"Siancai, siancai Cuwi yang terhormat, hentikan segera serangan itu!" Suara itu sangat berpengaruh dan kelima orang itu segera melompat mundur, sedangkan ular itu berlenggak-lenggok, rupanya sangat kelelahan membela diri, mengelak ke sana ke mari di antara hujan senjata tadi! Suara yang berpengaruh itu disusul dengan munculnya seorang tua berjubah putih dan bertubuh kurus tinggi. Wajahnya kelihatan alim sekali, tapi sepasang matanya yang lembut mengeluarkan cahaya tajam berkilauan. Tampaknya ia berjalan perlahan saja dengan tenangnya, tapi tiba-tiba ia telah berada di depan mereka sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Cuwi yang terhormat maafkan pinto datang mengganggu." Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri tubuh Han Liong yang masih rebah tak bergerak itu, diikuti oleh kelima orang itu dengan was-was dan khawatir. Setelah dekat dengan tubuh Han Liong, ia berjongkok lalu tiba-tiba memberi tanda supaya semua orang mundur. Sepasang matanya dengan tajam memandang ke arah ular hitam tadi. Yo Toanio dan kawan-kawannya menengok dan dengan hati berdebar-debar mereka lihat ular itu bergerak cepat menghampiri tubuh Han Liong.
Tiba-tiba ular hitam itu melihat atau mencium bau darah ular putih yang telah hancur tubuhnya. Ia berdiri di atas ekornya, mendesis-desis mengeluarkan lidah dan ajaib sekali, dari kedua matanya yang merah itu menitik keluar dua butir air mata. Sikapnya jadi makin galak, kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri seakan-akan mencari orangnya yang membunuh ular putih itu. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar mata orang tua yang masih jongkok di dekat tubuh Han Liong, tiba-tiba ia bergerak mundur lalu membalikkan tubuh hendak pergi. Tiba-tiba orang tua itu cepat mengulurkan kedua tangannya dan mengangkat tubuh Han Liong dan dengan sekali lompat ia telah berada di depan ular hitam, mencegat dan jongkok pula sambil memondong tubuh Han Liong. Ular itu segera membalikkan tubuh lagi, tapi orang tua itu segera mengejar dan melompatinya lalu menghadang di depannya.
Setelah hal ini terjadi berkali-kali, ular hitam itu rupa-rupanya menjadi marah dan ia berdiri di atas ekornya sambil menjulurkan lidahnya yang merah. Desisnya keras dan tajam menyakitkan telinga. Kemudian setelah menurunkan kepalanya ke bawah untuk mengumpulkan tenaga, ular itu melompat, meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menuju ke arah leher orang tua itu. Yang diserang tenang saja dan memegang tangan kanan Han Liong dan menggunakan tangan anak muda itu untuk menangkis, dengan gerakan yang sama benar dengan gerakan anak muda itu ketika menangkis serangan ular putih tadi. Yo Toanlo yang dari tadi terheran-heran dan tidak mengerti, kini sangat terkejut melihat betapa ular hitam itu menggigit jari tangan kanan Han Liong dan menempel di situ tidak mau melepaskannya! Yo Toanio tak dapat menahan gelora kemarahan hatinya,
"Siluman tua, apa yang kau lakukan?" Dengan penuh kebencian ia memungut pedang yang diletakkan di atas tanah lalu melemparkan pedang itu dengan sekuat tenaganya.
Ketika itu orang tua yang aneh itu tengah menggunakan tangan kirinya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan tangan kanannnya memegang leher ular hitam. Agaknya ia sama sekali tidak ambil perduli akan datangnya pedang yang melayang ke arah dadanya! Yo Toanio dengan jelas sekali melihat betapa pedang itu tepat menancap di dada orang tua itu, tapi ajaib, orang tua itu seolah-olah tidak merasa apa-apa, dan melanjutkan pekerjaannya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan mencekik-leher ular! Sejenak kemudian ia berdiri dan ular hitam itu malah dipegangnya, karena itu dengan mudah saja ia mencabut gigitan ular ular itu dari jari Han Liong. Baru sekarang ia memandang mereka berlima itu dengan sebuah senyum manis tersungging di bibirnya.
