Pedang Pusaka Naga Putih Chapter 10

NIC

Han Liong berlutut memberi hormat ke arah tempat duduk Kam Hong Siansu dengan dilihat oleh kakeknya yang mengangguk-anggukkan kepala memuji kesopanan cucunya. Kemudian mereka keluar gua, melompat ke pohon di depan gua, lalu menggunakan kekuatan mereka melayang ke atas, tiba di tebing jurang dengan selamat. Ternyata keempat suhunya dan ie ienya sudah menanti di situ. Yo Toanio memeluk keponakannya dengan mengeluarkan air mata karena suka cita. Si Kim Pauw tidak lama di situ, setelah minta diri ia lalu terjun ke jurang kembali. Tapi ia tidak lupa untuk memberi nasehat-nasehat terakhir kepada cucunya yang tersayang itu. Han Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh kelima orang tua itu. Ia menceritakan pengalamannya dengan ringkas hingga mereka menjadi girang sekali. Pauw Kim Kong menghela napas.

"Tidak percuma Si Kim Pauw lo Enghiong menjadi menteri setia dan Si-Enghiong menjadi seorang patriot yang mengorbankan nyawanya demi tanah air dan bangsa.

Ternyata keturunan mereka telah menjadi orang pandai dan beruntung. Han Liong, kami hanya mempunyai satu keinginan, yakni melihat kau melanjutkan usaha ayahmu dan berbakti kepada bangsa. Negara sekarang sedang kacau, para durna memegang tampuk kekuasaan. Pembesar-pembesar rakus merajalela di kota, menindas rakyat sesuka hatinya. Di mana-mana berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin. Kasihan rakyat kecil yang tertindas, tiada pembela. Maka sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu mereka yang tertindas yang butuh pertolongan. Kami sudah tua, tenaga kami tak seberapa, usia kami tak lama lagi. Maka, berilah kami kebahagiaan terakhir, yaitu, melihat kau yang menjadi murid kami melakukan tugas mulia mewakili kami."

"Betul kata Pauw suhu, Liong," menyambung Hong In sambil mengelus jenggotnya yang panjang.

"Hanya saja, sebagai tanda peringatan bagi kami, cobalah kau perlihatkan Ilmu Silat Empat Bintang ciptaan Kam Hong Siansu itu, kami ingin sekali melihatnya."

Dengan segera Han Liong menyanggupi, lalu mulai bersilat. Mula-mula gerakannya lambat, indah dan menarik, makin lama makin cepat hingga tubuhnya tak tampak lagi, hanya kelihatan gundukan putih bergerak-gerak ke sana ke mari dengan cepatnya. Tidak sedikitpun debu mengepul dari bawah kakinya, namun kelima orang tua itu merasa betapa angin pukulan yang dingin membuat jubah mereka bergerak-gerak, bagaikan tertiup angin gunung! Empat orang guru itu dengan tegas sekali melihat betapa ilmu-ilmu pukulan mereka digerakkan dalam cio-hwat Han Liong, tapi pecahan-pecahannya demikian ganjil dan cepat hingga mereka merasa betapa sukarnya menandingi seorang yang bersilat dengan cara demikian sulit. Sertamerta mereka bertepuk tangan setelah Han Liong menghentikan gerakannya. Dengan merendah Han Liong berlutut sambil berkata.

"Semua ini berkat didikan suhu sekalian dan ie ie. Teccu tak tahu bagaimana harus membalasnya!"

"Anak baik," kata Yo Toanio,

"Asal engkau menjadi seorang yang kenal pribudi kebaikan dan pembela kebenaran, maka itu sudah merupakan pembalasan budi yang besar terhadap kami." Kemudian Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan memberitahu kepada Han Liong bahwa ia mempunyai dua orang murid bernama Bhok Kian Eng dan Lie Kiam yang kedua-duanya kini berada di kota Tong hai. Lain orang murid Pauw Kim Kong adalah Bie Cauw Giok yang berada di kota Lam chiu. Kedua guru ini berpesan agar Han Liong dalam perjalanannya menemui mereka itu. Lain-laln guru tidak mempunyai murid lain kecuali Han Liong. Setelah menerima nasehat-nasehat penting, Han Liong berangkat merantau, menggendong bungkusan kuning pemberian bibinya yang berisi dua pasang pakaian dan beberapa potong perak dan emas. Keempat suhunya serta bibinya melihat ia pergi dengan hati terharu.

