Mutiara Hitam Chapter 72

NIC

Sinar kecil putih itu terpental kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pancing itu tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali kedua orang ini mendapat kenyataan bahwa lawan masing-masing selain memiliki tenaga yang kuat, juga sama-sama ahli dalam menggunakan senjata rahasia bertali itu. Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak dua kali itu kini saling pandang dan kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini, Pak-sin-ong diam-diam meremang bulu tengkuknya. Benar-benar kakek kecil itu menyeramkan sekali, pikirnya.

"Huah-ha-ha-ha, belum juga lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita datang, hayo kita putuskan siapa diantara kita bertiga yang patut menjadi Bengcu, ha-ha-ha"

Kakek kecil itu kini sudah melangkah maju di antara kedua orang calon lawannya, memasang kuda-kuda dan siap untuk menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek kecil ini biarpun bertangan kosong namun amat berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk menjaga diri.

Pada saat itu, datang angin besar bersuitan yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang hebat. Seakan-akan datang angin, taufan mengamuk dan di antara angin besar ini terdengar jelas langkah kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah kaki gajah. Tiga orang itu saling pandang dan karena mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya seorang yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti penuh kewaspadaan. Tak lama kemudian benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti hwesio, mukanya seperti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali, mukanya yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling dipukulkan berbunyi nyaring dan berisik.

"Tak salah lagi, engkau tentulah Thai-lek Kauw-ong"

Seru Bu-tek Siu-lam sambil memandang penuh perhatian.

"Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?"

Tanya Siauw-bin Lo-mo, juga memandang penuh perhatian karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah menjulang tinggi di dunia kang-ouw.

"Hi-hik. Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet, dan jelas tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong"

"Bagus, kebetulan sekali"

Kata Pak-sin-ong yang biarpun di dalam hatinya terkejut menyaksikan kedatangan orang yang mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan memandang rendah.

"Sekarang sudah lengkap, empat tokoh besar yang dicalonkan menjadi Bengcu. Kita menanti apalagi? Mari mengeluarkan kepandaian menentukan siapa yang lebih unggul"

Mendengar ini, Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah meloncat mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum benangnya, sedangkan Pak-sin-ong sudah mencabut gergaji dan pancingnya, adapun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang kuda-kuda, kedua tangannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun raksasa gundul yang baru datang, setelah berganti-ganti memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng kepalanya yang besar, mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sampai lama baru keluar suara dari mulutnya.

Kakek gundul ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pengikut sungguhpun banyak kaum sesat di Pantai Timur menjagoinya karena kakek ini muncul dari pulau-pulau di laut timur. Akan tetapi kakek ini memang tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia hanya tertarik mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka untuk diajak mengadu ilmu. Thai-lek Kauw-ong ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi tentang kebaikan maupun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri, tidak mengenal hukum-hukum dan bertindak seenak hatinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain.

Karena ini, banyak ia melakukan hal-hal yang bagi umum dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut anggapan umum amat baik. Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak berdasarkan baik atau jahat, hanya menurut perasaan dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun tangan secara kejam melebihi iblis membunuh-bunuhi orang-orang yang sama sekali tidak salah. Kalau hatinya lagi senang, biar orang bersikap keterlaluan kepadanya, ia akan tertawa saja. Ia seorang aneh, dan tidak pandai bicara. Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran sekali.

"Apakah kau tidak ingin menjadi Bengcu?"

Tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.

"Tidak ada Bengcu"

Jawab Si Kakek Gundul singkat.

"Huah-ha-ha-ha. Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali. Bukankah kita berempat ini datang di sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara kita? Kalau tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?"

"Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak Terlawan)?"

Ucapan itu singkat namun jelas maksudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak menyatakan bahwa seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi, juga tidak ditentukan siapa menjadi bengcu dan keenam orang iblis itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat. Sekarang, apa salahnya kalau mereka berempat pun tidak saling bersaing dan hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam? Namun tiga orang aneh yang mendengar usulnya ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu adalah karena mereka, bertiga ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan hitam dan tentu saja jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat. Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang Khitan dan Mongol.

Ia selalu rindu untuk merampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka tentu saja ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan mengandalkan bantuan kaum sesat di dunia persilatan tentu akan lebih mudah baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan. Orang ke tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang dan semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi musuh besar dari Beng-kauw maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta merampas Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya mengapa tiga orang aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak bicara.

"Pemilihan Bengcu harus diadakan"

Seru Bu-tek Siu-lam.

"Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?"

Kata pula Pak-sin-ong penasaran.

"Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian"

Siauw-bin Lo-mo juga berkata.

Posting Komentar