Akan tetapi, gadis itu ternyata lihai sekali karena begitu pedangnya ditempel sabuk sebelum sabuk itu melibat, ia sudah menarik kembali pedangnya, memutar tubuh, dan kini pedangnya membuat gerakan panjang menyapu kearah kedua kaki lawan.
“Hmmmmm!” Liu Bhok Ki meloncat keatas dan dari atas, ujung sabuknya menyambar kearah kepala gadis itu. Gadis bernama Sim Lan Ci pun dapat mengelak dengan gerakan yang cepat dan pada saat itu Coa Siang Lee sudah menerjang kedepan dan menyerang dengan Siang-kiam di kedua tangannya.
Kini Liu Bhok Ki dikeroyok dua dan terasalah oleh pendekar ini betapa sepasang muda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tingkat kepandaian gadis itu bahkan tidak kalah dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera Coa Kun Tian itu, dan terutama pedang gadis itu dan pukulan tangan kirinya, sungguh berbahaya bukan main. Tahulah Liu Bhok Ki bahwa Lan Ci ini selain memiliki senjata-senjata beraun, juga mahir menggunakan pukulan beracun.
Perkelahian itu terjadi lebih seru dibandingkan dengan ketika Liu Bhok Ki dikeroyok oleh Cap-sha-tin tadi. Karena kedua orang muda itu sama-sama menggunakan pedang, dan tempat perkelahian menjadi luas dengan hanya adanya mereka berdua yang mengeroyok, mereka dapat bersilat dengan leluasa, mengerahkan semua tenaga dan kepandaian.
Beberapa kali Liu Bhok Ki mencoba untuk merampas pedang kedua orang muda itu, namun selalu gagal. Kiranya selain memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat, kedua orang muda itu pun cerdik sekali dan tidak pernah terlambat untuk menarik kembali pedang mereka sebelum terlibat. Sebetulnya, kalau dibuat ukuran, tingkat kepandaian kedua orang muda itu masih belum mampu menandingi tingkat kepandaian Liu Bhok Ki yang sudah matang, apalagi karena selama ini, biarpun mengasingkan diri, Liu Bhok Ki tak pernah lalai untuk melatih diri, bahkan memperdalam ilmu silatnya. Namun kedua orang muda itu silatnya hebat, dan terutama sekali hawa beracun yang keluar dari pedang dan tamparan tangan kiri Lan Ci amat berbahaya. Dan lebih daripada itu, entah bagaimana setiap kali sabuknya mendesak kearah Lan Ci, melihat wajah yang mirip sekali dengan wajah mendiang isterinya itu, hati Liu Bhok Ki menjadi lemas dan dia merasa tidak tega untuk melukai atau membunuh gadis itu.
Inilah yang membuat dia lengah bahkan lemah pertahanannya dan pada suatu saat, ketika kembali dia terpesona oleh wajah gadis itu, Lan Cid an Siang Lee mengeluarkan pekik yang melengking panjang hampir berbareng. Sepasang pedang siang lee membuat serangan kilat yang luar biasa cepatnya dan pada saat Liu Bhok Ki meloncat kebelakang, dia sudah menusukkan pedangnya dari samping.
Liu bhok Ki menangkis dengan sabuknya, namun dia terlambat sehingga pedang itu meleset dan masih menancap di pundak kirinya, kurang lebih satu dim dalamnya.
“Uhhh…..!” Liu Bhok Ki mendengus dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara kerengan hebat, tubuhnya mencelat keatas dan dari atas, tubuhnya itu bagaikan seekor burung rajawali menyambar, meluncur kebawah dan kedua ujung sabuknya menyambar-nyambar kearah kepala kedua orang lawannya.
Siang Lee dan lan Ci terkejut bukan main. Mereka tidak tahu bahwa ilmu Hui-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Terbang), sebuah ilmu yang baru diciptakan oleh Liu Bhok Ki di tempat pengasingannya.
Hebat sekali gerakan loncatan ini, bagaikan seekor burung rajawali terbang, cepat namun juga mengandung kekuatan yang amat dasyat. Kalau dia tidak memegang senjata sabuk, serangan itu dilanjutkan cengan cengkeraman kedua tangan ke bawah, karena dia memegang senjata ampuhnya itu, dia menggunakan sabuk untuk menyerang kebawah dan tentu saja serangan ini lebih cepat daripada kalau menggunakan kedua tangan, karena sabuk itu lebih panjang.
Dua orang muda itu sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang sudah tertusuk pedang itu akan mampu berbuat seperti itu.
Mereka terkejut dan karenanya terlambat menghindarkan diri. Kedua ujung sabuk itu menotok pundak dan mereka berdua roboh tak sadarkan diri.
Melihat kedua orang lawannya yang tangguh itu roboh pingsan, Liu Bhok Ki yang sudah turun keatas tanah, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar. Napasnya agak memburu dan dia memejamkan kedua matanya, merasa betapa kenyerian yang amat hebt menusuk-nusuk dari pundak kedalam tubuh, bahkan menjalar ke seluruh tubuhnya.
Maklumlah dia bahwa dia tertusuk oleh pedang yang mengandung racun amat jahatnya. Terhuyung-huyung dia memasuki pondoknya, membuka buntalan simpanan obat dan segera minum tiga pel kuning, lalu menempelkan obat yang berwarna merah kepada luka di pundaknya setelah itu merobek bajunya bagian pundak.
Dia mengimpun hawa murni untuk mengusir hawa beracun dari lukanya, namun betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa racun itu memang hebat luar biasa dan tidak dapat disembuhkannya dengan obat dan pengerahan tenaga sakti. Dia hanya mampu menahan rasa nyeri dan menghentikan racun itu menjalar lebih lanjut ke hantungnya, namun dia tidak berhasil mengeluarkan racun itu dari tubuhnya.
