Pedang Kiri Pedang Kanan Chapter 55

NIC

Peng-say tidak keburu mencegah tindakan nona, cepat ia menarik kembali pedangnyn.

Dilihatnya Soat Koh telah mencabut lagi pedangnya yang lain terus menerjang ke arah kereta.

Keruan Peng-say terkejut, cepat ia memburu maju dan menusuk dengan pedangnya sambil membentak: "He, kau mau apa?" "Akan kubunuh dia (maksudnya orang yang berada di dalam kereta, Cin Yak-leng)!" seru Soat Koh tanpa menoleh.

Tusukan Peng-say tadi mengenai tempat kosong, tampaknya tak sempat lagi merintangi si nona, terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk menusuk lagi.

Meski dia tidak melolos pedang kedua, tapi serangan dengan melepaskan pedang pertama adalah hasil latihannya selama lima tahun, yaitu setengah jurus dari serangan dua pedang sekaligus, jitu lagi cepat Kontan bahu kanan Soat Koh tertusuk dengan tepat.

Sudah tentu Soat Koh tidak menyangka Peng-say berani melukainya, ia kesakitan sehingga pedang sendiri terlepas dari pegangan, mendadak ia membalik tubuh, tangan kiri dengan cepat memegang ujung pedang Peng-say yang melukai bahunya itu sambil berseru pedih: "Kau ....

kau.

" Sembari berseru, sekuatnya ia terus menarik.

Kuatir melukai tangan si nona, cepat Peng-say melepaskan rantai yang menggandeng pedang itu.

Tanpa menghiraukan luka di belakang bahunya Soat Koh pegang pedang rampasan itu dan berteriak: "Gurumu bukan Tio-lotoa melainkan bernama Tio Tay-peng, betul tidak?" Peng-say mengangguk, dengan penuh rasa penyesalan ia berkata: "Lukamu.

" "Tidak perlu kau ber-pura2 simpatik," bentak Soat Koh.

"Ingin kutanya padamu, mengapa kau dusta padaku dan bilang gurumu bernama Tio-lotoa?" "Kalian guru dan murid tidak senang terhadap guruku, dengan sendirinya tak dapat kukatakan nama asli beliau.

" "Gurumu telah menabas buntung lengan kiri guruku, tak tersangka sejarah hampir terulang lagi," kata Soat Koh dengan tersenyum getir.

"Ingat, pada suatu hari pasti akan kubalas melukai bahu kirimu dengan pedangmu ini, sama halnya seperti guruku balas membuntungi lengan kanan gurumu dahulu!" Habis berkata, tanpa berpaling lagi ia terus berlari pergi.

"Soat Koh, Soat Koh, berhenti! Dengarkan penjelasanku ..." seru Peng-say.

Tapi seorang mendadak menukas: "Penjelasan apalagi" Bicaralah dengan kami!" Peng-say berpaling dan melotot, dilihatnya entah sejak kapan delapan penunggang kuda telah mengitarinya, yang bicara itu adalah seorang kakek kurus kecil berusia lima puluhan lebih.

Seorang lagi yang tampak tinggi besar lantas menegur Peny-say pula: "He, Tosu yang menggeletak di sana itu apakah kau yang membunuhnya?" Sementara itu Soat Koh telah menghilang di tengah orang banyak sana.

dengan perlahan Peng-say lantas membalik tubuh.

Didengarnya seorang laki2 berusia 30-an dan berdandan seperti pekerja kasar sedang membentaknya: "Samsuko kami bertanya padamu, kau dengar tidak?" Peng-say tidak ingin banyak cingcong dengan mereka, ia menjawab singkat: "Dengar, bukan aku yang membunuh mereka!" Seorang yang berdandan seperti saudagar dan membawa Swipea ikut bertanya: "Dengan sendirinya bukan kau yang membunuh mereka, hanya sedikit ilmu pedangmu yang tidak berarti ini masa dapat membunuh Tosu Bu-tong-pay?" Seorang muda yang pendek kecil seperti monyet lantas menukas: "Kukira ucapan Gosuko ini kurang tepat.

