Pedang Ular Mas Chapter 69

NIC

"Aku dengar Kim Liong Pang adalah satu partai besar diwilayah Kanglam ini, siapa tahu, Ciau Kong Lee adalah yang menjadi pangcu, ketua. Mereka beranggauta banyak dan besar pengaruhnya, kenapa sekarang Ciau Kong lee bersikap begini lemah? Benar-benar aneh!"

"Sekarang aku pergi cari Kho Siokhu," berkata si nona. "He, kenapa kau masih tidak ketahui sikapku?" sang

ayah menegur. "Pamanmu itu bertabeat keras, jikalau dia

datang dan ketahui urusanku ini, apa kau anggap dia mau sudah saja orang perhina aku begini rupa? Satu kali dia datang, perang bakal segera terbit, entah berapa banyak jiwa akan melayang! Diumpamakan aku ketolongan, luput dari bahaya kematian, akan tetapi karena itu, mungkin beberapa ratus saudara kita bakal terbinasa, apabila sampai terjadi demikian, mana bisa hatiku tenang? Tidak, aku tidak tega! Hayolah kau lekas pergi!"

Nona itu menangis, tapi ia paykui kepada ayahnya dua kali, sesudah mana, ia tuntun tangan adiknya, untuk diajak pergi. Ketika ia sampai dipintu, tiba-tiba ia berhenti dan menoleh.

"Ayah!" katanya. "Apa mungkin, kecuali dari mati, tidak ada jalan yang kedua untuk menghindarinya?"

"Tentang itu aku telah pikirkan selama beberapa hari dan malam," sahut sang ayah. "Apakah aku tidak bakal bergirang andaikata bisa aku terluput daripada kematian? Didalam dunia ini, cuma ada satu orang yang bisa tolong aku, akan tetapi orang itu kebanyakan sudah tidak berada lagi didalam dunia..."

Kong Lee menghela napas pula. Wajahnya si nona bercahaya dengan tiba-tiba, ia hampirkan ayahnya dua tindak.

"Ayah, siapakah orang itu?" tanyanya." Siapa tahu kalau- kalau dia belum meninggal dunia. "

"Dia orang she Hee," sahut ayah itu. "gelarannya ialah Kim Coa Long-kun."

Selagi gadisnya masih berdiam, Ciau Kong Lee menambahkan: "Dialah orang yang aku maksudkan si orang kangouw yang luar biasa. Dialah juga yang ketahui jelas perkaraku dengan Bin Cu Yap. Ketika dulu dua-belas murid kepala dari Bu Tong Pay hendak ganggu aku, dialah yang sendirian saja mundurkan jago Bu Tong San, untuk tuturkan duduknya hal, hingga perkara jadi dapat dibikin habis. Sekarang ini Uy Bok Toojin sudah meninggal dunia dan Kim Coa Long-kun sendiri katanya pada belasan tahun telah orang aniaya hingga sekarang dia pun tak berada dalam dunia lagi. Coba dia masih hidup....Ah, sudahlah, pergilah kamu. "

Dengan sangat berduka, si nona berlalu.

Sin Cie beri tanda pada Ceng Ceng, mereka tinggalkan jendela, untuk kuntit nona Ciau itu, kapan mereka telah sampai ditaman bunga, dimana tidak ada lain orang, mendadakan pemuda kita berlompat, akan lombai nona itu, untuk berdiri didepannya.

"Nona Ciau, mau atau tidak kau tolongi ayahmu?" tanya ia secara mendadakan.

Nona itu terkejut, hingga ia melengak, atau segera ia hunus pedangnya.

"Siapa kau?" ia membentak. "Jikalau kau hendak tolong ayahmu, mari ikut aku!" kata Sin Cie, yang tidak jawab teguran orang. Lantas dengan satu loncatan tinggi dan jauh, dengan "It Hoo Ciong Thian" ia mencelat untuk lewati tembok pekarangan.

Ceng Ceng, yang berdiam saja, telad contoh kawannya itu.

Nona Ciau kembali melengak, terutama ia tidak sangka orang itu demikian liehay ilmu entengkan tubuh, maka kemudian, tanpa ayal lagi, ia pergi susul mereka. Ia telah mengubar sejurus tempo ia lihat orang masih terus lari keras, hingga ia bersangsi dan hentikan tindakannya, lantas ia memutar tubuh, untuk pulang. Tapi Baru ia berbalik, mendadak ia rasakan sampokan angin dipinggangnya, tali pedang dipinggangnya kendor dan terlepas, menyusul mana, ia pun rasakan sebelah tangannya sesemutan, cekalannya lepas sendirinya, hingga dilain saat pedangnya sudah terampas orang yang ia tak kenal itu.

