Pedang Ular Mas Chapter 60

NIC

"Umpama kita pergi kekota untuk merawatnya dahulu," menyatakan Uy Cin, "Aku kuatir kita tidak merdeka. Pembesar negeri tentu akan menanyakannya dengan melit. Kita boleh tidak usah kuatir tapi pasti sudah kita bakal ngalami kesulitan dan berabeh."

Dengan pikirannya ini, Uy Cin menginginkan nyonya itu dikubur disitu saja.

"Tidak, itu tak dapat dilakukan!" Ceng Ceng nyatakan tak setuju.

"Ibu telah menyatakan ia ingin dikubur bersama-sama ayah..."

"Dimanakah dikuburnya ayahmu itu?" tanya Uy Cin. Ceng Ceng diam. Tak dapat ia menjawabnya. Ia tidak tahu dimana letaknya kuburan ayahnya itu. Maka ia awasi Sin Cie.

"Digunung Hoa San kita!" kata Sin Cie tanpa tunggu ditanya lagi.

Uy Cin heran, tak terkecuali Ceng Ceng sendiri. "Ayahnya itu adalah Kim Coa Long-kun Hee

Locianpwee, itu orang kangouw gagah dan aneh," Sin Cie

terangkan pula.

Usianya Uy Cin tak berjauhan dengan usianya Kim Coa Long-kun, ketika ia mulai dapat perkenan akan berkelana, namanya Kim Coa Long-kun sudah menggetarkan dunia Rimba Persilatan, maka itu, berbareng heran ia pun menjadi kagum, hingga dengan sendirinya, ia tambah menghormati nyonya yang rebah didamping mereka.

"Aku mempunyai satu usul," kata ia kemudian setelah ia berpikir sekian lama. "Aku harap nona tidak buat kecil hati..."

Ceng Ceng lihat Uy Cin sudah berusia lanjut. "Silakan utarakan itu, lopeh," kata dia.

Uy Cin tunjuk Sin Cie.

"Dia ini ada suteeku, dari itu tak dapat aku terima kau panggil lopeh padaku," kata ia. "Kau memanggil toako saja."

Hie Bin segera melirik pada Ceng Ceng.

"Begini gayanya, apa aku bukan mesti panggil koh padamu?" pikir dia.

"Kau toh cuma satu bocah perempuan..."

Ceng Ceng menoleh pada Sin Cie, Baru ia menjawab. "Apa yang toako bilang pasti aku akan dengar," sahut ia, yang lantas ubah panggilannya.

"Ah, benar-benar celaka!" pikir pula Hie Bin, hatinya gentar, ia tergugu. "Dengan tidak malu-malu lagi dia panggil toako pada suhu!"

Si tolol ini sibuk memikirkannya, sudah punya paman cilik, sekarang ia bakal punyai lagi satu bibi demikian muda-belia...

Tentu sekali Uy Cin tidak pernah sangka apa yang dipikirkan muridnya itu yang berdiri dengan melongo.

"Ibumu ingin dikubur bersama ayahmu, pasti mesti kita wujudkan keinginannya itu," berkata pula Uy Cin pada si nona, yang dalam sedetik saja menjadi adik perempuannya. "Tapi pelaksanaannya itu sulit sekali. Jangan kita sebut- sebut dahulu halnya perjalanan dari sini ke Hoa San yang ribuan lie jauhnya, hingga untuk angkut layon saja sudah sukar. Umpamakan saja kita bisa sampaikan gunung Hoa San. Adik tentu tidak ketahui berapa tingginya gunung itu. Dari kaki gunung saja layon tak dapat dibawa naik kepuncak..."

Ceng Ceng mengawasi dengan tercengang. "Begitu?" tanyanya. "Habis bagaimana?"

"Masih ada satu jalan lain," sahut Uy Cin. "Kita sambut tulang-tulang mendiang ayahmu itu, untuk dibawa kemari, untuk dikubur bersama jenazah ibumu. Jalan ini aku rasa ada kurang tepat. Sekarang ini ayahmu sudah berdiam dengan tenang, adalah kurang sempurna untuk ganggu ia dengan kepindahan tempat kuburannya."

Ceng Ceng bingung, hingga ia menangis pula. "Habis?" tanya dia. "Oleh karena semua kesulitan itu," ujar pula Uy Cin, "aku pikir baiklah jenazah ibumu dibakar, lantas tulang dan abunya kita antar ke Hoa San untuk dikubur bersama ayahmu..."

Ceng Ceng tercengang. Kurang setuju ia dengan usul itu. Akan tetapi, apa daya? Maka diakhirnya, selang beberapa saat, ia manggut, tapi air matanya mengucur dengan deras.

