“Memang benar, Bu-toako,” kata Si Kian. “Akan tetapi kita harus berhati-hati. Sekarang, didepan sana masih banyaknya mereka sekali perahu berseliweran dan agaknya mereka adalah orang-orang jahat yang mudah membunuh orang. Sebaiknya kita menanti sampai malam menjadi sunyi, diam- diam kita melanjutkan perjalanan dan lolos dari daerah yang berbahaya ini.”
Bu Hok Gi membenarkan pendapat Si Kian dan mereka pun menanti sampai malam menjadi larut. Karena ayah mereka tidak membawa makanan, Si han Beng dan Bu Giok Cu, dua orang anak dua keluarga itu, segera mencoba untuk memancing ikan. Bu Giok Cu sejak tadi mengomel terus karena perutnya terasa lapar dan ayahnya yang sejak tadi dinanti-nanti, datang tanpa membawa makanan. Dan lebih sial lagi, sejak tadi ia mengail, tidak ada ikan yang menyambar umpannya.
Bu Giok Cu yang baru berusia sepuluh tahun itu sudah memperlihatkan tanda yang jelas bahwa kelak ia akan menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Akan tetapi, sebagai puteri tunggal seorang kepala dusun, ia amat manja. Biarpun manja, Giok Cu adalah seorang anak yang tidak malas dan cerdik, juga nakal. Berbeda dengan Giok Cu, Si han Beng lebih pendiam dan biarpun usianya baru dua belas tahun, Han Beng tidak kekanak-kanakan, bahkan seperti seorang yang sudah dewasa saja. Hal ini adalah karena sejak kecil dia hidup dalam keluarga yang tidak mampu, memaksanya sejak kecil ikut bekerja membantu ayahnya, baik mencari ikan sebagai nelayan atau bekerja di sawah lading sebagai petani. Tubuhnya juga tinggi besar dan kuat karena sudah terbiasa bekerja berat sejak kecil. Wajahnya tampan, mewarisi wajah ibunya yang termasuk wanaita cantik walaupun orang dusun.
Suasana di daerah Pusaran Maut itu makin malam menjadi semakin sunyi. Agaknya, ketegangan terasa diantara para tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan anak nag. Ketegangan menanti munculnya anak naga, ditambah dengan ketegangan karena terjadinya perkelahian dan pembunuhan besar-besaran yang terjadi sore tadi, mencekam hati semua orang dan banyak diantara mereka yang kini bersiap-siap saja di tepi sungai.
Mereka percaya akan berita atau dongeng bahwa anak naga itu muncul pada tengah malam, maka mereka pada siap di tepi sungai dengan perahu mereka, menanti datangnya malam.
Bulan sudah muncul, bulan purnama yang membuat permukaan air sungai nampak keemasan. Malam telah larut biarpun tengah malam masih dua tiga jam lagi, sudah mulai ada perahu yang bersiliweran di luar daerah Pusaran maut. Menurut dongeng, anak naga akan muncul di tengah pusaran itu dan berenang keluar dari arus pusaran, karena anak naga itu ingin mencari ikan di air yang tenang. Ikan tidak terdapat di air yang terseret arus pusaran. Karena tidak dapat menentukan, di bagian mana dari luar pusaran yang akan didatangi oleh anak naga, maka perahu-perahu itu hanya berseliweran di sekitar daerah pusaran.
Bulan purnama sudah naik tinggi ketika nampak dua buah perahu di dayung perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali, dengan tenang meluncur di luar daerah pusaran berbahaya. Itu adalah perahu yang ditumpangi kega Si Kian dan Keluarga Bu Hok Gi. Perahu Si Kian didayung oleh Si Kian sendiri, dibantu oleh Han Beng, sedangkan perahu Bu Hok Gi didayung oleh seorang pembantunya dan oleh Bu Hok Gi sendiri. Mereka mendayung perahu perlahan-lahan sambil mata mereka memandang kea rah beberapa buah perahu yang berseliweran di daerah itu dengan mata takut-takut.
Bulan purnama cukup terang sehingga para penumpang dua buah perahu ini dapat melihat betapa daerah ini dikelilingi oleh banyak sekali perahu. Akan tetapi perahu-perahu itu hanya diam saja, seperti menanti sesuatu, dan hanya sedikit yang berseliweran.
