Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 81

NIC

Serentak belasan orang berteriak memuji.

Akan tetapi air muka tokoh2 besar seperti Ting-yat, Ciamtay Cu-ih, Thian-bun Tojin, Wi Kay-hou, Bun-siansing.

Ho Sam-jit seketika berubah hebat.

"Hehe, bagus sekali jurus 'Pek-niau-tiau-bong' yang kau perlihatkan ini, Nona cilik!" seru Ciam-tay Cu-ih.

Seketika pandangan semua orang sama terpusat kearah anak perempuan itu dan ingin tahu bagaimana jawabnya.

Sebab setiap tokoh besar itu tahu jurus "Pek-niau-thiau-hong" atau beratus burung menghadap Hong (rajanya burung), adalah Kungfu khas Ma-kau atau agama Ma, sekte agama yang didirikan Mani pada abad ketiga di Persia (agama ini masuk kedaratan Tiongkok pada jaman pertengahan dinasti Tong, sekitar tahun 750).

Menurut kabar, ilmu selentikan jari Pek-niau-tiau-hong, itu sekaligus mampu melukai belasan orang.

serangan ganas dan sukar dihindar, Dengan sendirinya anak perempuan sekecil ini belum sempurna latihan Kungfunya, jika cukup waktu latihannya, yang diselentik juga bukan kertas melainkan Am-gi sebangsa pasir berbisa, dalam jarak sekitar beberapa meter beratus ribu biji pasir kecil berhamburan, sekaligus betapapun lihaynya seorang juga sukar meloloskan diri.

Bila membicarakan Ma-kau, orang2 dari perguruan ternama sama merasa pusing kepala terhadap Kungfu yang sukar dilawan itu, karena itu pula kebanyakan orangpun merasa benci terhadap kekejian orang Ma-kau.

Siapa sangka seorang anak perempuan cantik jelita begini juga mahir ilmu yang keji dan juga lihay ini.

Di luar dugaan, anak perempuan itu lantas tertawa dan menjawab: "Siapa bilang jurus ini Pek-niau-tiau-hong" Kata ibuku, Kungfu ini bernama It-ci-sian.

Cuma sayang belum sempurna latihanku, jika kulatih 20 tahun lagi mungkin cukuplah.

Cuma 20 tahun rasanya terlalu lama, tatkala mana mungkin rambutku sudah ubanan dan ompong, apa gunanya lagi It-ci-sian yang hebat ini?" Thian-bun Tojin dan Ting-yat saling pandang sekejap, keduanya sama mengunjuk rasa heran dan kejut.

"Kau bilang ilmu sakti ini It-ci-sian?" Ting-yat menegas.

"Jika demikian, apakah ibumu bertempat tinggal di Ci-tiok-to (pulau bambu ungu) di laut timur sana?" Anak perempuan itu tertawa, jawabnya: "Betul atau tidak boleh kau menerkanya sendiri.

Yang pasti ibu telah memberi pesan agar asal-usul kami tidak boleh dikatakan kepada orang luar." Thian-bun Tojin dan lain2 sudah lama mendengar kungfu istimewa Ma-kau yang disebut Pek-niau-tiau-hong ini, tapi sampai dimana lihaynya belum pernah melihatnya, apalagi Kungfu anak perempuan ini belum terlatih sempurna, jadi tulen atau palsunya juga sukar dibedakan.

Padahal ilmu sakti "It-ci-sian" atau tenaga sakti satu jari, konon adalah Kungfu khas Keng-goat Sin-ni, seorang Nikoh sakti yang bermukim di Ci-tiok-to dan selama ini kabarnya tidak pernah di ajarkan kepada orang luar.

Jika anak perempuan ini mahir It-ci-sian, maka pasti ada hubungan erat dengan Nikon sakti itu.

Keng-goat Sin-ni adalah tokoh dongeng di didunia persilatan, siapapun merasa tidak dapat menandinginya, walaupun pengakuan anak perempuan ini entah betul atau tidak, tapi akan lebih baik percaya daripada tidak, untuk apa tanpa sebab memusuhi tokoh sakti yang sukar dijajaki itu.

Begitulah seketika Thian-bun Tojin dan lain2 sama bersuara kaget.

air muka mereka dari rasa benci berubah menjadi menghormat.

Air muka Ciamtay Cu-ih juga berubah pucat setelah mendengar nama "It-ci-cian", seketika ia menjadi bimbang dan entah apa yang harus dilakukannya terhadap anak dara itu.

Ting-yat Suthay memang suka kepada anak perempuan yang cantik, apalagi anak dara ini mengaku ada hubungan erat dengan Ci-tiok-to di lautan timur, sesama penganut ajaran Buddha", betapapun anak dara ini harus dibela dan tidak boleh dianiaya Ciamtay Cu-ih.

Tapi, mengingat Ciamtay Cu-ih juga seorang pemimpin besar suatu perguruan terkenal juga sukar dilawan, jika harus bertengkar dengan dia, rasanya juga tidak berpaedah.

