"Habis kau mau bagaimana Baru kau hendak percaya aku ada paman gurumu?" Sin Cie tanya.
"Aku ingin kau dan aku berlatih sebentar," Pwee Seng bilang. "Umpama kata kepandaian ilmu silatmu Hoa San Pay ada terlebih sempurna. " "Itulah gampang," bilang Sin Cie. "Asal kau sanggup layani aku lima jurus, kau boleh bilang aku palsu. Kau setuju?"
Mendengar itu, Bwee Kiam Hoo heran berbareng lega hatinya. Dia pikir: "Tentulah dia cuma ngoceh! Mustahil dia sanggup rubuhkan Lau Sutee dalam lima jurus saja?" Maka ia lantas bilang: "Baiklah! Nanti aku yang menghitung!"
Lau Pwee Seng memberi hormat sambil menjura. Agaknya ia kenal aturan sekarang. Katanya: "Dimana ada kelemahanku, tolong kau menaruh belas kasihan. "
Sin Cie lantas menghampirkan dengan tindakannya pelahan. Ia bersiap.
"Jurusku yang pertama ada 'Cio po thian keng'," katanya, "kau sambutlah."
"Baik," sahut Pwee Seng, yang didalam hatinya sendiri lantas berkata: "Siapa sih yang hendak bertempur memberi tahu lebih dahulu kepada musuh tipu-pukulannya yang hendak dipakai menyerang? Tentu dia menggunai akal, dia ingin aku bersiap menjaga di atas, tahu-tahu dia serang aku dibawah." Maka ia siapkan tangan kanannya didepan mukanya, tangan kiri dibetulan perut, asal orang mulai menyerang, ia hendak membarengi menyerang juga.
Segera terdengar suaranya Sin Cie: "Awas serangan yang pertama!" Dan serangannya dilakukan. Dengan tangan kiri dia mengancam, dengan tangan kanan ia menyerang dengan benar-benar. Dan benar-benar ia menyerang dengan tipu-silat Hoa San Pay yang ia sebutkan, jaitu 'Cio po thian keng' atau "Batu meledak, langit gempar."
Lau Pwee Seng geraki tangan kanannya, untuk menangkis. Pukulannya Sin Cie belum lagi sampai, atau ia sudah cegah itu.
"Hei, kenapa kau tidak percaya aku?" tanya dia. "Sebuah tangan saja tak cukup untuk menjaga, mesti dua tangan dengan berbareng."
Pwee Seng terperanjat. Ia pun insyaf, ia bakalan tak sanggup menangkis, atau sedikitnya hidungnya bakal muncratkan darah. Maka melihat orang menunda penyerangan, ia segera geraki juga tangan kirinya, dengan kedua tangan ia geraki "pay bun twie san", atau "mengatur pintu, menolak gunung". Ia menolak seraya perdengarkan seruan.
Sin Cie lanjuti serangannya, hingga tangannya jadi bentrok dengan dua tangannya lawan, setelah mana, ia menarik pulang lagi.
"Aku hendak menyerang pula, sekali ini dengan tiga jurus dibarengi," kata dia, menerangkan. "Itulah Lek-pek sam koan, Pau Coan in giok dan Kim-kong cie bwee. Bagaimana kau akan melawannya?"
Tanpa berpikir lagi, Pwee Seng jawab: "Aku akan gunai Hong pie-chiu, Pek in cut siu dan Pang hoa hut liu."
"Dua yang pertama benar, yang ketiga tidak tepat," Sin Cie bilang. "Kau harus ketahui, Pang hoa hut liu adalah penjagaan di tengah berbareng menyerang. Jikalau kau adu tenaga dengan lawan, itulah baik, akan tetapi kau perlu membalik tangan, buat balas menyerang, dengan begitu, tenaga pembelaanmu jadi berkurang separuh, dengan begitu, kau akan tak sanggup menahan aku punya Kim kong cie bwee."
"Kalau begitu, aku akan gunai Cian kin cwie tee," Lau Pwee Seng membetuli. "Itu benar. Kau sambutlah!"
Sambil mengucap demikian, Sin Cie geraki tangan kanannya.
Pwee Seng pun bersiap, untuk menangkis.
