu. Sebab walaupun ia sibuk menghadapi si enso kedua, ia tidak pernah alpa memasang mata kepada tiga jago Tiang Pek San itu. Pun, sambil berseru, dia berlompat maju, akan halangi mereka bertiga.

Kwie Jie-nio menjadi gusar, ia menyangka sutee ini hendak rintangi dia.

"Anak kurang ajar! Kau berani pegat aku?" Dia membentak seraya sebelah tangannya dikasih melayang, untuk hajar kepala pemuda kita.

Sin Cie berkelit, hingga tangannya enso itu lewat diatasan pundaknya, hingga ia kena keserempet sedikit, hingga ia merasakan pedas sekali. Karena ini, ia jadi insyaf liehaynya enso ini.

Memang Kwie Jie-nio belum pernah kasih lewat ketika yang senggang untuk tidak berlatih, untuk itu, ia bisa senantiasa berlatih dengan suaminya, hingga kepandaian mereka berdua tidak pernah mundur hanya malah maju terus. Akan tetapi sekarang, melihat si anak muda luput dari serangan, enso yang kedua ini jadi naik darah. Sudah belasan tahun, belum pernah ia menemui orang yang bisa lolos dari serangannya ini. Maka tidak tempo lagi, ia ulangi serangannya dengan babat pinggang si anak muda dengan telapakan tangannya yang dikasih miring.

Sin Cie mengerti selatan, ia mendahului lompat, melewati meja, dengan begitu, tak bisa si enso itu susul ia. Sedang si enso sendiri, entah bagaimana, kembali tarik tangannya Sun Tiong Kun, untuk diajak pergi, dengan begitu suaminya, berikut Bwee Kiam Hoo dan Lau Pwee Seng, lantas ikut mereka berlalu dari rumah Ciau Kong Lee.

563 Tiang Pek Sam Eng lihat ketikanya, kembali mereka pergi keluar, sekali ini bukan dengan bertindak saja hanya sambil berlari.

"Hei, tahan!" Sin Cie berteriak pula dengan cegahannya, terus ia berlompat, mencelat bagaikan burung terbang, hingga ia dapat jambak Lie Kong, yang kabur paling belakang. Tidak ampun lagi, ia totok jago Tiang Pek San ini, tubuh siapa terus ia lemparkan ke lantai.

Dua saudara Su berlaku licik, mereka kabur terus, hingga mereka lenyap ditempat gelap. Karena itu malam, cuaca gelap sekali. Sin Cie juga tidak mengubar terus. Ia pikir, ia sudah bekuk satu orang, orang ini pun bisa diminta keterangannya. Selagi ia memutar tubuh, untuk kembali ke dalam, tiba-tiba ia dengar suara nyaring dibelakangnya, suaranya orang tua: "Hai sahabat kecil, Baru sepuluh tahun lebih kita tidak bertemu, kepandaianmu telah maju begini bagus!"

Sin Cie goncang hatinya apabila ia dengar suara itu, yang ia kenali, sehingga dengan cepat sekali, ia berpaling, untuk melihat. Itu waktu, ia sudah berjalan melewati pintu.

Bertindak dipintu ada dua orang, sebelah tangannya masing-masing mengempit Su Peng Kong dan Su Peng Bun, kedua jago Tiang Pek San yang Baru saja lolos. Melihat tegas romannya orang yang jalan dimuka, bukan buatan girangnya anak muda ini. Sebab orang itu adalah seorang tua dengan alis dan kumis-jenggot sudah ubanan dan dibelakangnya menggemblok selembar papan pesegi warna hitam! Sebab orang itu adalah yang pernah berikan ia pelajaran entengkan tubuh dan senjata rahasia, ialah Bhok Siang Toojin. Benar dia bukannya gurunya yang resmi, toh Sin Cie ingat budinya yang besar, hingga ia pandang orang tua ini bagaikan guru sejati. Dengan kegirangan ia lompat menghampirkan orang tua itu didepan siapa segera ia jatuhkan diri untuk berlutut, untuk manggut-manggut.

0o-d.w-o0

Bhok Siang Toojin tertawa bergelak-gelak.

"Bangun, bangun!" katanya dengan ramah-tamah. "Kau lihat, siapa dia ini!"

Dan ia berpaling, akan tunjuk orang yang kedua, yang datang bersama ia, siapa sekarang sudah berada disampingnya.

Sin Cie awasi seorang usia pertengahan, yang rambutnya sudah mulai bersemu, yang wajahnya menyatakan dia kenyang berkelana. Kembali ia jadi sangat girang, karena ia kenali gurunya dimasa ia masih kecil sekali, orang yang pernah secara mati-matian tolong jiwanya, ialah Cui Ciu San.

Posting Komentar