Ilmu pedang Pak-cay cukup terkenal, mana baleh diremehkan?" Saudagar yang membawa Swipoa itu menjawab: "Ilmu pedang Pak-cay memang terkenal, tapi anak murid Sausupek itu rata2 tidak becus, betapapun hebat ilmu pedang yang diajarkan kepada mereka jadinya tak keruan setiba di tangan mereka." "Tepat, betul," seru si monyet sambil berkeplok tertawa.

"Kiranya Gosuko bicara mengenai orangnya dan bukan soal ilmu pedangnya." Padahal sebelum orang2 ini datang ke sini, sebelumnya mereka sudah mendapat keterangan bahwa kawanan Tosu itu dibunuh oleh putera Ciamtay Cu-ih, merekapun menyaksikan pula Soat Peng-say bergabung dengan Soat Koh dan berhasil membunuh Ciamtay Boh-ko, padahal Ciam-tay Boh ko adalah keturunan salah seorang Su-ki atau empat sakti, betapa tinggi kepandaian Ciamtay Boh-ko dapatlah dibayangkan.

Namun mereka tidak suka kepada anak murid Sau Cengin dari Pak cay, sebab sejak sang guru hilang.

anak muridnya sama sekali tidak menaruh perhatian, bahkan tidak mau membantu ibu guru, mereka menganggap Pakcay sudah tamat riwayatnya dan sama bubar mencari jalannya sendiri2.

Orang2 yang tidak setia kepada pergurnan ini sudah tentu dipandang hina oleh mereka.

Sedangkan usia Peng-say dan Soat Koh hanya likuran saja, jelas mereka tidak mungkin adalah murid Sau Ceng-in, tapi ilmu pedang yang mereka mainkan bergaya Pak-cay, maka mereka menyangka Peng-say berdua adalah cucu murid Sau Ceng-in.

Kalau anak murid Sau Ceng-in saja dipandang hina oleh mereka, dengan sendirinya cucu muridnya lebih2 diremehkan oleh mereka, maka begitu berhadapan mereka lantas ber-olok2 dan menyindirnya.

Selain beberapa orang yang bicara tadi, di antara rombongannya ada lagi tiga orang yang berusia 18 atau 19 tahun, mungkin mereka belum berpengalaman dan baru saja ikut para Suhengnya berkelana, mereka belum pintar putar lidah seperti kawannya, mereka hanya mendengarkan saja di samping.

Diantara lima orang yang telah buka suara tadi, si monyet tadi terhitung paling muda, kira2 baru likuran, tapi jelas sudah berpengalaman beberapa tahun merantau Kangouw, mereka dapat membedakan ilmu pedang dari berbagai aliran den golongan, juga ilmu pedang gaya Pakcay yang dimainkan Peng say dan Soat Koh tadi dapat dikenali mereka, cuma tiada seorangpun yang tahu bahwa limu pedang itu sebenarnye adalah Siang-liu-kiam-hoat yang mengguncangkan dunia Kangouw dari sinipun dapat diketahui babwa pengetahuan merekapun kurang luas.

Padahal Soat Peng-say hakikatnya bukan murid Pak-cay.

maka ia tidak ambil pusing biarpun orang menyindirnya, diam2 ia malahan membenarkan ucapan si saudagar yang membawa swipoa tadi, yang diherankan Peng-say adalah apa sebabnya Siang-liu-kiam-hoat yang dimainkannya bisa disangka ilmu pedang Pak-cay.

Diam2 ia berpikir: "Melihat Thay-yang-hiat (bagian pelipis) mereka sama menonjol dan sinar mata yang tajam, jelas mereka ini anak murid perguruan ternama, pula guru mereka pasti ada hubungan yang sangat erat dengan Sau Ceng-in dari Pak-cay, makanya sekali pandang mereka dapat mengenali gaya ilmu pedang Siaug-liu-kiam-hoat." Pelahan ia lantas mendekati kereta dan memanggil: "Leng-moay!" Tapi Cin Yak-leng tidak menggubrisnya.

Mendadak si kakek kurus kering tadi bertanya: ; "Yang di dalam kereta apakah nona Sau Kim-leng?" Cin Yak-leng tidak menjawab panggilan Peng-say tadi, sebaliknya menanggapi pertanyaan si kakek: "Betul, aku she Sau bernama Kim-leng." Peng-say jadi melengak, ia heran mengapa Yak-leng sengaja mengaku sebagai Sau Kim-leng, cepat ia berseru: "He, Leng-moay, kau .