Akan tetapi tangan kanan Sin Cie cuma terangkat keatas, yang menerjang adalah tangan kirinya, kebawah. Sembari berbuat demikian, dia kata: "Dalam ilmu silat, tak boleh orang berkukuh. Gurumu ajarkan kau Lek pek sam koan dengan tangan kanan tetapi kita bisa melihat gelagat, memakai tangan kiri pun boleh." Sembari berkata,ia menyerang terus, tanpa tunggu orang menutup diri, untuk menangkis, ia mendahului menyambar lengan orang, untuk ditarik.
Lau Pwee Seng menggunai 'Pek in cut siu' atau 'awan putih keluar dari sela gunung', ia melonjorkan tangannya untuk mengikuti, diam-diam ia gunai tenaganya, apapula lawan tidak siap-sedia, dadanya bisa kena ditotok celaka. Tapi ia pun tidak berani balas menyerang, begitu lekas tangannya dilepaskan dari cekalan lawan, ia menahan diri, dengan perkuatkan bahagian bawah, ia tancap kedua kakinya.
Sin Cie tidak berdiam sajda begitu lekas ia lepaskan cekalannya terhadap lengan lawan, gesit luar biasa, ia mencelat kesamping, terus kebelakang musuh dari mana, tangan kirinya segera mendorong bebokong lawan itu, sebelum Pwee Seng sempat memutar tubuh atau berkelit, kuda-kudanya sudah gempur, hingga ia terjerunuk dua tindak kedepan, dengan susah-payah Barulah dia bisa berbalik.
"Bagus!" berkata Sin Cie. "Sekarang ini pukulanku yang kelima. Ini ada Kie-chiu-sie dari Po-giok-kun." Pwee Seng merasa heran, hingga ia berdiam saja.
"Apakah kau sangka Kie-chiu-sie hanya untuk upacara saja, buat memberi hormat?" tanya Sin Cie. "Apa kau kira kie-chiu-sie tak ada faedahnya dipakai menghadapi musuh? Kau mesti insyaf maksud Cousu menciptakan tipu-silatnya ini. Tidak ada satu jua dari jurus-jurusnya Cousu yang tidak disiapkan untuk melumpuhkan musuh, guna merebut kemenangan. Kau lihat saja!"
Lantas Sin Cie mendak sedikit, tubuhnya rada melengkung bagaikan biang panah, kepalan tangannya ditekap dengan tangan kiri, menjusul mana ia membuat gerakan sebagai lagi menjura, lantas saja tubuhnya itu bergerak maju, kedua tangannya pun menyerang dengan berbareng. Selagi Pwee Seng sibuk hendak menangkis, karena serangan itu sangat diluar dugaan, paha kirinya sudah kena dijotos, hingga tubuhnya itu menjadi limbung, terus saja ia rubuh!
Justru orang rubuh, Sin Cie berlompat menghampirkan, untuk sambar tubuh lawan dengan dua tangannya, buat dikasi bangun, buat direbahkan dengan hati-hati.
Lau Pwee Seng segera geraki tubuhnya, untuk berbangkit dan berlutut, buat lantas memberi hormat sambil paykui.
"Aku yang muda tidak kenal susiok, barusan aku telah berlaku kurang ajar," kata ia, "maka dengan memandang kepada guruku, aku minta susiok sudi mengasi maaf padaku."
Sin Cie lekas-lekas membalas hormatnya.
"Lau Toako ada terlebih tua daripada aku, baik kita berbasa engko dan adik saja," kata ia.
"Tak berani aku berbuat begitu, susiok," Pwee Seng menampik. "Ilmu silat susiok benar-benar luar biasa. Lima
540 jurus barusan memang ada ilmu pukulan kita kaum Hoa San Pay, dengan itu susiok beri pengajaran padaku, aku merasa sangat berterima kasih, kelak kemudian pasti aku akan yakinkan itu dengan sungguh-sungguh."
Sin Cie tidak menjawab, ia melainkan bersenyum.
Pwee Seng buktikan janjinya ini, karena dibelakang hari, ia yakinkan sungguh-sungguh hingga ia peroleh kemajuan yang berarti. Karena mana ia hormati betul paman guru cilik ini.
Sampai disitu, Bwee Kiam Hoo dan Sun Tiong Kun tidak bisa beragu-ragu lebih jauh, akan tetapi orang she Bwee ini percaya betul ketangguhan ilmu pedangnya, maka ia telah berpikir: "Dalam ilmu silat tangan kosong, kau liehay, dalam ilmu pedang, belum tentu kau nanti dapat menangi aku."