Uy Cin lantas ajak Sin Cie dan Hie Bin pergi keluar, untuk kumpuli rumput dan kayu bakar sedapat-dapatnya, untuk mengumpulkan itu, mereka ambil tempo sekian lama, setelah itu, tubuhnya Un Gie dibawa keluar, akan dilain saat, pembakaran telah dimulai.

Sakit hatinya Ceng Ceng, ia mendekam ditanah dan menangis mengulun. Sejak dilahirkan, ia seperti hidup menyendiri disebuah rumah-tangga yang istimewa, kecuali ibunya, tidak ada seorang lain juga yang menyayangi dia, sebaliknya, senantiasa orang tertawakan dia, sindir padanya, atau paling ringan, orang lirik ia secara dingin. Suasana keluarga yang luar biasa itu membuat ia mempunyai tabeat yang luar biasa itu, ia jadi aneh dan bandel. Sekarang, setelah ibunya meninggalkan ia sebatang- kara, ia pun mesti lihat tubuh ibunya diantara api yang berkobar-kobar besar.

Uy Cin semua tahu orang sangat berduka, dan percuma saja untuk hiburkan atau nasihati padanya, dari itu semua berdiam, mengantapkan dia umbar kedukaannya itu.

Banyak waktu dilewatkan untuk tunggu pembakaran mayat selesai. Sin Cie telah cari sebuah guci, maka setelah api padam, ia kumpuli abu dan sisa tulang-tulang, untuk dimasuki kedalam guci itu, buat ditutup rapat. Ia menjura dua kali kepada abu itu dan kata dalam hatinya : "Pehbo, aku harap kau tenangkan hatimu, pasti sekali aku nanti antar pehbo ke Hoa San untuk dikubur bersama dengan baik-baik, tidak nanti aku sia-siakan pesan pehbo. "

Uy Cin lihat segala apa telah selesai, lalu ia kata pada Sin Cie.

"Kita hendak antar emas ini ke Kiu-kang, Kangsee. Selama ini Giam-ong sudah kirim sejumlah saudara ke Kang-sou, Ciatkang, seluruh Kangsee dan An-hui untuk mencari hubungan disana, untuk persiapan mereka diselatan nanti menyambut begitu lekas kita di Tionggoan sudah mulai angkat senjata. Kau berhasil merampas pulang emas ini, sutee, tak kecil jasamu ini."

"Tadinya aku tak tahu bahwa emas ini demikian berharga," kata Ceng Ceng. "Coba tidak jiewie toako datang sendiri, pastilah aku telah membikin gagal usaha besar dari Giam Ong."

"Asal kau ketahui itu, itulah bagus," Hie Bin campur bicara.

Tidak biasanya Ceng Ceng nyerah kalah bicara, ia tahu pemuda itu maksudkan dia, maka wajahnya jadi berubah. Lantas dia kata pula : "Jikalau bukan Uy Toako sendiri yang antar emas ini, aku kuatir ditengah jalan nanti terbit onar pula!"

Inilah sindiran hebat untuk Hie Bin, yang dianggapnya tidak berguna, sudah tidak mampu lindungi emas itu.

Masih Hie Bin hendak melawan bicara akan tetapi Uy Cin deliki ia, untuk cegah ia banyak mulut.

"Jikalau Wan Sutee dan Un Kohnio tidak punya urusan penting, bagaimana andainya kita pergi bersama ke Kiu- kang?" tanya Uy Cin kemudian. "Siautee memikir untuk pergi dulu ke Lamkhia untuk menemui suhu sekalian mohon pengunjukannya," sahut Sin Cie. "Di Lamkhia juga aku hendak menemui Cui Siokhu."

"Suhu bersama saudara Ciu San sudah kembali ke Siamsay," Uy Cin menerangkan. "Sekarang ini suasana sudah genting sekali, mungkin pergerakannya Giam Ong tinggal menunggu waktunya saja."

Hatinya Sin Cie tergerak.

"Dengan begitu telah sampailah saatnya sakit hati ayah dibalaskan!" pikir dia, yang kedua matanya lantas menjadi merah. Segera ia kata : "Jikalau begitu, siautee hendak lantas pergi ke Siamsay untuk menemui suhu, tidak jadi siautee pergi ke Kiu-kang. Bagaimana pikiran toako?"

Sutee ini hargakan toakonya itu maka ia menanya demikian.

"Giam Ong hendak bergerak, dia sedang membutuhkan banyak pembantu," sahut Uy Cin. "Sutee mempunyai kepandaian begini sempurna, dengan sutee pergi ke Siamsay, untuk bantu dia, itulah bagus sekali. Aku percaya, sutee, dibelakang hari kau akan berbuat banyak untuk rakyat."

"Dalam hal itu aku mengharap pimpinan suheng," kata sutee ini, yang halus sekali budi pekertinya.

Uy Cin tertawa menampak sikap yang halus itu.

