Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 79

NIC

-ooo0dw0ooo- Pada saat pertarungan sudah hampir berlangsung itulah.

se-konyong2 seorang melompat keluar dari belakang meja dan "bluk" jatuh di lantai.

Belum lagi semua orang tahu jelas apa yang terjadi "bluk", kembali seorang menerobos keluar lagi dan terbanting di lantai.

Keduanya sama menggeletak tengkurap dan tak berkutik.

Walaupun muka kedua orang itu tidak kelihatan jelas, tapi keduanya sama memakai seragam putih dan bagian pantat masing2 ada cap kaki.

Menyusul terdengar suara seorang anak perempuan berteriak dengan nyaring: "Itulah kepandaian andalan Tang-Wan yang disebut jatuh dengan pantat lebih dulu!" Tentu saja Ciamtay Cu-ih sangat gusar, sekali berpaling, tanpa peduli siapa yang bicara itu, terus saja ia melompat kesana menurut arah datangnya suara tadi, dilihatnya seorang anak perempuan berbaju hijau berdiri disamping meja, tanpa pikir lengan anak perempuan itu terus dicengkeramnya.

"Aduh, mak!" teriak anak perempuan itu dan menangislah dia.

Ciamtay Cu-ih terkejut Saking gusarnya oleh ucapannya yang menghina tadi, ia sangka kedua muridnya telah dikerjai pula oleh dara cilik ini, tanpa pikir ia terus mencengkeramnya dengan keras, ketika dara cilik itu menjerit dan menangis barulah ia ingat orang hanya anak perempuan yang masih kecil, tindakannya ini tentu akan menurunkan derajatnya sebagai Hong-hoa-wancu, maka cepat ia lepas tangan.

Tak tersangka anak perempuan itu makin keras menangisnya, bahkan terus ber-teriak2: "Lenganku patah, lenganku patah! Uuhhh! Kau mematahkan lenganku.

" Hong-hoa-wancu Ciamtay Cu-ih sudah pernah menghadapi pertempuran sengit dan sering mengalami pertarungan dahsyat, tapi adegan runyam begini belum pernah dialaminya.

Apalagi sorot mata beratus orang sama tertuju kepadanya dengan sikap yang tidak suka, seketika mukanya merah, dengan bingung ia membujuk anak dara itu: "Diam, jangan menangis, jangan menangis, tanganmu tidak apa2, tidak patah." "Patah, sudah patah!" seru dara cilik itu dengan menangis.

"Huk-huk, orang tua memukul anak kecil, tidak tahu malu.

Uuhhh.

sakit.

sakit.

.." Usia anak perempuan ini kira2 baru 11 atau 12'tahun, berbaju hijau muda, kulit badannya putih bersih, mukanya bulat telur, cantik menyenangkan, setiap orang pasti bersimpati padanya.

Maka beberapa orang lantas berteriak: "Terlalu si pendek itu, hajar saja dia! Ya, mampuskan tua bangka kecil yang tidak tahu malu itu!" Ciamtay Cu-ih merasa serba susah.

menghadap kemarahan orang banyak, ia tidak berani menanggapi, terpaksa ia membujuk pula si anak kecil, "Maaf adik cilik, jangan nmenangis, tidak apa2, coba kuperiksa tanganmu, bagian mana yang sakit?" Sambil berucap ia terus hendak menggulung lengan baju anak perempuan itu.

Tapi anak itu lantas berteriak: "Tidak, jangan menyentuh diriku.

O, ibu, tua bangka pendek ini telah mematahkan lenganku!" Selagi Ciamtay Cu-ih merasa bingung, tiba2 dari kerumunan orang banyak tampil kemuka seorang lelaki berjubah putih.

ialah Ji Ci-ho, salah seorang murid kesayangan Ciamtay Cu-ih, "Anak kecil jangan cengeng dan pura2." kata Ci-ho kepada dara cilik itu.

"Tangan guruku sama sekali tidak menyentuh dirimu, manabisa lenganmu dipatahkan olehnya?" "Uuhhhh! ibu, ada orang jahat hendak memukul aku lagi!" teriak anak perempuan itu.

Ting-yat menjadi gusar, segera ia melangkah maju terus menampar kemuka Ci-ho sambil membentak: "Besar memukul kecil, tidak tahu malu"!" Segera Ci-ho hendak menangkis, tak tahunya Ting-yat Suthay justeru sengaja memancingnya menangkis, mendadak tangan Ting-yat yang lain meraih dan dapat memegang tangan Ci-ho, menyusul tangan kiri terus memotong ke balik siku Ci-ho, bilamana serangan ini tepat kena sasarannya, maka tangan Ci-ho itu pasti patah.