Maka ia lantas berkata kepada Gi-lim: "Orang tua adik cilik ini entah kemana, Gi-lim., boleh kau bawa dia pergi mencarinya agar di tengah jalan tidak diganggu orang." Gi-lim mengiakan, ia mendekati anak perempuan itu dan menarik tangannya.

Anak dara itu tertawa kepada Gi-lim dan ikut keluar.

Ciamtay Cu-ih merasa tiada gunanya menghalangi, dia cuma mendengus saja dan tidak menghiraukannya.

Setiba diluar ruangan besar, Gi-lim bertanya kepada anak perempuan itu: "Adik cilik, siapakah she dan namamu?" "Aku she Sau dan bernama Peng-lam," jawab anak dara itu dengan mengikik tawa.

Hati Gi-lim berdebur keras, segera ia menarik muka dan berkata: "Kutanya dengan sungguh2, mengapa kau bergurau denganku?" "Masa aku bergurau padamu?" jawab anak dara itu dengan tertawa.

'Memangnya cuma kawanmu saja boleh bernama Sau Peng-lam dan aku tidak boleh?" Gi-lim menghela napas, hatinya menjadi pedih, hampir saja air matanya menetes pula, katanya: "Sau-toako ini telah menyelamatkan jiwaku, aku utang budi padanya, tapi dia mati bagiku, sebaliknya aku tidak.

tidak bisa membalas apa-apa padanya." Selagi mereka bicara, terlihat dua orang bungkuk, yang satu tinggi dan yang lain pendek, keduanya berlalu di serambi sana.

Jelas itulah Say-pak-beng-to Soat Ko -ong dan Soat Peng-say.

Anak perempuan itu tertawa dan berkata pula: "Di dunia ini mana ada kejadian secara kebetulan begini, ada seorang bungkuk tua bermuka buruk begini didampingi lagi seorang bungkuk muda dengan muka sama jeleknya." Gi-lim kurang senang karena anak dara itu suka mencemooh orang lain, katanya: "Adik cilik, maukah kau mencari sendiri ayah-ibumu" Kepalaku sakit, badanku kurang sehat." "Ah, kepala sakit dan kurang sehat apa segala, pura2 belaka?" tiba2 anak dara itu ber-olok2.

Kutahu, lantaran mendengar nama Sau Peng-lam, maka hatimu lantas kesal.

Padabal gurumu mengutus kau mengawasi diriku, masa aku akan kau tinggalkan" jika aku diganggu orang nanti, tenta kau akan dimarahi gurumu." Kungfumu lebih tinggi dari padaku, kaupun cerdik.

sampai2 tokoh termashur seperti Hong-hoa-wancu itupun terjungkal ditanganmu," kata Gi-lim.

"Jika kau tidak mengganggu orang bolehlah orang merasa bersyukur, mana ada orang lain yang berani menggangu kau lagi?" Nona clik itu tertawa, katanya sambil menarik tangan Gi-lim: "Cici yang baik, janganlah kau ber-olok2.

Padahal tadi kalau tidak dilindungi gurumu, tentu aku sudah kena dihajar oleh kakek cebol itu.

Cici yang baik, yang benar aku she Kik namaku Fi-yan, kakek dan ayah bundaku sama memanggil diriku Fifi, maka kaupun boleh panggil Fifi padaku.' Karena anak dara itu mau memberitahukan namanya.

rasa kurang senang Gi-lim tadi lantas lenyap.

Cuma ia masih heran darimana anak dara ini mengetahui dirinya sedang menguatirkan Sau Peng-lam sehingga sengaja menggunakan nama Sau-toako untuk menggodanya" Ia pikir besar kemungkinan ketika dirinya melaporkan Pengalamannya kepada sang guru tadi, semua itu telah didengar oleh nona cilik yang binal ini.

Maka ia lantas berkata: "Baik, Fifi, marilah kita mencari ayah-ibumu.

Menurut kau, kira2 kemanakah mereka?" Sudah tentu kutahu mereka pergi kemana," jawab Kik Fi-yan alias Fifi.

"Jika kau ingin mencari mereka, silakan kau pergi mencarinya, aku sendiri tidak mau pergi." Gi-lim menjadi heran, tanyanya: "Aneh.

mengapa kau sendiri malah tidak mau mencari mereka?" "Usiaku masih semuda ini, aku tidak rela menyusul ayah-ibuku," kata Fifi "Berbeda dengan kau, kulihat hatimu sangat berduka, mungkin kau ingin pergi kesana selekasnya." Hati Gi-lim menjadi pilu sebab ia tahu arti ucapan anak dara itu, katanya dengan tersendat: "O, jadi .

jadi ayah ibumu sudah.

" "Ya, ayah dan ibu sudah lama meninggal, jika kau mau mencari mereka boleh silakan menuju ke akhirat," kata Fifi.

Kembali Gi-lim merasa kurang senang, katanya: "Jika ayah-bundamu sudah meninggal, mana boleh kau gunakan hal ini untuk bercanda denganku.