"Siancai, siancai! Berkat kemurahan Thian Yang Agung, cucuku Han Liong tertolong jiwanya." Kemudian ia memandang ular hitam yang di tangannya.
"Maafkan pinto, Kim-Ouw-Coa (ular emas hitam), terpaksa pinto melakukan dosa besar. Engkau telah menolong jiwa orang, tapi kau sendiri harus dibalas dengan kematian." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Alangkah kejamnya, tapi apa boleh buat, jiwa cucuku lebih penting dari pada jiwamu. Nah, mengalahlah kali ini, Ouw-Coa biarlah di lain penjelmaan pinto balas budimu dan menebus dosa!"
Kemudian dengan perlahan ia mencabut pedang yang masih menancap di dadanya dan sekali pancung saja maka putuslah leher ular hitam itu! Yo Toanio dengan kawan-kawannya terheran-heran melihat kelakuan orang tua itu, lebih-lebih ketika mereka melihat bahwa bekas tusukan pedang di dadanya ternyata tidak mengeluarkan darah, seolah-olah dadanya itu belum tertusuk pedang. Mereka memandang ke arah tubuh Han Liong, dan alangkah girang hati mereka melihat Han Liong bergerak-gerak perlahan-lahan, lalu bangun dan menggosok-gosok matanya seakan-akan baru bangun tidur! Segera mereka berebut menghampiri Han Liong dan serentak bagaikan mendapat komando, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu.
"Ah, cuwi, jangan lakukan peradatan tak berarti ini. Silahkan bangun, pinto tak layak menerima kehormatan ini." Kata-kata ini diucapkan dengan suara demikian halus dan sopan oleh orang tua itu, hingga mereka segera berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat!
"Maafkan kami yang buta tak mengenal orang pandai," kata Pauw Kim Kong mewakili kawan-kawannya bicara,
"Dan maafkanlah perbuatan Yo Toanio tadi yang dilakukan terdorong karena kebingungan hatinya melihat keadaan keponakannya. Mohon tanya siapakah toheng yang mulia?"
"Ah, pinto sendiri sudah hampir lupa akan nama pinto. Dan lagi, apakah artinya nama? Diberi tahu juga, cuwi takkan mengenalnya. Rasanya sudah cukup bila pinto katakan bahwa pinto adalah orang yang mengasingkan diri dan menerima berkah dari Kam Hong Siansu. Kedatangan pinto inipun bukannya bermaksud untuk mencampuri urusan cuwi. Tapi tak lain karena menerima perintah dari Siansu untuk membawa cucuku ini. Ketahuilah cuwi, bahwa Han Liong berjodoh untuk berjumpa dengian Kam Hong Siansu. Adapun kedua ular ini, bukannya kebetulan saja mereka datang menggigit Han Liong. Agaknya sudah kehendak Thian bahwa anak ini menerima karunia yang luar biasa. Ketahuilah, racun ular putih yang penuh dengan hawa Yang dapat mematikan seratus orang dengan bisanya. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat menyembuhkan pengaruh bisanya yang hebat itu. Sebaliknya, ular hitam inipun penuh dengan racun yang mengandung sari hawa Im, maka apabila ia menggigit orang yang menjadi korban gigitan ular putih, racunnya menjadi saling tolak dan saling memunahkan, bahkan kedua racun yang mengandung hawa Yang dan Im itu kalau bercampur di dalam tubuh menjadi obat yang mempunyai daya luar biasa, memperkuat tubuh dan memperbesar daya tan tian. Dapat cuwi bayangkan betapa beruntungnya Han Liong karena tergigit oleh kedua ular ini." Tak perlu dikatakan betapa senangnya hati keempat guru itu dan Yo Toanio mendengar keterangan ini, dan pula saat itu Han Liong sudah sadar benar. Segera Yo Toanio memerintahkan keponakannya untuk mengucapkan terima kasih. Han Liong segera berlutut.
