"Memang pada dasarnya Liang Gie Kiam-hoatmu ini ada bagiannya yang lemah," berkata dia, "sudah begitu, tidak sempurna kamu menjalankannya, maka bagaimana dapat kamu melukai aku?" Ia hirup araknya. "Ketika kau masih kecil, guruku suruh aku membuat karangan. Sekarang aku sedang bergembira, mau juga aku membuat karangan pula!"
"Bocah, lihat pedang!" Tong Hian berseru. Tapi ia tidak menyerang.
"Utusan Kim Coa Long-kun sambil tertawa melayani berkelahi dua si tolol," Sin Cie terusi godaannya, untuk membangkitkan hawa-amarah mereka.
Ceng Ceng tertawa.
"Toako, apakah katamu?" tanyanya. "Itulah kalimat karanganku," sahut Sin Cie.
"Baik!" kata si nona. "Hayo kau membacakannya, aku akan mengingatinya, sebentar aku nanti buat catatannya."
Nona ini tahu maksud kawannya itu, ia pun melayaninya.
"Pedang mustika itu adalah senjata untuk membunuh manusia," Sin Cie lantas menyebutkan karangannya. "Dan tolol adalah lain gelarannya si dungu. Satu ketololan membuat berubah orang empunya wajah muka, dua ketololan bisa membikin orang tertawa terpingkal-pingkal sambil menekan perut, akan tetapi dua si tolol yang memainkan pedangnya dengan niatan membunuh orang, dia membuat aku menyemburkan arak hingga air mataku keluar hingga aku berseru panjang!" "Semburkan arak, keluarkan air mata, bagian itu perlu ditandai koma dan titik," Ceng Ceng bilang.
Sementara itu Sin Cie telah berkelit dari tiga tusukan berbareng dari kedua lawannya, tidak pernah ia balas menyerang, ia main egos tubuh atau melejit saja.
"Aku adalah utusan Kim Coa Long-kun," ia lanjutkan, "aku suka tempatkan diriku sebagai si pendamai Lou Tiong Lian, akan tetapi tuan berkukuh, tak mau sadar, terus- terusan mengacau saja, hingga karenanya di empat penjuru, semua tuan-tuan telah menunda cawannya, untuk menonton pertempuran. Sementara itu tiga pengkhianat bimbang dan berduka hatinya, mereka memikirkan cara bagaimana mereka bisa meluputkan diri dari ancaman bencana! Mereka itu justru harus dihajar rubuh!. "
Dengan tiba-tiba saja, Sin Cie menimpuk Bin Cu Hoa dengan paha ayam yang tadi ia jepit dengan sumpitnya, sumpitnya itu segera dipakai menyambut-menjepit pedangnya Tong Hian yang dipakai menikam dia. Dia menjepit dengan keras, lantas ia menyempar dengan keras juga.
"Lepaskan pedangmu!" dia pun berseru.
Berbareng dengan seruan itu, pedangnya Tong Hian kena tertarik hingga terlepas dari tangannya dan jatuh kelantai, si imam sendiri sampai jatuh terjerunuk karena ia mencoba menahannya. Karena ini, berbareng kaget dan malu, ia menyerang dengan tangan kanannya, ia menyapu dengan kaki kirinya. Ia pikir akan gunai saat itu untuk rebut kemenangan!
Sin Cie menjejak dengan kedua kakinya, tubuhnya mencelat, akan menyingkir dari ancaman bahaya itu, berbareng dengan itu, cangkir araknya terbang melayang, karena dengan itu ia menimpuk kepada Bin Cu Hoa,
523 mengenai tepat jalan darah kiok-cie-hiat tangan kiri dari orang she Bin itu, hingga segera dia ini merasakan tangannya itu baal, hingga pedangnya terlepas dari cekalan dan terlepas seketika. Menyusul itu dengan satu sambaran "Han yap ok cui" atau "Gowak menyambar air", ia jumput kedua pedangnya lawan, untuk ia cekal dengan kedua tangannya, sembari pentang itu, ia berseru: "Kamu belum pernah lihat satu orang mainkan Liang Gie Kiam-hoat bukan? Nah, sekarang saksikanlah dengan perdata!"