Baiklah, jika demikian adanya, biarlah kupulang kesana." Tapi sekali meraih Kik Fi-yan telah mencengkeram pergelangan tangan Gi-lim, katanya dengan setengah memohon: "O, Cici yang baik, aku sebatangkara, tidak mempunyai teman bermain, sudilah engkau mengawani aku sebentar." Karena urat nadi pergelangan tangan terpegang, seketika Gi-lim merasa sebagian badannya kesemutan dan tak bertenaga, diam2 ia terkejut dan merasakan kepandaian nouna cilik ini memang berada di atasnya.

Karena permintaannya yang kelihatan memelas, ia lantas menjawab: "Baiklah, akan kutemani kau sebentar, tapi jangan kau bicara hal2 yang iseng lagi." "Ada kata2 yang kau kira iseng, bagiku justeru tidak iseng, ini kan bergantung kepada pikiran masing2" ujar Fifi.

"Eh, Gi-lim Cici, kan lebih baik kau tidak menjadi Nikoh?" Gi-lim melengak oleh ucapan anak dara itu, ia surut mundur satu langkah, Fifi lantas lepaskan pegangannya dan berkata pula: "Memang apa paedahnya menjadi nikoh" Tidak boleh ikan, tidak boleh makan udang, daging juga dilarang.

Padahal, Cici, engkau sedemikian cantiknya karena kepalamu dicukur kelimis, kecantikanmu menjadi banyak berkurang.

Apabila engkau piara rambut lagi, wah, pasti sangat mempesona." Karena ucapan yang ke-kanak2an ini, Gi-lim tertawa dan menjawab: "Kami sudah masuk perguruan yang kosong, bagi kami segala apa di dunia serba kosong, peduli lagi cantik buruk apa segala." Fifi memiringkan mukanya ke samping dan memandang Gi-lim dengan cermat, waktu itu hujan sudah reda, awan buyar, cahaya bulan yang remang2 menyinari wajah Gi-lim yang cantik itu sehingga tambah mengiurkan.

"Ai, pantas orang begitu merindukan dirimu," ucap Fifi kemudian dengan menghela napas.

Muka Gi-lim menjadi merah, tanyanya: "Apa katamu, Fifi" Jangan kau ber-olok2 lagi, akan kutinggal pergi." "Baiklah, aku tidak omong lagi," ucap Fifi dengan tertawa.

"Eh, Cici, sudilah engkau memberikan sedikit Thian-hiang-toan-siok-ciau, perlu kutolong seorang yang terluka parah." "Siapa yang akan kau tolong?" tanya Gi-lim.

"Orang ini sangat penting, sementara ini tak dapat kukatakan padamu." jawab Fifi.

"Permintaanmu mestinya dapat kupenuhi, tapi Suhu telah memberi pesan agar obat luka ini tidak sembarang diberikan kepada orang, sebab kalau orang jahat yarg terluka, betapapun obat ini tidak boleh diberikan padanya." "Cici, apabila ada orang memaki gurumu dengan kata2 kotor tanpa alasan, orang ini tergolong baik atau jahat?" "Dia memaki guruku, dengan sendirinya orang jahat, masa dapat dikatakan baik?" "Anehlah.

kalau begitu," ujar Fifi dengan tertawa.

"Padahal ada seorang yang selalu mencaci-maki kaum Nikoh, katanya bila melihat Nikoh pasti kalah judi.

Gurumu dimaki, kaupun dicaci.

tapi kau justeru menuangkan hampir seluruh obatmu kepada lukanya.

.." Tanpa menunggu habisnya ucapan Fifi dengan air muka berubah segera Gi-lim membalik tubuh dan tinggal pergi.

Tapi sekali berkelebat Fifi telah mengadang didepan Gilim sambil merentangkan kedua tangannya dengan tertawa.

Mendadak pikiran Gi-lim tergerak: "Ah.

kalau tidak salah di Cui-sian-lau kemarin anak dara ini juga berduduk bersama seorang tua dimeja sebelah, waktu Sau-toako tewas dan kupondong jenazahnya, agaknya anak dara inipun masih di restoran itu.

Dengan sendirinya semua kejadian waktu itu disaksikannya.

Apakah ....

apakah sejak itu dia selalu menguntit di belakangku?" Gi-lim berniat tanya sesuatu, tapi mukanya menjadi merah dan sukar diutarakan.

"Cici, kutahu kau ingin tanya padaku.

Kemana perginya jenazah Sau-toako" begitu bukan?" "Ya, betul," jawab Gi-lim.

"Jika adik sudi memberitahu, sungguh aku.

aku akan sangat berterima kasih padamu." "Aku sendiri tidak tahu, tapi ada satu orang tahu," tutur Fifi "Orang ini terluka parah, jiwanya dalam bahaya, bila Cici mau menyelamatkan dia dengan Thian-hiang-toan-siok-ciau, tentu dia akan memberitahukan padamu dimana beradanya jenazah Sau-toako itu." "Kau sendiri benar2 tidak tahu?" tanya Gi-lim.

Posting Komentar