Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 82

NIC

"Aku Kik Fi-yan, jika mengetahui berada dimana jenazah Sau Peng-lam, biarlah besok juga aku mati ditangan Ciamtay Cu-ih, badanku akan di-cincang olehnya.

" Cepat Gi-lim mendekap mulut anak dara itu dan menyela: "Sudahlah, aku percaya, tidak perlu kau bersumpah.

Marilah kita pergi menanyai orang itu, siapakah dia?" "Orang itu jelas orang baik, mau menolongnya atau tidak terserah padamu," ujar Fifi.

"Tempat yang harus kita datangi juga bukan tempat yang baik." Karena tekadnya irngin menemukan jenazah Sau Penglam, biarpun hutan golok atau gunung juga akan diterjangnya, peduli tempatnya baik atau tidak.

Maka Gilim lantas menjawab tegas: " Marilah kita pergi ke sana." Sampai diluar pintu gerbang, hujan ternyata masih turun dengan lebatnya, di samping pintu sana berserakan puluhan pajung kertas minyak, segera Fifi dan Gi-lim masing2 mengambil sebatang payung terus menuju ke arah timur laut.

Waktu itu sudah jauh malam, orang dijalanan sudah jarang2, di mana mereka lalu seringkali menimbulkan gonggong anjing.

Gi-lim terus ikut Fifi ke depan.

jalan yang dilalui kebanyakan adalah gang2 yang sempit, tapi yang dpikir Gilim hanya jenazah Sau Peng-lam, maka tak dipedulikannya kemana dirinya akan dibawa dara itu.

Akhirnya Fifi membawa Gi-lim menyelinap kesebuah lorong sempit dan berhenti di depan rumah pada ujung gang itu, tertampak sebuah lampu merah kecil tergantung di atas pintu.

Fifi mengetuk pintu tiga kali, segera ada orang buka pintu dan melongok keluar.

Fifi ber-bisik2 ditelinga orang itu serta menjejalkan sesuatu pada tangannya.

Lalu terdengar orang itu berkata: "Ya, ya, baik, silakan Siocia masuk." Fifi menoleh dan memberi tanda kepada Gi-lim agar ikut masuk, waktu lalu disamping orang membukakan pintu itu, tertampak orang ini dandan dengan rapi, berbaju bersih, rambut tersisir kelimias melihat Gi-lim yang ternyata seorang nikoh jelita, kelihatan orang itu mengunjuk rasa heran dan bingung.

Cepat juga orang itu berlari ke depan untuk menunjukkan jalan.

Setelah menyusuri sebuah serambi, sampailah mereka di suatu kamar samping, ia menyingkap tirai dan berkata: "Siocia, Suhu, silakan duduk di dalam." Begitu tirai tersingkap, kontan terendus bau harum bedak dan yanci.

Setelah masuk, Gi-lim melihat di ruangan ini ada sebuah tempat tidur besar, selimut bantal semuanya serba bersulam indah.

Pada selimut itu tersulam sepasang Yan-yang, yaitu sejenis burung merpati yang sedang bermain air dengan warna yang menarik dan hidup.

Sejak kecil Gi-lim sudah menjadi Nikoh di Pek-hun-am, selimut yang dipakainya sehari2 adalah selimut kain hijau polos, selama hidupnya tidak pernah melihat bantal selimut semewah ini ia hanya memandang sekejap saja lalu melengos.

Dilihatnya pula di atas meja menyala sebatang lilin merah, disamping lilin ada sebuah cermin dan sebuah kotak alat2 rias.

di depan tempat tidur, dilantai, ada dua pasang kasut kain bersulam, sepasang kasut lelaki dan sepasang kasut perempuan, tertaruh berjejer.

Jantung Gi-lim berdetak keras, waktu menengadah, tertampaklah seraut wajah cantik bersemu merah jelas itulah wajah sendiri yang tercermin dikaca rias.

Tiba2 tirai pintu tersingkap dan masuklah seorang babu membawakan teh wangi.

Pakaian babu ini ringkas dan cekak, potongannya genit.

jalannya berlenggak-lenggok Melihat keadaan demikian, makin takutlah hati Gi-lim, dengan suara tertahan ia tanya Fifi: "Sesungguhnya tempat apakah ini?" Fifi tidak lantas menjawab, ia mendekati babu genit tadi dan ber-bisik2 padanya, babu itu mengiakan dengan tertawa, lalu melangkah pergi dengan berlenggok.