Pemuda ini segera juga bersilat seorang diri ditengah- tengah ruangan itu, ia menyerang kekiri, ia menyerang kekanan, ia membela dikiri, sesuatu jurusnya benar-benar cocok sama ilmu pedang Liang Gie kiam-hoat yang disebutkan itu, gerakan kedua pedangnya itu nampak kusut sekali, akan tetapi toh, sesuatunya sangat membahayakan pihak lawan.
Tidaklah aneh jikalau angkatan muda yang hadir disitu menjadi terheran-heran, tetapi juga Sip Lek Taysu, Twie- hong-kiam Ban Hong, The Kie In, Tiang Pek Sam Eng, Thio Sim It dari Kun Lun Pay dan rombongan Bwee Kiam Hoo dari Hoa San Pay, turut mendelong juga. Inilah pemandangan yang tak pernah mereka sangka-sangka.
Kedua pedang berseliweran, cahayanya yang mengkilap berkredepan, anginnya menyambar-nyambar tidak berhentinya. Dan ketika enam puluh empat jurus telah habis dijalankan, terdengar seruannya si anak muda, kedua pedang itu melesat keatas, nancap di penglari wuwungan rumah, nancap dalam sekali!
Itulah ilmu timpukan pedang Hoa San Pay warisan istimewa Pat-chiu Sian Wan, yang Sin Cie dapat pelajarkan dengan sempurna.
Sampai disitu, Barulah pemuda ini undurkan diri. Ruang pesta atau pertempuran itu jadi bergemuruh dengan sorakan dan tepukan tangan riuh, karena kawan maupun lawan, semua memujinya.
Kapan gemuruh mulai reda, terdengarlah seruan gembira dari Ceng Ceng seorang, suaranya nyaring dan terang: "Ha- ha! Bakal ada orang memanggil engkong padaku!"
Bwee Kiam Hoo, yang berdiri dengan pegangi pedangnya, bermuka merah-biru, saking mendongkol dan malu.
The Kie In lantas saja tertawa.
"Nona Ciau, kau telah menang, kau terimalah ini!" berkata dia, yang dorong emas goanpo diatas meja kepada Ciau Wan Jie.
Nona itu memberi hormat.
"The Pehhu, aku akan wakilkan kau memberi persen," katanya. Lantas dia kata dengan suaranya yang nyaring: "Disini ada uang banyaknya sembilan ribu tail! Inilah uangnya The Tocu yang dibuat bertaruh secara main-main denganku! Tuan-tuan telah datang dari tempat yang jauh sekali, menyesal tak dapat kami dari Kim Liong Pang melayaninya dengan sempurna, kami malu sekali, maka itu, dengan jalan ini kami hendak 'pinjam bunga untuk menghormati Sang Buddha'. Kamu semua pengiring dari pelbagai cianpwee, mamak dan paman, kanda dan kakak, kamu masing-masing, seorangnya, aku akan hadiahkan banyaknya seratus tail! Hadiah ini besok hari aku akan perintah orangku mengantarkannya kehotel kamu masing- masing!"
Dipihak tetamu, orang puas dengan cara penyelesaiannya pihak Kim Liong Pang ini, akan tetapi Bin Cu Hoa dan Tong Hian Toojin, yang kena dipecundangi, tampangnya lenyap cahaya terangnya. Mereka malu dan mendongkol bukan main.
Habis puterinya bicara, Ciau Kong Lee hadapi para tetamunya.
"Dahulu hari itu, karena perangaiku keras dan perbuatanku semberono, aku telah kesalahan tangan hingga mencelakai kandanya Bin Jie-ko," berkata dia. "Kejadian itu sesungguhnya membuat aku malu dan menyesal, maka itu sekarang dihadapan semua enghiong yang hadir disini, aku hendak menghaturkan maaf kepada Bin Jieko. Wan Jie, kau beri hormat pada Bin Siokhu."
Sembari membilang demikian, Kong Lee sendiri menjura pada Bin Cu Hoa, yang sejak tadi berdiri diam saja.
