.
" Hanya sebentar saja kereta itu sudah pergi jauh, sayup2 terdengar si kakek kecil sedang berkata; "Sau-sumoay, tidaklah pantas kau panggil dia Peng-ko, dia kan angkatan lebih muda dari padamu...." Si tinggi besar yang ditinggalkan di situ lantas memanggil serombongan kuli pelabuhan untuk membereskun jenazah kawanan Tosu Bu-tong pay, sama sekali ia tidak memperhatikan kepergian Soat Peng-say.
Seperginya Soat Peng-say, di dermaga lantas merapat sebuah kapal yang berbentuk aneh, dari kapal laut itu turun belasan lelaki berjubah putih dan seorang tua yang bertubuh pendek gemuk == 0O0dw0O0 == Kita ikuti dulu kepergian Soat Peng-say.
Dia menuju ke tempat parkir keretanya tadi, tapi keretanya sudah tak ada, orang ditepi jalan bilang kereta itu telah dibawa pergi oleh seorang nona setelah menyewa seorang kusir di situ.
Kereta berwarna emas itu memang milik Soat Koh, kalau sudah dibawa pergi kan kebetulan.
Sangu pemberian Tio Tay-peng waktu Soat Peng-say turun gunung masih cukup banyak, segera ia membeli seekor kuda terus memburu ke arah selatan.
Selang tak lama, dapatlah dia menyusul rombongan anak murid Lam-han tadi.
Karena dia mengejar dengan bernapsu.
waktu dia melihat rombongan sasarannya, merekapun melihat kedatangan Peng-say.
Tapi Peng-say tidak lantas mendekati mereka, ia bertahan dalam jarak belasan tombak di belakang rombongan itu, bila mereka berjalan cepat, iapun menyusul dengan cepat, jika mereka lambat, iapun melambat.
Si kakek kecil ingin tahu apakah Soat Peng-say memang sengaja hendak menguntit, ia suruh rombongannya berhenti di tepi jalan.
Peng-say tidak takut maksudnya diketahui orang, orang lain berhenti, iapun idem dito.
"Kemari kau!" panggil si kakek kecil.
Peng-say pikir kenapa takut, disuruh kesana ya turuti saja, apa yang mesti ditakuti.
Segera ia melarikan kudanya mendekati rombongan itu.
"Kau hendak ke mana?" tanya si kakek.
"Ke Soh-hok-han di Huiciu, kebetulan sama arah dengan tuan2," jawab Peng-say.
"Siapa yang mengundang kau ke sana?" tanya si kakek pula.
"Tidak diundang siapa2, aku sendiri ingin kesana," jawab Peng-say.
"Konon penghuni Soh-hok-han di daerah selatan sana kebanyakan adalah tokoh2 yang berbudi luhur, tentunya bukan sarang penyamun atau ada perbuatan yang perlu dirahasiakan sehingga tertutup bagi orang luar." "Tamu yang berkunjung ke Soh-hok-han memang tidak dilarang, tapi orang yang tidak berkepentingan dilarang datang." ujar si kakek.
"Sedangkan orang yang cuma berkepandaian rendah seperti kau memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi tamu Soh-hok-han," sambung si monyet.
Muka Peng say menjadi merah.
katanya pula: "Tapi ada urusan penting perlu kutemui Soh-hok Hancu.
Pula kalian bilang aku ini murid Pak-cay, dalam kedudukanku sebagai mund Pak-cay mau kukunjungi Soh hok-han, tentunya bukan orang yang tidak berkepentingan lag!?" "Tapi Lam-han dan Pak-cay biasanya tiada hubungan, setiap orang boleh mengunjungi Soh-hok-han, hanya anak murid Pak-cay saja yang tidak boleh," kata si kakek.
Sialan, pikir Peng-say, ingin untung jadi buntung malah.
Jika tahu Lam-han dan Pak-cay tidak akur, tentu tadi dirinya takkan mengaku sebagai murid Pak-cay.
Tapi si kakek kecil lantas berkata pula: "Ada urusan apa hendak kau temui guruku" Jika betul urusannya memang penting, mungkin akan diberi kelonggaran." "Urusan penting memang ada, tapi bolehkah kukatakan nanti saja." jawab Peng-say.
"Masa kau ada urusan" Urusan penting kentut!" omel si monyet.
"Huh, setiap orang tahu maksud tujuanmu menyusul kemari tentu ingin membawa lari kau punya Leng-moay." Cin Yak-leng meringkuk di dalam kereta dan tetap tak bisa berkutik, rupanya Hint-to yang ditutuk Ciamtay Bohko itu belum lagi terbuka maklumlah, Tiam-hiat-hoat Tangwan memang lain daripada yang lain, kalau bukan anak murid Tang-wan sendiri.
sekalipun jago kelas tinggi seperti si kakek kecil juga tidak mampu membukanya, terpaksa harus menunggu berlalunya sang waktu agar Hiat to yang tertutuk itu terbuka dengan sendirinya.
Bergirang juga Yak-leng demi mendengar Soat Peng-say memburu tiba, tapi ia tidak berani minta tolong.
Ia tahu ilmu silat Peng-say hakikatnya bukan tandingan anak murid Lam-han, kalau diteriaki agar menolongnya, bisa jadi akan membikin celaka anak muda itu malah.
Sesungguhnya iapun tidak suka pergi ke Soh-hok-han.
ia kuatir sampai di sana rahasianya akan terbongkar.