"Nah, cuwi, kini perkenankanlah pinto membawa Han Liong kepada Siansu. Bangkai kedua ular ini pinto bawa karena merupakan obat untuk anak ini. Musim Chun tahun depan cuwi boleh menanti di sini untuk menyambut Han Liong kembali." Dengan tenang ia pungut dua bangkai ular itu dan memegang lengan Han Liong. Yo Toanio penasaran.
"Maaf, suhu. Bukannya saya tidak percaya padamu, tapi Han Liong adalah keponakanku yang kudidik semenjak kecil. Maka perkenankanlah saya mengetahui nama suhu dan ke mana suhu akan membawa Han Liong agar hatiku menjadi tenteram."
"Ha, ha! Memang wanita selalu ingin tahu segala hal! Nah. ketahuilah, aku adalah ayah iparmu Si Cin Hai, jadi Han Liong ini adalah cucuku sendiri. Kemana aku hendak bawa anak ini, tak seorangpun boleh tahu, pendeknya, ke tempat Kam Hong Siansu. Nah, selamat tinggal!" Sebelum mereka dapat berkata sesuatu, orang tua itu segera menarik lengan Han Liong dan membawa pemuda itu lompat ke jurang di mana batu-batu besar tadi berjatuhan! Yo Toanio hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pauw Kim Kong.
"Jangan, toanio. Kulihat ia bukan orang sembarangan. Dan lagi, bukankah ayah Si Enghiong itu Menteri Si Kim Pauw yang dulu dikabarkan lenyap setelah bertapa di gunung ini?" Yo Toanio mulai sadar,
"Si Kim Pauw! Betul, betul dia. Biarpun aku belum pernah bertemu denganya, tapi wajahnya serupa benar dengan Si Enghiong. Ya Tuhan, syukur kalau begitu. Han Liong berada di tangan kakeknya sendiri dan pasti sekali Kam Hong Siansu adalah seorang luar biasa dan pandai!" Semua menyatakan kegirangan mereka karena kenyataan itu dan Hee Ban Kiat berkata.
"Kalau bukan Yo Toanio sudah yakin bahwa orang itu adalah kakek Han Liong sendiri, aku masih saja merasa khawatir, karena orang tua itu seperti bukan manusia. Kusangka tadi ia siluman gunung ini."
"Jangan gegabah, Hee Koanjin," tegur Hong In.
"Orang tua itu sudah tinggi sekali ilmu batinnya. Tidakkah kau lihat betapa tadi ia menerima tusukan pedang yang dilemparkan Yo Toanio? Ia dapat mematikan rasa, dan ilmunya yang sempurna telah dapat menahan jalan darahnya hingga tusukan pedang itu sama sekali tidak dirasanya dan tidak dapat melukainya. Bagi kita yang masih suka berada di tengah-tengah kekotoran dunia ini, jangan harap akan mencapai tingkat setinggi itu."
Kemudian mereka bermufakat untuk berkumpul kembali pada musim Chun tahun depan seperti yang telah dijanjikan oleh Si Kim Pauw itu. Setelah itu, mereka berpisah dan kembali ke tempat masing-masing. Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Si Han Liong yang dibawa oleh kakeknya. Ketika ia dibawa oleh kakeknya melompat ke dalam jurang, diam-diam hatinya cemas karena kakinya menginjak tempat kosong dan mereka berdua meluncur ke bawah dengan amat cepatnya! Ketika memandang ke bawah, terpaksa Han Liong menutup matanya, karena jurang itu seakan-akan tak berdasar karena dalamnya! Tiba-tiba kakeknya memperkuat pegangannya pada pergelangan lengannya dan berbisik,