Wan Jie turut titah ayahnya, malah sebagai yang termuda, ia memberi hormat sambil paykui.
Bin Cu Hoa balas kehormatan itu. Mereka telah membuat janji, ia kalah, ia mesti menetapi janji itu. Pun, dari bunyinya kedua surat wasiat, sudah terang kesalahan ada di pihak kandanya. Dimana untuk melanjuti permusuhan adalah sulit untuk pihaknya, ia anggap ini adalah ketika untuk penyelesaian yang terhormat itu. Tapi ia ingat kandanya telah binasa, air matanya turun mengucur.
"Bin Jieko, aku sangat bersyukur kepadamu," berkata pula Ciau Kong Lee, yang manis budi itu. "Mengenai pertaruhan rumah, mungkin ini tuan muda main-main saja, aku pikir baik itu tak usah ditimbulkan lagi. Besok dengan lantas aku nanti perintah siapkan lain rumah untuk tuan berdua."
"Itu tak dapat dilakukan," berkata Ceng Ceng. "Kita ada bangsa kuncu, satu kali perkataan kita telah dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat mengejarnya. Kata-kata telah diucapkan, mengapa mesti dibuat menyesal dan hendak ditarik pulang?"
Orang semua melengak, mereka heran. Ciau Kong Lee telah janjikan sebuah rumah yang Baru, pasti itu akan terlebih indah daripada rumah Bin Cu Hoa, maka heran, kenapa pemuda itu menampik, kenapa dia masih hendak membuat malu kepada Bin Cu Hoa?
Ciau Kong Lee menjura pada "si anak muda".
"Lo-teetay, budimu berdua tak nanti aku lupakan," berkata dia dengan sangat, "tapi sekarang aku minta sukalah kamu bantu lagi sedikit kepadaku. Dipintu kota Selatan, aku mempunyai satu pekarangan yang luas,aku minta sukalah kamu terima itu sebagai gantinya. Aku percaya kamu akan puas dengan pekarangan itu."
Ceng Ceng bersikap sabar, tapi ia jawab: "Barusan Bin Jieya hendak binasakan kau untuk membalas sakit hati, umpama kata kau bilang padanya supaya dia jangan bunuh padamu, kau mengatakan mana kau tanggung dia akan peroleh kepuasan, coba kau pikir, dapatkah dia terima itu atau tidak?"
Bungkam ketua Kim Liong Pang ini dijawab secara demikian, ia likat sendirinya. Alasan si anak muda memang kuat sekali. Maka akhirnya, ia berpaling kepada gadisnya.
"Tuan ini penujui rumah Bin Jieya itu," katanya, "maka itu sebentar pergi kau perintah antar itu uang delapan ribu tiga ratus tail kerumahnya Bin Siokhu."
"Sudah, sudah," mencegah Bin Cu Hoa. "Buat apa aku uang itu? Satu laki-laki telah keluarkan kata-katanya, empat ekor kuda tak dapat candak itu! Ciau-ya, permusuhanku denganmu, sampai disini aku bikin habis. Besok aku hendak pulang kekampung halamanku, aku tidak punya muka untuk lebih lama pula didalam kalangan kangouw. Biarlah rumahku dipunyai oleh kedua tuan ini." Ia lantas menjura kepada semua hadirin dan berkata: "Semua sahabatku, jauh dari tempat ribuan lie kamu telah datang kemari untuk mebantu aku, siapa tahu aku justru tidak punya guna, tak dapat aku membalas sakit hati kandaku, hingga karenanya, aku membuat kamu semua datang dengan sia-sia saja. Sahabat-sahabatku, biar lain kali saja aku balas budimu ini."
Melihat orang bisa ubah sikapnya itu, Sin Cie lantas kata kepada jago Bu Tong Pay itu: "Bin Jieya, walaupun kau kalah dari aku, sebenarnya kepandaianku masih kalah jauh dengan kepandaianmu, apapula kalau dipadu dengan kepandaian Tong Hian Tootiang. Aku harap jiewie tidak berkecil hati. Jiewie, terimalah hormatku yang muda."
