Liu Bhok ki menarik napas panjang. Dia tidak pernah merasa gembira, setiap kali diserbu orang-orang Hek-Houw- pang. Dia melayani mereka hanya karena terpaksa, untuk membela diri dank arena mereka itu selalu menyerangnya mati-matian maka tidak dapat dihindarkan lagi setiap kali jatuh korban diantara mereka.
Apalagi kini yang maju adalah putera kandung Coa Kun Tian. Sebetulnya, dia dahulu amat saying kepada shabatnya itu. Bahkan sekarangpun, setiap kali memandang wajah kepala sahabatnya itu, timbul rasa saying, akan tetapi perasaan itu selalu diusirnya dengan membayangkan kembali perbuatan sahabatnya itu dengan isterinya yang membuat hatinya menjadi panas kembali. Tentu saja dia tidak membenci putera Kun Tian yang wajahnya tampan mirip sekali ayahnya itu. “Coa Siang Lee, tahukah engkau mengapa ayahmu sampai tewas di tanganku?” tanyanya, dan para anggota Hek-Houw- pang mendengar betapa dalam suara itu terdapat keraguan, agaknya si jago tua yang menggiriskan itu merasa gentar menghadapi jago muda mereka yang kelihatan amat tabah dan gagah itu.
“Aku tidak perduli! Yang jelas, engkau telah membunuh ayahku, bahkan telah berbuat sedemikian keji dan kejam, menyiksa dan mempermainkan kepala ayahku seperti itu. Sungguh perbuatan yang terkutuk! Pendeknya, aku datang untuk menuntut balas kepadamu, sebagai amal bakti kepada ayah kandungku! Aku akan membunuhmu dan membawa pulang kepala ayahku itu untuk dimakamkan dengan baik dan terhormat.”
Liu Bhok Ki kembali menarik napas panjang sehingga mengherankan para anggota Hek-Houw-pang. Mereka pernah beberapa kali ikut menyerbu musuh besar itu dalam belum pernah mereka melihat Liu Bhok Ki meragu seperti sekarang ini.
“Orang muda, kalau engkau hendak berbakti kepada ayahmu, semestinya engkau bukan datang kesini dan ingin membunuhku. Seharusnya engkau membuat jasa-jasa baik, melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk menbus dosa- dosa ayahmu itu agar hukumannya lebih ringan di neraka sana.”
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan kini suaranya meninggi, tanda bahwa dia marah sekali.
“Liu Bhok Ki, tidak perlu engkau menasehati aku dan memburuk-burukkan ayahku! Tengok dirimu sendiri! Aku sudah tahu bahwa engkau membunuh ayahku karena ayahku bermain cinta dengan isterimu. Bukankah begitu? Kalau benar demikian, engkaulah yang tidak tahu malu! Seharusnya engkau tahu bahwa kalau isterimu suka kepada pria lain, itu berarti bahwa ia tidak cinta lagi kepadamu, bahwa pria yang dipilihnya itu lebih baik daripadamu! Mendiang ayahku tidak memperkosa dan kalau dia tidak dilayani dengan senang hati oleh isterimu tentu tidak akan terjadi hubungan itu! Sepatutnya engkau bercermin diri dan kalau benar laki-laki, harus tahu diri ditolak isteri sendiri yang memilih pria lain! Huh, sungguh tak tahu malu!”
Wajah Liu Bhok Ki berubah merah sekali, lalu pucat dan merah kembali.
Ucapan pemuda itu sungguh merupakan mata pedang yang tajam meruncing menusuk perasaan hatinya. Dia melihat kebenarannya, akan tetapi juga menjadi marah karena pemuda itu menghinanya.
Memang sesungguhnya, apa gunanya dia dulu menjadi seperti gila karena cemburu? Cinta antara pria dan wanita tidak mungkin hanya bertepuk sebelah tangan. Kalau isterinya sudah tidak cinta kepadanya, dengan bukti bahwa ia menyerahkan diri kepada pria lain, tidak ada gunanya walaupun dipaksa juga.