Untung Ciamtay Cu-ih keburu bertindak, secepat kilat ia tutuk punggung Ting-yat, inilah serangan maut yang memaksa lawan harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu.

Mestinya siku tangan Ci-ho sudah tertekan oleh tangan Ting-yat, tapi tiba2 didengarnva sambaran angin yang kuat, tutukan Ciamtay Cu-ih sudah mendekat, terpaksa Ting-yat lepas tangan dan menangkis kebelakang.

Ciamtay Cu-ih tidak ingin bertempur dengan Ting-yat, ia tersenyum dan melompat mundur.

Biasanya Ting-yat Suthay sangat suka kepada anak perempuan yang cantik, hampir semua muridnya adalah nona cantik pilihan seperti halnya Gi-lim yang jelita itu.

Dia lantas pegang tangan anak perempuan tadi dan bertanya dengan suara lembut: "Anak sayang, bagian mana yang sakit, coba kulihat, akan kuobati kau!" Tapi dilihatnya lengan anak perempuan itu tidak patah, maka legalah hatinya.

Ia menyingsing lengan baju anak perempuan itu, terlihat dengan jelas lengannya yang putih mulus itu ada empat jalur hijau, bekas cengkeraman jari.

Dengan gusar Ting-yat lantas membentak Ci-ho: "Bangsat cilik yang suka membohong, coba lihat sendiri, jika gurumu tidak menyentuh tangannya, siapa lagi yang meremas lengannya sehingga meninggalkan bekas jari ini?" "Okui (kura2) yang meremas tanganku, Okui yang meremas tanganku!" seru anak perempuan itu sembari menuding punggung Ciamtay Cu-ih.

Mendadak bergemuruhlah gelak tertawa orang banyak, ada yang sedang minum sehingga air teh tersembur keluar lagi, ada yang menungging sambil memegangi perutnya yang mulas saking gelinya.

Ciamtay Cu-ih menjadi bingung, ia tidak tahu apa yang ditertawakan orang banyak itu.

Ia pikir anak perempuan memakinya sebagai Okui (kata makian atau kata kiasan bagi kaum germo), hal ini dapat dimengerti karena anak perempuan itu merasa penasaran dan mestinya tidak ada sesuatu yang menggelikan.

Namun orang banyak toh tetap bergelak tertawa terhadapnya, mau-tak-mau ia menjadi heran dan serba kikuk.

Cepat Ci-ho melompat kebelakang Ciamtay Cu-ih dan menanggalkan sehelai kertas yang menempel di baju sang guru, berbareng kertas itu terus diremasnya Ciamtay Cu-ih meminta kertas itu, dibentangnya dan dilihat, ternyata kertas itu bergambar se-ekor Okui atau kura2.

Terang ditempel oleh anak perempuan itu ketika dirinya lengah tadi.

Gusar dan malu Ciamtay Cu-ih, tapi segera iapun terkesiap.

Pikirnya: "Okui ini jelas sudah dilukis sebelumnya, jadi diam2 memang ada orang yang mendalangi perbuatan anak perempuan ini." Ia berpaling dan memnndang Wi Kay-hou sekejap, pikirnya: "Anak ini tentu anggota keluarga Wi, rupanya Wi Kay-hou yang main gila padaku." Ditatap begitu oleh Ciamtay Cu-ih, segera Wi Kiy-hou paham apa artinya, ia mendekati anak perempuan itu dan bertanya: "Adik cilik, kau ini keluarga siapa" Di mana ayah-bundamu?" Pertanyaan ini mempunyai dua maksud tujuan, pertama untuk membuktikan dirinya tiada sangkut-pautnya dengan anak perempuan itu.

Kedua ia sendiripun merasa curiga dan ingin tahu siapa yang membawa anak ini kemari.

Terdengar anak perempuan itu menjawab, "Ayah ibuku ada urusan lain telah pergi, aku disuruh duduk menunggu disini, katanya sebentar akan ada tontonan yang menarik, katanya ada orang dapat melayang dan menggeletak tak bergerak, konon gerakan ini adalah Kungfu kebanggaan Tang-wan yang disebut belibis jatuh dengan pantat lebih dulu dan apa segala, tampaknya memang betul sangat menarik!" Sambil berkata ia terus bertepuk tangan dan tertawa gembira, padahal airmata masih meleler dipipinya.

Semua orang menjadi senang, mereka tahu itu orang tua yang sengaja mengajarkan anak perempuan ini mencemoohkan Tang-wan.