" Sudah tentu Yak-leng tahu apa yang akan diucapkan anak muda itu, omelnya: "Jangan kau panggil diriku.

aku tidak bicara dengan kau!" Si kakek kurus sangat menghina guru Soat Peng-say dan Soat Koh, tadi iapun mendengar Soat Koh menuduh guru Peng-say memenggal lengan kiri guru si nona, maka ia yakin guru kedua muda-mudi itu pasti bukan orang baik2.

Kalau gurunya saja bukan orang baik, tentu anak didik mereka tak dapat diharapkan akan baik.

Karena itulah ia lantas membentak: "Pergi, enyah kau! Tak tahu sopan santun.

memangnya kata Leng-moay boleh sembarangan kau panggil?" Peng-say jadi mendongkol, jawabnya: "Aku tidak boleh memanggilnya, memangnya kakek sialan macam kau boleh memanggilnya?" Sabar juga kakek itu, meski dianggap "kakek sialan" oleh Soat Peng-say, ia tidak menjadi marah, katanya: "Sudah tentu aku boleh memanggilnya demikian.

Nah, Leng-moay, Leng-moay.

" "Hah, alangkah ngerinya!" sela Peng-say dengan tertawa.

"Ngeri apa maksudmu?" tanya si kakek.

"Habis, usiamu sudah tua, menjadi ayah adik Leng saja lebih daripada cukup, tapi kau memanggilnya adik dengan mesra.

apakah tidak merasa ngeri?" "Anak busuk, buta barangkali matamu?" omel si kakek dengan aseran "Kau tahu siapakah tuanmu ini?" "Sudah tentu kutahu, tidak lebih cuma seorang kakek kecil dan kurus kering," jawab Peng-say.

Serentak ketujuh saudara seperguruan si kakek membentak: "Kurang ajar!" Si monvet bahkan lantas menggulung lengan baju dan mendamperat: "Anak kurang ajar.

kalau tidak kulabrak agaknya kau tidak tahu kelihayan tuanmu ini!" Peng say tidak gentar, dengan tegas ia menjawab: "Mau berkelahi" Bagus, hayolah maju!" Segera si monyet akan melompat turun dari kudanva, tapi si kakek keburu mencegahnya dan berkata: "Jangan kau hiraukan dia, Laksute (adik seperguruan keenam) Murid Sau-supek memang sudah lama tidak memikirkan guru lagi, manusia yang khianat mana bisa mengeluarkan anak didik yang sopan, dengan sendirinya kitapun tidak dianggap sebagai kaum Cianpwe lagi." Si moyet tidak berani membangkang perintah sang Suheng, ia cuma mendelik saja dan berucap: "Nah, dengarkan yang jelas.

anak busuk.

Guru tuan2mu ini bernama Sau Ceng-hong.

asalnya adalah saudara sepupu dengan Sau Ceng-in, Sau-supek dari Pak-cay.

Meski guru kalian telah mengkhianati perguruan, tapi jelek2 mereka adalah murid Sau-supek, apapun juga kalian lebih rendah seangkatan daripada kami, mana boleh kalian bersikap kasar terhadap Jisuko (kakak perguruan kedua) kami?" Sungguh Peng-say mendongkol dan geli pula.

Orang2 ini bukan saja salah sangka dirinya sebagai murid Pak-cay.

bahkan disangkanya cuma cucu murid Sau Ceng-in.

Diam2 ia membatin: "Salah adik Leng.

dia mengaku sebagai puteri Sau Ceng-in, dengan demikian sebagai Piaukonya sekarang aku berubah jadi murid keponakannya malah.

Pantas si kakek kecil itu bilang aku tidak sopan memanggil Lengmoay padanya." Nama Cin Yak-leng dan Sau Kim-leng memang ada persamaan lafal pada kata terakhir, maka panggilan "Leng-moay" Peng-say tadi disangka oleh Ciamtay Boh-ko dan kedelapan orang ini sebagai memanggil Sau Kim-leng.

Posting Komentar