Tiba-tiba terdengar suara rebut dan banyak perahu yang tadinya diam itu bergerak semua. Hal ini mengejutkan dan menakutkan Si Kian dan Bu Hok Gi. Mereka menghentikan perahu mereka yang dibiarkan berhimpitan, takut kalau sampai ketahuan perahu-perahu lain dan terlibat dalam keributan itu. sejak tadi Bu Giok Cu masih enak-enakan memancing ikan, tidak peduli akan semua itu dan mencurahkan perhatiannya ke ujung tangkai pancingnya.
Keributan terjadi di dekat daerah pusaran ketika seorang diantara para tokoh kang-ouw melihat adanya benda yang mengeluarkan cahaya di permukaan air. Cahaya itu berkilau seperti beberapa ekor binatang laut kalau muncul di tengah malam dan mengeluarkan semacam sinar dari tubuhnya, seperti udang dan beberapa macam ikan lainnya.
Dan tokoh kang-ouw itu kemudian melihat jelas bahwa yang sedang berenang melawan arus air pusaran itu adalah eekor binatang seperti ular atau belut warnanya kehitaman, sebesar lengan orang dewasa dan panjangnya kurang lebih satu setengah meter.
“Anak ……… anak naga !” teriaknya di luar kesadarannya
saking kaget, girang dan tegangnya. Kalau saja dia tidak panic, tentu dia diam saja agar jangan ada orang lain mendengarnya dan akan diam-diam berusaha menangkap binatang yang ditunggu-tunggu itu. Dia mendayung perahunya, meluncur dekat binatang yang seperti ular itu. akan tetapi ketika dia menjulurkan tangan hendak menangkapnya, binatang itu mengelak dan berenang kembali ke pusaran. Tokoh kang-ouw itu mengejar dengan perahunya, tidak sadar bahwa binatang it uterus berenang ke tengah. Dia baru tahu ketika tiba-tiba perahunya terseret oleh arus yang amat kuat dan binatang itu lenyap. Dia terbelalak melihat perahunya meluncur cepat tanpa dapat dikuasainya lagi. Dia mencoba untuk mendayung sekuat tenaga, namun tetap saja tenaganya tidak mampu menahan kekuatan arus yang menyeret perahunya. Mulailah dia panic.
“Tolooooooooong !” Tanpa malu-malu dia berteriak
ketika perahunya terseret pusaran air, dibawa berpusing oleh pusaran air, makin lamaa makin cepat dan makin menyempit garis lingkarannya. Saking takutnya, diapun melompat dari perahunya, mencoba untuk berenang. Akan tetapi sia-sia sajaa, tubuhnya terseret dan beberapa kali terdengar dia menjerit minta tolong, juga perahunya, disedot oleh pusat pusaran air!
Akan tetapi teriakannya tentang anak naga tadi sudah menarik perhatian semua tokoh. Mereka ini sama sekali tidak peduli akan nasib orang yang tersedot pusaran air itu. perhatian mereka seluruhnya ditujukan kepada benda berkilau yang tadi berenang dan kemudian lenyap.
Tiba-tiba, dua buah perahu yang ditumpangi oleh delapan orang gagah, para anggota perkumpulan Jit-Seng-pang (Perkumpulan Tujuh Bintang) di Cin-an nampak sibuk. Dua orang diantara mereka mempergunakan jala yang bergagang bamboo panjang dan mereka agaknya telah berhasil menjala anak naga yang dihebohkan itu. di dalam jala mereka itu nampak benda panjang yang mengeluarkan sinar berkeliuan bergerak-gerak hendak lepas.
Melihat betapa delapan orng anggota Jit-seng-pang itu agaknya berhasil menangkap “Anak Naga”, banyak perahu meluncur mendekati mereka. Melihat ini, para anggota Jit- seng-pang siap dengan senjata mereka, dan kepala rombongan mereka berseru :
“Kami dari Jit-seng-pang dan ular naga kecil ini sudah kami tangkap. Kami yang berhak memilikinya, harap para sahabat yang gagah tidak mengganggu kami!”