Diam2 Gi-lim membatin: "Melihat lagak lagunya, perempuan ini pasti bukan orang baik2." Selagi hendak tanya Fifi, tiba2 terdengar suara orang mengakak-tawa diluar pintu.

suara tertawa seorang lelaki, rasanya sudah sangat dikenalnya.

Dengan terkejut Gi-lim berbangkit dan hendak melolos pedang, tapi tangannya meraba tempat kosong, entah sejak kapan pedangnya telah hilang, Di tengah gelak tertawa orang itu lantas menyingkap tirai dan melangkah masuk.

Tapi begitu melihat Gi-lim.

seketika orang itu berhenti tertawa, air mukanya berubah merah, menyengir dan serba salah.

Hati Gi-lim berdebur keras.

Kiranya orang yang masuk ini tak-lain-tak-bukan ialah Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan.

Keruan Gi-lim mengeluh dalam hati: "Wah, celaka! Aku telah terjebak oleh setan cilik Kik Fi-yan ini.

Pantas dia bilang orang itu sangat merindukan diriku, kiranya yang dimaksud ialah...." Thio Yan-coan juga melenggong, tapi segera membalik tubuh dan melangkah keluar.

"Hei.

tunggu dulu! Kenapa begitu melihat diriku lantas mau kabur"!" seru Fifi.

Setiba diluar pintu barulah Thio Yan-coan menjawab: "Aku .

aku tidak dapat menemui .

menemui Siau-suhu ini." Fifi tertawa terkikik, katanya: "Thio Yan-coan.

kau ini memang manusia yang tidak dapat dipercaya dan tidak pegang janji.

Kau pernah bertaruh dengan Sau Peng-lam dan kau kalah, kan harus kau angkat Siau-suhu ini sebagai guru.

Sekarang setelah bertemu dengan sang guru, kenapa kau tidak memanggil Suhu dan juga tidak menyembah.

Memangnya kau tahu aturan dan sopan santun atau tidak?" "Ai.

omongan ini jangan di-singgung2 lagi," ujar Yan-coan.

"Aku telah tertipu oleh Sau Peng-lam.

mengapa kau datang ketempat begini" Hayolah cepat pergi, lekas.

anak perempuan masa berkeliaran ditempat pelacuran?" Mendengar kata2 "Tempat pelacuran" seketika jantung Gi-lim berdetak pula dan hampir saja jatuh semaput.

Waktu melihat lampu merah di depan pintu, melihat keadaan di dalam rumah ini, lamat2 ia memang sudah merasakan gelagat tidak enak, tapi sama sekali tak disangkanya bahwa Fifi bisa membawanya ke tempat pelacuran.

Meski dia tidak terlalu jelas "rumah pelacuran" itu sebenarnya tempat yang bagaimana, tapi dia pernah mendengar cerita orang bahwa pelacur adalah perempuan yang paling hina dan menjijikkan di dunia ini.

Setiap lelaki asalkan berduit.

tentu bisa memanggil pelacur.

Sekarang dirinya dibawa Kik Fi-yan ke tempat beginian memangnya dirinya hendak disuruh melacurkan diri" Berpikir demikian, hampir saja Gi-lim menangis, Untung begitu melihat dirinya segera Thio Yan-coan angkat kaki dan tidak berani memaksakan sesuatu padanya, tampaknya keadaan tidak begitu gawat.

Didengarnya Kik Fi-yan sedang berkata dengan tertawa.

"Lelaki kan manusia, perempuan juga manusia, kalau lelaki boleh ke rumah Pelacuran ini, kenapa kami tidak boleh?" Thio Yan-coan jadi kelabakan sendiri di luar pintu, katanya sambil menggeleng: "Fi-yan.

jika kakekmu mengetahui kau berada di sini, tentu aku akan dibunuhnya Ai, Fifi yang baik, Fifi sayang, kumohon dengan sangat, janganlah kau bercanda padaku secara begini.

Lekaslah pergi bersama Siau-suhu ini.

asalkan segera kau pergi, apa yang kau-minta padaku pasti kuturut!" "Aku justeru tidak mau pergi," jawab Fifi dengan tertawa "Di kota Cu-joan ini hanya tempat inilah yang paling cocok, maka malam ini aku dan Gi-lim Cici akan tidur di sini." "Ai, Fifi, sesungguhnya kau mau pergi atau tidak?" Thio Yan-coan memohon pula.

"Tidak, aku justeru tidak mau pergi, habis kau mau apa" Seorang lelaki sejati, sekali bicara tidak nanti dijilat kembali.