Nama Tang-wan memang kurang baik, sekarang dua muridnya menggeletak di situ tanpa bisa bergerak, boleh dikatakan Tang-wan telah kehilangan pamor habis2an, maka bergemuruhlah tertawa orang banyak.

Ciamtay Cu-ih menepuk tubuh salah seorang muridnya itu, ia menjadi kaget ketika tubuh muridnya dirasakan sudah kaku dan dingin.

Jelas keduanya sudah mati sejak tadi.

Cepat ia membalik tubuh muridnya itu, tertampak air mukanya mengunjuk senyuman aneh.

Seketika jari Ciamtay Cu-ih bergetar, betapapun tenangnya, demi melihat senyuman yang aneh ini, sungguh seperti melihat hantu, takut dan ngeri.

Maklumlah, sebab senyuman aneh ini baginya sudah tidak asing lagi, justeru senyuman aneh ini adalah akibat pukulan "Cui-sim-ciang" (pukulan penghancur hati), sejenis Kungfu khas Tang-wan sendiri.

Orang yang mati terkena pukulan maut itu akan memperlihatkan tanda khas, yaitu senyuman yang aneh.

Sesungguhnya juga bukan senyuman, akan tetapi lebih tepat dikatakan meringis.

karena korban yang terkena Cui-sim-ciang akan merasakan kesakitan luar biasa sehingga kulit daging bagian muka berkerut dan mengejang sehingga menimbulkan "senyuman" yang aneh ini.

Di seluruh dunia ini hanya Cui-sim-ciang saja yang dapat menimbulkan air muka yang aneh itu pada korbannya, dari sini dapat diduga bahwa kedua muridnya ini mati di tangan orang seperguruannya sendiri.

Seketika muka Ciamtay Cu-ih menjadi sebentar pucat sebentar hijau dan tidak dapat bersuara.

"Hei, Cui-sim-ciang!" mendadak Soat Peng-say berteriak.

"Inilah Kungfu Tang-wan sendiri!" Kiranya pada waktu mau turun gunung Peng-say telah diberitahu oleh gurunya agar hati2 terhadap Cui-sim-ciang dari Tang-wan dan diberi penjelasan ciri2 ilmu pukulan tersebut, maka begitu melihat segera ia tahu.

Di antara para hadirin yang berusia agak tua juga kenal ciri khas Cui-sim-ciang ini, maka banyak diantaranya ikut berseru: "Ah, kiranya orang Tang-wan saling membunuh sendiri!" Kusut juga pikiran Ciamtay Cu-ih,dengan suara rendah ia berkata kepada Ci-ho agar menggotong pergi mayat kawannya itu.

Cepat Ci-ho memanggil beberapa saudara perguruannya, be-ramai2 kedua sosok mayat itu lantas diusung pergi.

Mendadak anak perempuan tadi berseru sambil berkeplok: "Wah, orang Hong-hoa-wan dari Tang-hay sungguh sangat banyak! Mati satu digotong dua, mati dua digotong empat!" Dengan muka kelam Ciamtay Cu-ih bertanya kepada anak perempuan itu: "Siapa ayahmu" Kata2mu barusan ini apakah ajaran ayahmu?" Hendaklah maklum bahwa ucapan anak perempuan tadi sesungguhnva sangat keji, tiada ubahnya seperti mengutuki.

Jika bukan diajar oleh orang tua, usia sebaya dia pasti tidak dapat mengeluarkan Kata2 begitu.

Anak perempuan itu tidak menjawab pertanyaan Ciamtay Cu-ih, dengan tertawa ia malah menyambung pula angka perkalian: "Satu kali dua sama dengan dua, dua kali dua sama dengan empat, dua kali tiga ....

dua kali enam sama dengan duabelas.

" "He, kutanya padamu!" seru Ciamtay Cu-ih, suaranya cukup bengis.

Anak perempuan itu mewek2 dan menangis lagi sambil menyembunyikan mukanya di pangkuan Ting-yat.

"Jangan takut! Anak sayang, jangan takut!" hibur Tingyat sambil tepuk2 punggungnya dengan pelahan.

Lalu dia berpaling kepada Ciamtay Cu-ih dan berkata: "Kau sendiri tidak becus mengajar dan anak muridmu saling membunuh sendiri, kenapa kau lampiaskan rasa gusarmu terhadap seorang anak kecil?" Ciamtay Cu-ih mendengus dan tidak menggubrisnya.

Mendadak anak perempuan itu menengadah dan berkata kepada Ting-yat: "Losuhu.

Posting Komentar