Akan tetapi, nampak seorang laki-laki tinggi gemuk bermuka hitam meloncat dari perahunya, ketas perahu orang- orang Jit-seng-pang. Dua orang anggota Jit-seng-pang yang menyambutnya dengan bacokan golok, dibuat terjungkal dari perahunya oleh tendangan laki-laki gemuk itu dan sekali dia menyambar, jala itu telah dirampasnya. Dengan kecepatan luar biasa, dia sudah meloncat ke perahunya sendiri. Akan tetapi ketika dia hendak melarikan diri dengan perahunya, membawa jala yang membungkus ular berkilauan itu terdengar bentakan halus.
“Tinggalkan anak naga itu padaku dan sinar hitam meluncur cepat sekali kerah laki-laki gemuk bermuka hitam. Laki-laki yang amat lihai itu hendak menangkis, akan tetapi ternyata ada sianr kedua menyambar dan mengenai pundaknya. Dia roboh dalam perahunya, jala itu terlepas dari tangannya kedalam air. Laki-laki yang roboh di dalam perahunya itu tidak dapat bergerak lagi, mukanya berubah membiru dan dia tewa seketika terkena senjata rahasia jarum yang tadi dilepaskan oleh Bn-to Mo-li, wanita cantik yang tadi membunuh Ceng-san Ngo-liong di kedai!
Sebelum Ban-to Mo-li dapat menangkap ular dalam jala yang terlempar agak jauh dari perahunya, sebuah perahu lain meluncur dekat dan seorang laki-laki tinggi kurus menyambar jala itu dan dia cepat mengeluaarkan ular dari dalam jalan. Tiba-tiba dia memekik, ular itu telah mengigit pangkal lengannya dan begitu kena digigit, dia berkelonjotn dan ular itu melesat kedalam air dan menghilang! Orang tinggi kurus itu hanya sebentar berkelonkotan karena dia sudah tewas dalam perahunya dengan tubuh membengkak seluruhnya, seperti balon yang ditiup. Ternyata racun gigitan ular atau anak naga itu tidak kalah hebatnya dibandingkan racun yang terkandung dalam jarum yang dilemparkan Ban-to Mo-li.
Keadaan menjadi makin kacau karena anak naga itu lenyap lagi. Perahu-perahu berseliweran dan semua mata mengamati air dan mencari-cari anak naga yang tadi terlepas dan menyelam. Karena semua orang tenggelam dalam perhatian mereka untuk mencari “anak naga” itu, keadaan menjadi sunyi sekali.
Perahu-perahu semua diam dan tak seorangpun mengeluarkan suara seolah-olah takut kalau ada suara gaduh, anak naga yang tadi sudah memeperlihatkan diri akan tetapi tidak berani muncul muncul kembali.
Dari ketegangan memuncak karena semua orang maklum bahwa untuk memperebutkan anak naga itu, para tokoh kang- ouw tidak segan-segan untuk merampas dan membunuh, seperti dilakukan oleh si Muka Hitam, kemudian Ban-to Mo-li.
Keadan yang sunyi itulah yang menyebabkan suara anak perempuan itu terdengar nya.
“Heiiiii! Umpan pancingku disambar ikan!” teriakan ini mengandung kegembiraan besar dan Bu Giok Cu yang sejak tadi memancing dan tidak pedulikan keadan sekitarnya, nampak bersusah payah menahan pancingnya sehingga tangkai pancingnya melengkung dan Giok Cu harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menahan diri.
“Wah, ikannya besar dan kuat sekali !” katanya dan di
lain saat tubuhnya terjatuh kedalam air karena terbawa oleh tarikan ikan pada pancingnya yang amat kuat dan ia tidak mau melepaskan gagang pancingnya.
“Byuuuuurrrrr…….!”
Dua keluarga itu terkejut bukan main. Akan tetapi yang lebih dulu bergerak adalh si Han Beng. Melihat betapa kawan barunya itu terjatuh kedalam air, diapun tanpa membuang waktu lagi segera melepaskan dayung ditangannya dan melompat kedalam air. Sebagai seorang anak nelayan, Han Beng pandai berenang, demikian pula Giok Cu yang dusunnya terletak di tepi sungai.
“Iiiiihhh…….! Ular ………. Ular ” Giok Cu menjerit dan ia
berenang menjauh. Akan tetapi ular yang ternyata menjadi korban pancingannya itu agaknya marah. Karena anak perempuan itu lupa melepas gagang pancingnya, maka ular itu pun terseret dan ular itu menggunakan tubuhnya yang panjang untuk membelit tubuh Giok Cu! Anak perempuan itu menjerit karena merasa jijik dan takut.