Si Han Liong yang sudah mendapat petunjuk dari bibinya, langsung menuju ke kota Lam-ciu di mana ibunya dan musuh besarnya tinggal! Tapi alangkah kecewa hatinya ketika tiba di kota itu ia mendapat keterangan bahwa Tiat-kak-liong Lie Ban telah beberapa bulan yang lalu pindah ke kota Hong-lung-cian beserta keluarganya. Kota ini jauhnya ratusan li dari Lam-ciu dan jika ditempuh jalan darat berkuda kira-kira sepuluh hari baru sampai. Ada jalan yang lebih dekat, yaitu jalan air sepanjang Sungai Lien-ho dengan naik perahu. Karena memang maksudnya pergi merantau meluaskan pengalaman, maka ketika mendengar bahwa jalan melalui sungai lebih indah pemandangannya, Han Liong mengambil keputusan menyewa perahu. Maka pergilah ia ke perkampungan nelayan yang tinggal di dekat Sungai Lien ho,

Perkampungan itu besar juga, dan penduduknya hidup dari hasil ikan sungai dan ada pula yang khusus berpenghasilan dari menyewakan perahu, baik untuk berpesiar maupun untuk menyeberang sungai yang lebar itu.

"Kalau tuan mau pelesir, sekarang ini musimnya baik sekali, air sungai tenang dan jernih. Jika sedang banjir, ah, jangan harap berpelesir naik perahu," kata seorang nelayan tua sambil menawarkan perahunya.

"Tuan hendak pesiar ke mana?" Han Liong tersenyum.

"Aku tidak hendak pesiar, tapi hendak menyewa perahu untuk membawaku ke kota Hong-lung cian. Berapakah sewanya?"

"Ke kota Hong-lung cian?" Nelayan tua itu geleng-geleng kepala.

"Ah, lebih baik jangan tuan."

"He, apa maksudmu? Kenapa?" tanya Han Liong.

"Dengar tuan muda. Aku adalah nelayan tertua di kampung ini, dan aku memiliki perahu yang terkuat. Naik perahu Lo Sam sama dengan rasa tidur di ranjang, demikian orang-orang kota di sini berkata. Bukan aku hendak menyombong, tapi selama pekerjaanku mengantar orang-orang dengan perahuku dalam tiga puluhan tahun ini, belum pernah aku mengalami kecelakaan, kecuali ketika bajak sungai Hek Sam Ong mencegatku. Ke mana saja tuan akan kuantarkan dengan jaminan keselamatan penuh, tapi ke Hong-lung-cian? Tidak, tuan muda, aku tak berani."

"Mengapa? Ada apakah di Hong-lung cian?" tanya Han Liong.

"Di Hong-lung-cian sendiri tidak ada apa-apa!" jawab kakek itu,

"Tapi perjalanan dari sini ke Hong-lung-cian harus melalui Gunung Hek-houw-san yang penuh dengan rimba raya. Sungai Lien-ho ini di daerah itu memasuki hutan lebat sejauh sepuluh li lebih, dan tempat itulah yang ditakuti oleh para nelayan dan pelancong, karena penuh dengan bajak-bajak sungai. Di mulut hutan depan terjaga oleh bajak laut gerombolan Hek Sam Ong dan di mulut belakang dijaga oleh Oei-Coa Tai-Ong dengan gerombolannya. Kedua bajak ini sudah terkenal kekejaman dan kejahatannya. Andaikata kita bisa melewati Hek Sam Ong dengan selamat, tapi tak mungkin kita bisa keluar dari hutan itu dan melewati Oei-Coa Tai-Ong si Ular Kuning. Sudahlah, tuan muda batalkan sajalah niat tuan muda itu kalau masih ingin hidup." Mendengar keterangan ini, Han Liong menjadi gembira. Tugasku pertama untuk menghalau bahaya rakyat ini, pikirnya.