Sin Cie pun sudah lantas berdiri didepan nona ini. Bukan main kaget dan herannya nona Ciau.

"Jangan takut, nona," Sin Cie berkata. "Jikalau ada niatku mencelakai kau, aku dapat lakukan itu secara gampang sekali. Aku ada sahabat dari keluargamu, maka kau mesti dengar perkataanku apa yang aku bilang!"

Nona itu manggut, tapi Sin Cie lihat orang masih ragu- ragu.

"Ayahmu sedang terancam bahaya maut, kau berani tidak menempuh bahaya untuk tolong dia?" Sin Cie tanya. Ia tidak perduli orang bersangsi atau curiga.

"Asal ayah dapat tertolong, walaupun tubuhku hancur- lebur, aku membelainya," kata si nona kemudian. "Ayahmu itu seorang baik," Sin Cie bilang. "Dia lebih suka korbankan diri sendiri daripada mesti lakukan pertempuran besar yang bakal meminta banyak korban. Orang semacam dia, langka, dari itu aku suka bantu dia. Aku pastikan ini!"

Melihat sikap orang dan mendengar perkataannya, nona Ciau tidak bersangsi lagi, malah ia lantas tekuk lututnya, untuk paykui.

"Jangan nona!" Sin Cie mencegah. "Perlu aku jelaskan padamu, walau begini, aku tidak merasa pasti kita bakal berhasil atau tidak."

Nona Ciau itu tidak dapat tekuk lutut, lengannya dicekal si anak muda, ia merasai satu tenaga yang besar, hingga tubuhnya seperti terangkat naik. Karena ini, semakin kuatlah kepercayaannya.

"Sekarang mari ajak kami ke kamar tulis," Sin Cie minta. "Disana aku hendak menulis sepucuk surat untuk ayahmu."

"Sebenarnya siapa jiewie berdua?" tanya nona Ciau. "Apa tidak lebih baik jiewie bicara langsung sama ayah?"

"Kita pasti bekerja cepat," Sin Cie bilang. "Kapan sebentar ayahmu baca suratku, tidak nanti dia berputus asa terus, tidak nanti dia hendak cari kematiannya pula! Kita tak boleh ayal-ayalan, inilah tindakan yang pertama."

Entah bagaimana, Nona Ciau lantas saja mempercayai habis.

"Kalau begitu jiewie, marilah!" ia mengundang.

"Inilah rahasia," Sin Cie peringati." Kecuali kau sendiri, lain orang tak boleh lihat kita!"

Nona itu manggut. Bertiga mereka loncati tembok pekarangan, untuk masuk kedalam. Nona rumah ajak kedua tetamunya kedalam sebuah kamar yang kecil dimana ia keluarkan kertas dan pit, ia gosoki juga baknya. Kemudian ia mundur, akan duduk disedikit jauh.

Sin Cie sudah lantas menulis.

Ceng Ceng berada didampingnya kawan ini, melihat "surat" yang ditulis Sin Cie ia terperanjat.

Sin Cie lipat surat itu, untuk dimasuki kedalam sampul, yang ia tutup rapat.

"Besok pagi tepat jam sin-sie," ia pesan si nona, "kau pergi ke hotel Hin Liong kamar no.3 huruf Uy, disana aku nanti tunggui kau."

Nona Ciau manggut.

Sekarang Sin Cie serahkan suratnya.

"Sampaikan surat ini segera pada ayahmu," ia kasi tahu. "Tapi kau mesti janji satu hal kepadaku."

"Aku nanti turut pesanmu," sahut si nona.

"Tidak perduli apa yang ayahmu tanyakan, terutama jangan kau beritahu dia tentang roman dan usiaku!" pesan pemuda kita.

Nona Ciau heran sekali. "Kenapa begitu?" tanyanya.

"Asal kau beritahu, tak dapat aku bantu kau!" ada jawaban si anak muda.

Nona itu melengak tapi ia lantas manggut. "Baik, aku turut kau," jawabnya.