"Tak dapat aku telad kau," katanya. "Disini saja kita berpisah!"

Suheng ini berbangkit, ia angkat kedua tangannya, lantas ia memutar tubuh, untuk bertindak pergi.

Hie Bin kasi hormat pada paman ciliknya, untuk pamitan. "Engko Sin Cie, rawat dirimu baik-baik," Siau Hui pesan ketika ia pun pamitan dari itu kawan semasa kecil.

Si anak muda manggut.

"Tolong sampaikan hormatku kepada encim," ia pesan. "Tolong sampaikan pada encim bahwa aku senantiasa ingat dia."

"Ibu juga sering sebut kau, engko," bilang si nona. "Apabila ibu tahu kau sudah jadi begini besar, pasti ia akan jadi sangat girang. Nah, aku pergi!"

Nona ini memberi hormat, segera ia susul Uy Cin. Mereka menuju ke selatan. Beberapa kali ini nona masih menoleh, untuk lambai-lambaikan tangannya, sehingga Sin Cie saban-saban membalasnya, sampai tiga orang itu sudah lenyap dari pandangan matanya.

"Hm!" tiba-tiba terdengar suaranya Ceng Ceng. "Kenapa kau tidak susul dia untuk lambaikan tangan pula?"

Sin Cie melengak. Inilah ia tidak sangka. Ia pun tidak tahu hatinya nona ini.

"Kenapa kau tidak turut dia pergi bersama?" Ceng Ceng kata. "Dengan susul dia, bukankah kau tak akan merasa berat sebagai ini. ?"

Baru sekarang Sin Cie insyaf sebab-musabab marahnya nona ini. Ia tidak jadi gusar, sebaliknya, ia tertawa.

"Kau belum tahu," katanya. "Ketika aku masih kecil, aku hadapi ancaman bahaya besar, itu waktu adalah ibunya nona itu yang tolong aku. Sejak masih kecil itu kami biasa bermain berdua saja."

Ceng Ceng jadi semakin mendongkol, ia jumput sepotong batu dan timpuki itu secara sembarangan kepada tangga batu, sehingga muncratlah lelatu api. "Itulah persahabatan rapat sekali!" katanya kemudian, dengan dingin.

Sin Cie tahu adat kukoay si nona, ia antapkan saja. Tapi ini justru membuat nona itu makin panas hatinya.

"Dengan dia kau bicara dengan gembira, sambil tertawa- tawa, tapi melihat aku, kau masgul!" katanya.

"Kapannya aku masgul, tak gembira bicara denganmu?" Sin Cie tanya.

"Ya, itu orang manis-budi, selagi kau kecil, kau sangat disayangi, akan tetapi aku, aku tidak punya ibu. "

Lantas ia menangis.

"Ah, jangan kau turuti saja adatmu," kata Sin Cie dengan masgul. "Sekarang harus kita berdamai, bagaimana kita mesti berbuat selanjutnya."

Mendengar begitu, mukanya Ceng Ceng berubah menjadi merah-dadu.

"Apakah yang hendak didamaikan lagi?" katanya. "Pergi kau susul adikmu Siau Hui itu! Aku ada satu anak sengsara, biarkan aku terumbang-ambing diujung langit dan pojok laut. "

Bingung Sin Cie untuk menjawab. Iapun mesti pikirkan, bagaimana hendak diatur mengenai nona ini. Ia merasa sulit hingga ia diam saja.

Ceng Ceng lihat orang bungkam dan bengong saja, ia jumput guci abu dan tulang ibunya, ia lantas bertindak pergi.

"Kau hendak pergi kemana?" tanya si anak muda.

"Perlu apa kau perdulikan aku?" balik tanya si nona. Ia bertindak terus kearah utara. Dengan terpaksa Sin Cie mengikuti. Nona itu tetap diam saja, Sin Cie coba mengajaknya bicara, dia itu tidak memperdulikannya.

Akhirnya sampailah mereka dikota Kim-hoa.

Setelah ambil pondokan, Ceng Ceng pergi akan beli seperangkat pakaian orang lelaki, berikut sepatu dan ikat kepalanya, untuk ia menyamar sebagai satu pemuda.

Sin Cie tahu, karena berlalunya dengan kesusu, nona itu tidak bekal banyak uang, maka selagi si nona keluar, ia selipkan dua potong emas dalam saku bajunya. Tapi kapan Ceng Ceng kembali dan dapati uang itu, iabawa kekamarnya si anak muda, untuk dikembalikan. Dan malam itu ia keluar seorang diri, untuk "bekerja" dirumahnya satu penduduk hartawan, hingga ia jadi mempunyai lima-ratus tail perak.

Besok paginya, kota jadi gempar karena kecuriannya si hartawan itu.

Posting Komentar