Selagi ia berpikir demikian, ia dengar seruannya Tiong Kun:
"Bwee Suko, hayo coba ilmu pedangnya!"
"Baik!" jawab suheng ini, yang terus pandang Sin Cie dan kata: "Aku niat di ujung pedang tuan mencoba menerima pelajaran beberapa jurus."
Dia omong dengan sabar dan halus,akan tetapi air mukanya tetap membayangi kejumawaannya. Ia pun memanggil tuan.
Sin Cie berpikir: "Rupanya dia ini telah dapatkan ilmu pelajaran sempurna dalam ilmu pedang Hoa San Pay, pasti selama berkelana belum pernah dia menemui tandingan, hingga karena pujian muluk di sana-sini, ia jadi berkepala besar, tekeburnya bukan buatan, sehingga sepak terjangnya jadi berlebih-lebihan. Dia beda daripada Lau Pwee Seng, perlu aku ajar adat padanya, supaya dibelakang hari dia
541 tidak membuat malu kepada Hoa San Pay. Ajaran pun akan membuat kebaikan untuk dirinya sendiri."
Maka lantas ia menyahuti: "Untuk mengadu pedang, tidak ada halangannya, akan tetapi kapan sebentar telah ada keputusan menang dan kalah, kau mesti dengar sedikit nasihatku yang tentunya tidak sedap untuk kupingmu."
"Sekarang masih belum ada keputusannya menang atau kalah, kalau kau hendak bicara, itulah masih terlalu pagi!" kata Kiam Hoo dengan kejumawaannya tidak berkurang. Malah dia segera lintangi pedangnya didepan dada, dia ambil tempat disebelah kiri, di atas.
"Bwee Suko, baik kau berdiri disebelah bawah!" Lau Pwee Seng teriaki suheng itu.
Kiam Hoo tidak gubris itu nasihat, ia seperti tidak mendengarnya.
Adalah aturan dari Hoa San Pay, apabila angkatan muda berlatih pedang dengan angkatan tua, yang muda mesti ambil tempat disebelah bawah. Itu ada tanda bahwa bukan si muda berani terhadap si tua, itu adalah si muda mohon pengajaran. Tapi Bwee Kiam Hoo, dengan berdiri di kiri, jadi anggap dirinya sepantaran dengan orang yang terlebih tua derajatnya, tingkatannya, terang ia tidak sudi akui Sin Cie sebagai paman guru. Dengan tangan kiri, dia genggam gagang pedang, sembari rangkap kedua tangan, dia menantang: "Tuan, silakan!"
Sin Cie tidak puas terhadap sikap lawan ini, akan tetapi ia punyakan kesabaran luar biasa. Ia tidak lantas terima tantangan itu, hanya lebih dahulu ia menoleh kepada Ciau Kong Lee.
"Ciau Lopeh, tolong kau minta orangmu bawa kemari sepuluh bilah pedang," ia minta. "Ah, Wan Siangkong, jangan panggil lopeh padaku, tak berani aku menerimanya," berkata tuan rumah itu.
Selagi orang-tuanya bicara, Ciau Wan Jie memberi tanda kepada pihaknya, maka lantas ada beberapa muridnya Kong Lee yang membawa datang sepuluh bilah pedang yang diminta. Malah mengingat orang telah menolong guru mereka, mereka sengaja pilih pedang yang bagus, yang semua diletaki diatas meja.
Semua mata ditujukan kepada Sin Cie, ingin orang ketahui, pedang yang mana satu yang bakal ia pilih. Akan tetapi, selagi sepuluh pedang sudah siap, dia justru jumput pedang buntung dari Sun Tiong Kun.
"Aku pakai ini pedang buntung saja!" katanya sambil tertawa.
Semua orang melongo. Bagaimana pedang buntung dapat dipakai mengadu silat?
Sin Cie jepit pedang buntung itu diantara jempol dan telunjuknya.
"Sekarang kau boleh menyerang!" kemudian ia kata kepada Kiam Hoo.
Orang she Bwee itu menjadi sangat gusar.
"Kau sangat memandang enteng kepadaku, jikalau sebentar kau mampus, jangan kau sesalkan aku!" kata dia dalam hatinya. Ia lantas putar pedangnya, hingga cahayanya berkilauan dan suaranya mengaung.