Ini berarti bahwa ia terancam bahaya maut, kalau saja dia tidak menemukan obat penawarnya. Maka, diapun cepat berlari keluar lagi.
Dua orang muda itu masih rebah tidak pingsan lagi, akan tetapi belum mampu bergerak karena pengaruh totokan yang lihai dari ujung sabuk di tangan Liu Bhok Ki.
Melihat pria setengah tua tinggi besar itu sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, bahkan memandang kepadanya dengan mata melotoot penuh kemarahan dan kebencian.
“Sim Lan Ci,” katanya kepada gadis itu
“Engkau tahu bahwa sekali menggerakkan tangan, nyawamu akan melayang menyusul nyawa bibimu. Akan tetapi aku tidak membunuhmu, bahkan aku suka membebaskanmu dan membiarkan engkau membawa pergi kepala bibimu. Akan tetapi, engkau harus menebusnya dengan obat penawar racun pedangmu.”
Biarpun kaki tangannya tidak mampu bergerak, Lan Ci masih dapat bicara walaupun lirih. Namun bicara dengan penuh semangat dan sepasang matanya memancarkan kebencian.
“Aku sudah kalah, mau bunuh bunuhlah, siapa takut mampus. Engkau pun akan mampus karena racun pedangku dan kita sama-sama menghadap arwah bibi Hui Cu.” Liu Bhok Ki adalah seorang yang cerdik. Dia mengenal gadis yang berhati keras, maka membujuk takkan ada manfatnya. Maka dia lalu memancing untuk mengetahui macam racun yang dideritanya.
“Hemmmmm, engkau anak kecil yang sombong. Kaukira akan mudah membunuh aku begitu saja. Sudah puluhan kali aku terkena racun, akan tetapi selalu dapat kusembuhkan. Racun piauw darimu tadi pun dapat kuhilangkan pengaruhnya. Racun pedangmu ini pun tentu akan dapat kuobti sampai sembuh dalam waktu dekat.”
Pancingnya mengena. Gadis itu tersenyum mengejek. “Boleh kaucoba Obat penawar racun pedang Cui-mo Hek
Kiam (Pedang hitam Pengejar Iblis) ini hanya ada pada ibuku.
Kau tahu siapa ibuku? Ia berjuluk ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa racun).”
Mendengar julukan ini diam-diam Liu Bhok Ki terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa enci (kakak perempuan) dari mendiang isterinya itu, yang dikabarkan lenyap diculik orang ketika masih kecil, adalah datuk sesat berjuluk Ban-tok mo-li itu.
Tentu saja dia pernah mendengar nama itu, yang terkenal sebagai seorang ahli racun yang amat berbahaya dan jahat.
Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, bahkan tersenyum mengejek :
“Hemmmm, biar racun itu datang dari ban-to Mo-li atau siapapun saja, sudah pasti akan dapat kusembuhkan. Tak mungkin ada racun yang tidak ada obat penawarnya di dunia ini.” Sim Lan Ci masih terlalu muda untuk dapat menduga bahwa sikap lawannya itu adalah untuk memancing keterangan tentang racun itu. Ia menjadi penasaran dan berkata.
“Engkau akan mampus, takkan mungkin sembuh. Obat penawarnya hanya ditangan ibuku. Kecuali kalau engkau dapat menemukan raja-mustika di kepala naga ”
Sim lan Ci bukan berbohong atau sekedar mengulang dongeng kuno yang mengatakan bahwa mustika di kepala naga merupakan obat paling mujarab di dunia, dapat menawarkan segala macam racun, bahkan dapat memperkuat tubuh. Memang ia pernah mendengr dari ibunya itu bahwa satu diantara obat yang akan mampu mengobati luka bercun karena pedang Cui-mo Hek-kiam. Ia sengaja mengatakan ini, bukan berbohong, melainkan untuk mengejek karena tidak akan mungkin Liu Bhok Ki bisa mendapatkan mustika di kepala naga.
“Engkau bohong.”
“Huh, Perlu apa aku bohong? Engkau akan mampus dan kalau engkau hendak membunuhku, silakan! Kau kira dengan Sin-kang akan dapat mengusir racun dari pedangku? Tidak mungkin. Paling-paling dengan obat dan sin-kang engkau hanya akan dapat mengurangi rasa nyeri, akan tetapi racun itu tetap akan mengeram dalam tubuhmu. Memang dapat kauperlambat menjalarnya ke Jantung, akan tetapi lambat laun, akan sampai juga. Melihat betapa pedangku sudah melukai pundakmu tidak berapa jauh dari jantung, dalam waktu paling lama tiga bulan engaku tentu akan mati dalam keadaan yang sangat menderita.”
Liu Bhok Ki menjadi terkejut sekali mendengar ini. Memang cocok apa yang dikatakan gadis itu, berarti ia tidak berbohong. Dia menjadi marah sekali tangannya diangkat keatas untuk menghantam kearah kepala gadis itu. Gadis itu sama sekali tidak berkedip memandang kepadanya dengan mata yang tajam dan indah, mata isterinya. Tangannya tertahan dan dia menggeleng kepala keras-keras, lalu menoleh kea rah Coa Siang Lee yang sudah siuman akan tetapi tidak mampu bergerak. Dia mendapatkan gagasan yang luar biasa untuk melampiaskan hatinya.
“Tidak, aku tidak akan membunuhmu! Bahkan aku tidak akan membunuh dia. Biar kalian menggantikan Kun Tian dan Hui Cu untuk merasakan apa yang pernah kurasakan.”
Berkata demikian, dua kali tangannya bergerak dan dia sudah menepuk leher kedua orang muda itu yang seketika menjadi pingsan kembali.