Sin Cie tarik tangannya Ceng Ceng. "Sudah cukup, mari kita pergi!"

Nona Ciau lihat orang berlompat keluar pekarangan, gesitnya bagaikan burung terbang, hingga kembali ia jadi kagum. Tapi ia beragu-ragu ketika ia berlari-lari kekamar ayahnya, yang pintunya sudah ditutup. Ia coba menolaknya dengan sekuat tenaga, tidak ada hasilnya. Ia jadi heran dan kuatir. Ia lari ke jendela, dengan satu toyoran, ia bikin daun jendela menjeblak terbuka, terus saja ia berloncat masuk, justru ayahnya lagi bawa satu cawan kebibirnya.

"Ayah!" berseu gadis ini, yang kaget tak terkira. Ia bisa duga perbuatannya ayah itu. "Ayah, lihat ini dulu!"

Ciau Kong Lee menunda cawannya, ia mengawasi dengan mendelong.

Nona itu buka sampul surat, ia sodorkan suratnya kepada ayahnya itu.

"Baca ini, ayah!" kata dia.

Kong Lee tidak lihat surat hanya lukisan serupa pedang. Dengan mendadakan saja, cawannya terlepas dari cekalannya, sehingga cawan itu jatuh kelantai dan hancur bergomprangan!

Si nona kaget sehingga ia berjingkrak. Tapi segera ia tampak perubahan air mukanya ayahnya itu, yang dari duka dan suram mendadakan jadi bercahaya kegirangan.

"Dari mana datangnya surat ini?" ayah itu tanya, kedua tangannya bergemetar. "Siapa berikan ini padaku? Apakah dia sendiri yang datang? Ah, apakah benar-benar dia telah datang?"

Nona itu tidak lantas jawab ayahnya, ia hanya mendekati, untuk turut lihat bunyinya surat. Ia pun tidak lihat lain daripada gambarnya sebatang pedang yang panjang, yang romannya luar biasa, pedang berkepala ular- ularan, lidahnya bercabang dua bagaikan cagak. Ia tidak mengerti, pedang itu ada punya khasiat apa hingga ayahnya mendadakan jadi demikian girang.

"Ayah, apakah ini?" akhirnya dia balik tanya ayah itu. "Asal dia datang, jiwa tua dari ayahmu akan

ketolongan!" berkata ayah itu. "Apakah kau telah bertemu

dengannya?"

Masih si anak dara heran. "Dia siapa, ayah?" tegasinya.

"Dia yang melukiskan gambar pedang ini?" sahut ayah itu.

Baru sekarang gadis itu manggut.

"Dia pesan aku akan besok pergi cari dia ditempatnya," ia terangkan.

"Apakah dia tidak bilang bahwa aku pun perlu turut bersama?"

"Dia tidak bilang itu."

"Orang gagah luar biasa itu memang aneh perangainya," Kong Lee bilang. "Siapa juga mesti dengar perkataannya. Maka pergilah besok kau seorang diri!. Ah sedetik saja kau

terlambat datang ayah akan sudah tidak dapat lihat pula padamu. "

Nona Ciau terkejut. Sekarang ia ingat cawan yang ayahnya bawa kemulutnya. Jadi itulah cawan berisikan racun. Lantas saja ia ambil sesapu, akan sapui pecahan cawan, akan keringkan racunnya.

"Sekarang baik ayah tidur," kata ia, yang terus layani orang tua itu. Sebentar kemudian nyonya Ciau dan semua muridnya Kong Lee dengar kabar yang melegakan hati itu, semuanya bergirang, walau mereka masih belum pasti, "tuan penolong" itu akan berhasil atau tidak menolong mereka. Tapi mengingat ketua Kim Liong Pang itu berlega hati, mereka mau percaya ancaman bahaya sudah dapat diredakan.

Karena ini batallah orang menyingkir pergi dan bubaran....

Ketika itu, Sin Cie dan Ceng Ceng sudah berlalu dari rumahnya Ciau Kong Lee.

"Kau melukis pedang, apakah artinya itu?" Ceng Ceng tanya.

"Apakah kau telah tidak dengar sendiri?" Sin Cie baliki. "Dia sendiri bilang, didalam dunia ini, asal ayahmu datang, jiwanya bakal ketolongan. Gambar pedang itu adalah gambarnya Kim Coa Kiam kepunyaan ayahmu."

Posting Komentar