Orang semua melengak. Toh dia yang menang, dan menangnya secara cemerlang sekali. Siapa bisa bertanding sambil minum arak dan membuat karangan sebagai dia? Siapa dapat gampang-gampang dengan tangan kosong mengalahkan dua musuh tangguh yang bersenjatakan pedang? Toh sekarang ini anak muda suka mengalah, suka dia memberi hormat kepada pecundang-pecundangnya!
"Jiewie bukannya kalah ditanganku," Sin Cie melanjuti. "Sebenarnya jiewie kalah ditangan Kim Coa Tayhiap. Dia telah menduga siang-siang untuk caranya jiewie bertempur, maka itu Tayhiap telah pesan aku untuk aku bersikap berandalan, guna pancing meluapnya hawa-amarah jiewie, setelah itu, dengan satu akal, aku mesti rebut kemenangan. Kim Coa Tayhiap adalah orang pandai nomor satu dalam dunia Rimba Persilatan jaman ini, kepandaiannya itu tidak dapat dijejaki. Aku sendiri bukan muridnya, secara kebetulan saja aku bertemu dengannya, lantas dia ajari aku ilmu silat ini, untuk dipakai menyelesaikan persengketaan ini. Jiewie kalah ditangan Tayhiap, tak usah jiewie merasa malu. Ingin aku mengatakan sesuatu yang tak sedap untuk kuping, tapi harap jiewie tak buat kecil hati. Jangan kata Baru jiewie, juga pada waktu itu, Uy Bok Toojin sendiri bukan tandingan Kim Coa Tayhiap. "
Tong Hian Toojin dan Bin Cu Hoa sangsikan kata-kata terakhir ini, akan tetapi, sementara itu mereka telah dapat dibikin tenang.
Tong Hian membalas hormat sambil menjura.
"Sie-cu telah membikin terang muka kami, pinto haturkan banyak-banyak terima kasih," kata dia. "Maukah sie-cu beritahukan she dan nama besar sie-cu kepadaku?"
Sin Cie segera tunjuk Ceng Ceng.
"Inilah turunan langsung dari Kim Coa Tayhiap," jawab dia. "Dia she Hee. Dan aku yang muda, she Wan."
Banyak orang belum tahu shenya Kim Coa Long-kun, Baru sekarang mereka ketahui jago itu she Hee.
Bin Cu Hoa menjura pada Ciau Kong Lee.
"Aku telah gerecoki Ciau-ya," katanya. "Selamat tinggal!"
Ciau Kong Lee balas hormat itu.
"Besok aku akan kunjungi Bin Jie-ko untuk haturkan maaf," katanya.
"Tak sanggup aku terima itu," Cu Hoa menampik.
Selagi orang hendak angkat kaki, terdengar suaranya Ceng Ceng.
"Eh, bagaimana dengan pertaruhan pedang buntung?" katanya.
529 Wan Jie lihat ayahnya Baru terlolos dari mara-bahaya besar, maka ia tak sudi menghadapi lagi lain ancaman malapetaka. Maka lekas ia perdengarkan suaranya.
"Tuan Hee, mari masuk kedalam, aku akan menyuguhkan teh," katanya. "Aku harap urusan kecil itu tidak disebut-sebut pula."
"Dia masih satu bocah, dia belum panggil aku engkong!" kata lagi Ceng Ceng. "Ini tak dapat disudahi saja!"
Bwee Kiam Hoo dan Sun Tiong Kun tak dapat menahan sabar lagi, keduanya lompat maju ketengah kalangan. Tapi Kiam Hoo bukan hampirkan nona kita, yang ia sangka ada satu pemuda, ia hanya tuding Sin Cie.
"Kau sebenarnya siapa?" ia menegur. "Kau timpuki pedang ke atas penglari, itulah ilmu kepandaian menimpuk dari Hoa San Pay! Dari mana kau curi pelajaran itu?"
Lau Pwee Seng menyusul dibelakang suhengnya, dia pun turut bicara.
"Kau juga barusan gunakan Hok-hou-ciang dari kaum kita!" dia turut menegur. "Dari mana kau curi itu? Lekas bilang!"
Sin Cie tidak sangka bakal muncul ekor ini, tapi ia tertawa.