Sekali tidak pergi tetap tidak pergi." "Ai, Fifi, kau kan bukan lelaki sejati," ujar Thio Yan-coan.

"Fifi sayang, lekas pergilah kau.

Biarlah besok akan kubawakan beberapa macam barang mainan yang menarik bagimu." "Cis, untuk apa barang mainan?" omel Fifi "Akan kukatakan kepada Yaya (kakek) bahwa Thio Yan-coan yang membawaku ke sini." Karuan Thio Yan-coan melonjak kaget, cepat ia berseru; "Wah,Fifi manis, kenapa kau omong begini" Aku kan tidak bersalah apa2 kepadamu, dustamu ini bisa mendatangkan kematian bagiku.

Kau punya Liangiim (hati nurani) atau tidak?" "Aneh, kau berani tanya padaku punya Liang-sim atau tidak" Padahal kau sendiri bagaimana, kau-punya Liangsim tidak" Berhadapan dengan guru sendiri, tidak menyapa dan tidak menyembah, tapi putar tubuh dan hendak angkat kaki" Inikah Liang-sim yang kau katakan?" "Baik, baiklah, anggap aku bersalah.

Ai, Fifi sayang, sesungguhuya apa kehendakmu?" "Tujuanku adalah demi kebaikanmu agar kau menjadi lelaki sejati, apa yang sudah kau katakan supaya kau tepati.

Nah.

lekas menggelinding masuk kemari dan menyembah kepada gurumu!" Thio Yan-coan menjadi ragu2: "Ini ....ini.

" Untung baginya, Gi-lim lantas berkata: "Tidak, aku tidak mau disembah oleh dia, akupun tidak mau melihat dia, dia ...

dia bukan muridku." "Nah, kau dengar sendiri, Fifi," cepat Thio Yan-coan menukas.

"Dia tidak menghendaki murid seperti diriku, maka tidak perlu lagi aku menyembah padanya." "Baik, kuampuni kau," kata Fifi dengan tertawa.

"Sekarang dengarkan, tadi waktu kudatang kemari, ada dua cecunguk secara diam2 mengikuti kami, lekas kau pergi membereskan mereka.

Aku dan gurumu akan tidur disini, kau harus berjaga di luar, siapapun dilarang mengganggu kami dan besok aku tidak jadi melapor kepada Yaya." Tampaknya Thio Yan-coan sangat takut kepada Yaya atau kakek anak dara itu, terpaksa ia menjawab: "Baiklah, cuma kau harus pegang janji, jangan lagi berdusta dan membikm celaka diriku." "Aku kan bukan lelaki sejati, apa yang sudah kukatakan boleh kutepati dan juga boleh kutarik kembali," kata Fifi dengan tertawa.

Mendadak Thio Yau-coan membentak keras: "Bangsat.

berani amat kalian!" Menyusul terdengarlah suara gemerantang diatas rumah, dua macam senjata jatuh di atas genting, menyusul seorang menjerit ngeri, lalu terdengar pula suara orang berlari pergi secepat terbang.

"Sudah terbunuh satu, bangsat dari Hong-hoa-wan.

seorang lagi kabur," kata Thio Yan-coan.

"Sungguh tidak becus, kenapa sampai bisa kabur?" omel Fifi.

"Orang itu tak boleh kubunuh, dia.

dia Nikoh dari Siong-san-pay." jawab Thio Yan-coan.

"O, kiranya paman gurumu, dengan sendirinya tidak boleh kau bunuh," goda Fifi dengan tertawa.

Sebaliknya Gi-lim menjadi terkejut, tanyanya dengan suara tertahan: "Jadi Suciku", Wah, bagaimana baiknya ini?" "Sekarang juga kita menjenguk orang yang terluka itu," kata Fifi, "Jika kau kuatir dimarahi gurumu, sebentar lagi boleh kita pulang kesana." Diam-diam Gi-lim membatin: "Sudah telanjur datang, biarlah kulihat orang itu, entah siapa dia?" Fifi tertawa dan mendekati tempat tidur besar itu, dia mendorong dinding, segera sebuah sayap pintu terbuka pelahan.

Kiranya pada dinding itu ada pintu rahasianya.

Setelah menggapai Gi-lim, Fifi lantas mendahului masuk kesana.

Gi-lim merasa rumah pelacuran ini penuh misterius, terpaksa ia tabahkan hati dan ikut musuk.

Di balik pintu adalah sebuah kamar pula.

Posting Komentar