"Lopek yang baik," katanya tertawa,

"kiranya daerah itu aman, bisakah kau antar aku aku ke Hong-lung-cian?"

"Tentu saja bisa."

"Dan berapa biayanya?"

"Hm, paling sedikit tujuh tail perak." Han Liong merogoh buntalannya dan ia mengeluarkan sepuluh tail perak.

"Nah, ambilah uang ini kalau kau mau membawa aku ke sana. Dan sesampainya di sana nanti aku tambah satu tail lagi." sambung Han Liong.

"Eh, eh, lupakah kau, tuan muda? Tadi sudah kuceritakan bahwa di daerah Hek-houw-san..."

"Aku sudah tahu, lopek. Tapi aku tidak takut, dan aku berjanji bahwa bajak-bajak itupun takkan mungkin berani mengganggumu seujung rambutpun!" Kakek nelayan itu memandangnya dengan tak percaya, maka Han Liong segera menghampiri sebuah batu kali yang besar dan hitam di dekat itu, ia menggunakan sepuluh jari tangannya menyodok batu itu.

"Nah lihatlah, lopek. Bukan aku hendak memamerkan tenaga, tapi apakah kiranya batok kepala kedua raja bajak itu lebih keras dari batu ini?" Lo Sam tak mengerti maksud pemuda itu lalu datang mendekati Han Liong. Ia sangat kagum dan heran sekali melihat batu hitam yang keras itu berlobang-lobang karena tusukan jari anak muda itu! Ia mengangguk-angguk tapi masih agak sangsi.

"Kau rupanya seorang gagah, tuan muda, tapi jangan lupa, kawan-kawan mereka sangat banyak."

"Jangan khawatir, Lopek yang baik." Akhirnya Lo Sam terima juga tawaran Han Liong dan mereka berangkat. Perahu Lo Sam walaupun sudah tua, tapi masih cukup kuat dan atapnyapun baru saja diganti hingga jika turun hujan tidak bocor. Betul sebagaimana kata orang, pemandangan di sepanjang jalan sangat indah, hawapun sejuk sekali hingga Han Liong merasa sangat gembira. Apalagi Lo Sam ternyata pandai bicara dan banyak dongengnya, maka pemuda Itu tidak merasa kesepian. Setelah perahu melaju sepanjang tepi sungai sehari semalam lamanya, pada hari kedua pagi-pagi mereka melihat bahwa, sungai itu berbelok memasuki hutan. Di depan mereka nampak gunung kecil tinggi, penuh pohon-pohon belukar.

"Hati-hatilah, kongcu, bukit itu ialah Hek-houw san..." Belum habis Lo Sam bicara, tiba-tiba terdengar suara bersiutnya sebatang anak panah ke atas kepala mereka!

"Celaka, kongcu!!" Lo Sam mengeluh, tapi Han Liong yang sedang membaca buku yang dibelinya di kota Lam-ciu, hanya tersenyum saja sambil melanjutkan bacaannya dengan suara keras. Perahu terus didayung maju menambah kecepatannya hanyut terbawa air sungai. Kedua kali panah melayang di atas kepala mereka, kini lebih rendah.

"Bagaimana baiknya, kongcu?" Lo Sam mulai gemetar dan ketakutan.

"Kayuhlah perahu ke tengah," berkata Han Liong yang masih tenang. Perahu didayung ke tengah, tapi dari arah gerombolan pohon di tepi sungai melayang tiga batang anak panah menuju ke arah mereka! Han Liong menggunakan bukunya mengebut dan angin kebutannya membuat anak-anak panah itu mencong ke samping dan masuk ke air. Gerakannya ini, demikian sewajarnya, seakan-akan tak disengaja hingga Lo Sam sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itulah yang membuat anak-anak panah itu tidak mengenai sasarannya. Maka ia menjadi gemetar ketakutan hingga kedua tangannya tak kuat mendayung lagi.

"Masuklah saja, lopek, biar aku yang ganti mengemudikan perahu," kata Han Liong. Tawaran ini ditolak keras oleh Lo Sam,

Posting Komentar