Diam2 ia berharap, mengingat kakek kecil itu bilang Lam-han dan Pak-cay sudah lama tiada hubungan, mungkin paman Sau Kim-leng itu selama ini belum kenal wajah si nona, asalkan nanti berlaku hati2, mungkin Sau Ceng-hong dapat dikelabui.
lalu dapatlah berdaya melarikan diri untuk bertemu dengan Soat Peng-say dan keduanya dapat kabur se-jauh2nya, ke tempat yang terasing dan hidup bersama hingga tua.
Karena bayangan yang indah di masa depan ini, ia tidak ingin Peng-say menyerempet bahaya lagi baginya, segera ia berseru membujuknya: "Peng-ko, kau pulang saja, tunggulah aku di rumah, aku pasti akan pulang untuk bertemu dengan kau." "Tidak.jika kau pergi ke Soh-hok-han, akupun pasti ikut ke sana," kata Peng-say.
Dari ucapan Peng-gay yang tegas itu, Yak-leng merasa anak muda itu bertekad akan "ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul", sungguh hatinya sangat terhibur.
Ia tidak tahu bahwa kepergian Soat Peng-say ke Soh-hokhan selain ingin menjaga keselamatannya juga ada tugas lain, yaitu ingin bertemu dengan Soh-hok Hancu untuk menunaikan pesan mendiang ibunya sebelum wafat.
Kiranya waktu ibunya akan menghembuskan napas terakhir telah meninggalkan pesan agar pada waktu Pengsay genap berusia 20 tahun, kitab pusaka "Siang jing-pit-lok" itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu Sok-hok Hancu dari Lam-han di Huiciu.
Bahkan setelah kitab itu dikembalikan, Peng-say disuruhnya mengangkat Sohhok Hancu sebagai guru.
Mengembalikan kitab dan mengangkat guru, kedua hal inilah pesan tinggalan sang ibu sebelum wafat Padahal Peng-say sudah berguru kepada Tio Tay-peng, ia tidak ingin mengangkat guru lagi kepada Soh-hok Hancu, jadi pesan sang ibu ini tak dapat lagi dilaksanakan, hanya tentang kitab pusaka itu, harus dikembalikan dengan baik.
Karena usia Peng-say sekarang belum melebihi 20, soal pengembalian kitab itu masih cukup waktu tapi sekarang kebetulan terjadi persoalan Yak-leng ini, maka dia bertekad akan pergi ke Lam-han sekalian.
Si kakek juga tidak merintangi setelah mendengar Pengsay menyatakan tekadnya akan ikut ke Lam-han, jengeknya: "Baiklah jika kau memarg ada urusan, tapi awas, jangan main gila, jika berani sembarangan bertindak, jangan kau salahkan kamj bertindak kejam." Baru selesai si kakek bicara, mendadak dari belakang serombongan orang berkuda datang dengan cepat, hanya sekejap saja kereta mereka telah terkepung rapat.
Anak murid Lam-han sudah berpengalaman, mereka tidak menjadi gugup, mereka melihat rombongan yang datang ini semuanya berjubah putih dan menyandang bungkusan panjang di punggung, jelas dalam bungkusan itu tersembunyi senjata sebangsa golok atau pedang.
Setelah kereta terkepung, orang2 berseragam jubah putih itu tetap diam saja, semuanya berwajah seram.
Si kakek kurus kecil lantas mendahului menyapa: "Cayhe Kiau Lo-kiat, murid Soh-hok-han di Huiciu.
Numpang tanya, adakah sesuatu keperluan?" Mendadak suara seorang setengah serak menanggapi: "Hm, dengan nama Soh-hok-han kau kira akan membikin orang takut?" Para murid Lam-han semua terkesiap, pikir mereka: "Mereka tidak takut kepada Soh-hok-han kita, jangan2 mereka sengaja hendak mencari perkara?" Padahal Bu-lim-su-ki atau empat tokoh sakti dunia persilatan sudah hampir ratusan tahun termashur di dunia Kangouw, orang yang tidak gentar terhadap Soh-hok-han boleh dikatakan terlalu sedikit.
Dengan prihatin Kiau Lo-kiat lantas berkata pula: "Sudikah yang berbicara itu tampil ke muka?" Mendadak dua penunggang kuda menyingkir ke samping, di belakang mereka lantas muncul seorang penunggang kuda lagi.
Lantaran penunggang kuda itu adalah siorang kakek gemuk dan pendek, sedangkan kedua penunggang kuda di depannya tinggi besar, maka si kakek hampir ter-aling2 seluruhnya.
Kakek itu memajukan kudanya ke depan, tiba2 kelihatan di belakang punggung kuda tunggangannya itu bertumpang tindih dua sosok mayat, satu gemuk dan satu kurus, satu pendek dan satu jangkung yang gemuk pendek di atas, yang jangkung tertindih di bawah.
"Samsute!" "Samsuko!" serentak para murid Lam-han berteriak.
Di antara ketujuh murid Lam-han itu hanya Kiau Lokiat saja yang menyebut "Samsute".
Rupanya mayat si jangkung itu adalah Sutenya yang ditinggalkan di Ciau-ciu-wan untuk membereskan jenazah para Tosu Bu-tong-pay itu.
Sungguh tidak kepalang duka dan gusar Kiau Lo-kiat melihat Samsutenya dibinasakan orang, ia tidak pedulikan lagi tokoh kosen darimana kakek pendek gemuk itu, serentak ia melayang dari kudanya, kesepuluh jarinya terpentang terus menubruk kakek gemuk itu.
Cepat sekali reaksi kakek itu, sebelah tangannya sempat mendahului menampar ke depan, angin pukulan yang dahsyat kontan menyampuk tubuh Kiau Lo kiat, terdengar jeritan Kiau Lo-kiat, kontan ia melayang balik.