Akan tetapi, bantah suara dikepalanya. Mereka telah menghinaku, menodai nama dan kehormatanku! Sudah sepatutnya mereka dibunuh, dihukum, bahkan hukuman yang dia berikan masih kurang memadai, masih kurang berat dibandingkan dengan penghinaan yang dia derita.
“Coa Siang Lee, sudah menjadi hakmu untuk membela ayahmu walaupun dalam pembelaanmu itu engkau seperti buta tidak melihat kejahatan ayahmu yang menghancurkan ketentraman rumah tanggaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku, mendatangkan aib dan penghinaan kepadaku. Akan tetapi aku pun berhak mempertahankan kehormatanku di waktu itu dan sekarang akupun berhak untuk membela diri kalau ada yang mengncam keselamatan diriku. Nah, sekarang engkau mau apa.” Pertanyaan ini mengandung tantangan. Kedua tangan pemuda itu bergerak dan nampak dua sinar terang berkelebat ketika dia mencabut Siang-kiam (Sepasang pedang) yang tadi tergantung di punggungnya. Dia menyilangkan kedua pedang di depan dada, matanya mencorong memandang kearah Liu Bhok Ki.
“Liu Bhok Ki, bersiaplah engkau untuk mati di ujung pedangku!” bentak pemuda itu dan tiba-tiba saja pedangnya mencuat berubah menjadi sinar terang menusuk kearah dada pria setengah tua itu.
Liu bhok ki bersikap tenang saja. Dengan gerakan mantap dia mengelak ke bukan belakang melainkan kesamping bahkan memajukan kakinya dan tangan kirinya menampar dari samping kearah kepala lawan.
Ketika CoaSiang Lee merasa betapa ada angina pukulan yang amat kuat mendahului tangan lawan, cepat dia menggerakkan pedang kedua di tangan kanan untuk menangkis dan sekalian membabat lengan lawan.
Liu Bhok Ki menarik kembali tangannya dan kini kakinya menendang dengan tendangan kilat kedepan. Tendangan ini mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan diapun terpaksa meloncat ke belakang sambil memutar kedua pedang melindungi dirinya. Liu Bhok Ki tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyusun serangan baru. Dia cepat melangkah maju dan menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan kedua tangan dan kakinya.
Pemuda itu semakin kaget dan diapun mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak kesana-sini dan kadang- kadang menggunakan kedua pedangnya untuk membendung banjir serangan lawan itu. Dia terdesak hebat. Melihat betapa jago muda mereka terdesak walaupun mempergunakan sepasang pedang sedangkan Liu Bhok Ki bertangan kosong, tiga belas orang anggota Hek- Houw-pang tingkat tinggi itu lalu menyerbu dan mengepung Liu Bhok Ki. Itulah Cap-sha-tin (Barisan Tiga Belas) yang diciptakan oleh perguruan Hek-Houw- pang dan dilatih selama setahun ini untuk
dipergunakan menghadapi Liu Bhok Ki. Tadinya, mereka mengharapkan Sian Lee akan mampu menandingi musuh besar itu.
Coa Siang Lee memang putera kandung mendiang Coa Kun Tian. Kun Tian ketika masih hidup terkenal sebagai seorang laki-laki perayu wanita. Banyak sudah korban berjatuhan akibat rayuannya. Akan tetapi hanya ada seorang gadis yang mengandung akibat perbuatannya itu dan kemudian lahirlah Coa Siang Lee. Gadis itu menghadap ketua Hek-Houw-pang setelah mendengar akan kematian Coa Kun Tian, membawa anak laki-laki itu. Coa Siong, pangcu (ketua) Hek-Houw-pang menerima cucunya yang tidak sah itu dan Coa Siang Lee lalu digembleng, bukan hanya oleh kakeknya, bahkan oleh kakeknya dikirim kepada beberapa sahabat, tokoh-toh kangouw yang lihai, untuk memperdalam ilmu silatnya. Kini, dalam usia dua puluh dua tahun lebih, Siang Lee pulang dan telah memiliki tingkat kepandaian yang melebihi tingkat kakeknya sendiri. Dia memang sejak kecil sudah mendengar kisah kematian ayahnya. Maka dia lalu dijadikan jago Hek-Houw-pang dan diharapkan akan dapat membalas dendam kepada musuh besar itu. Cap-sha-tin dari Hek-Houw-pang segera maju setelah melihat kenyataan betapa Siang Lee terdesak oleh Liu Bhok Kid an kini barisan itu mengepung pria tinggi besar yang gagah perkasa itu dan pedang mereka menyerang secara bertubi-tubi dan teratur sekali. Setiap kali Liu Bhok Ki mengelak dari suatu sambaran pedang, sudah ada pedang lain yang menyambutnya dengan tusukan atau bacokan. Semua bergerak secara otomatis dan kemana pun dia mengelak, selalu disambut serangan pedang lain. Dan setiap kali dia hendak membalas, sudah ada dua tiga batang pedang lain menyerangnya dari kanan kiri dan belakang, membuat dia sama sekali tidak sempat untuk balas menyerang lawan!
Tiba-tiba, tiga belas buah mulut mengeluarkan suara melengking panjang, sambung menyambung dan karena mereka itu mengerahkan khi-kang, maka tenaga yang tergabung ini menjadi kuat sekali, disusul gerakan pedang mereka menyerang secara berbareng dari semua jurusan! Liu Bhok Ki terkejut.
Harus diakuinya bahwa Cap-sha-tin ini hebat dan berbahaya. Dia cepat mengenjot tubuh keatas untuk menghindarkan diri dari serangan tiga belas batang pedang itu. Akan tetapi dua sinar terang meluncur dan menyerangnya selagi tubuhnya masih meloncat keatas.
Itulah sepasang pedang di tangan Siang Lee yang kini membantu Cap-sha-tin. Pemuda itu meloncat dan tubuhnya meluncur seperti terbang saja, didahului dua batang pedangnya yang lihay.
“Ahhh ….!” Liu Bhok Ki terkejut dan mengeluarkan bentakan ini, tangannya diputar untuk menangkis sinar pedang. Lengannya menangkis pedang. Namun sebatang pedang yang menyeleweng pundak kiri Liu Bhok Ki sehingga bajunya terobek dan kulitnya terluka mengeluarkan darah! Liu Bhok Ki berjungkir balik dan tubuhnya dapat turun diluar kepungan Cap-sha-tin ! kini barisan itu sudah berlari-larian mengepungnya lagi, dari jarak agak jauh, sedangkan Siang Lee yang paling lihay diantara mereka, kini berada di bagian kepala seolah-olah barisan itu membentuk seekor ular yang melingkari tempat itu dengan Liu Bhok Ki di tengah, dan Coa Siang Lee memimpin atau menjadi kepala ular.
Liu Bhok Ki berdiri tegak, kedua kakinya dipentang lebar, tubuhnya tidak bergerak, hanya matanya yang melirik kke kanan kiri pemperhatikan gerakan barisan itu.
Perlahan-lahan dia melolos sabuknya ketika barisan yang mengepung sambil berlari mengitarinya itu mempersempit lingkaran. Melihat ini, seorang diantara murid-murid Hek- Houw-pang mengeluarkan isarat kawan-kawannya, terutama kepada Siang Lee agar berhati-hati karena dia tahu betapa lihainya Liu Bhok Ki dengan senjata sabuk kain tebal yang kelihatan sederhana itu.
Pernah Liu Bhok Ki dikeroyok puluhan orang murid Hek- Houw-pang yang kesemuanya bersenjata pedang tau golok, namun sabuk itu membuat para pengeroyok tidak berdaya, bahkan banyak diantara mereka yang mengalami luka-luka berat, dan ada pula yang tewas.