Tapi ia kecele, sebab orang itu ternyata telah tiada di kamarnya lagi.
Kalau melihat bantal dan selimut yang masih baik2 berada diatas ranjang, nyata sekali semalam sama sekali orang aneh itu tidak tidur disitu, dan sejak kapan orangnya menghilangpun susah diketahui.
Karena kejadian ini, hati Jing-ling-cu menjadi murung, tapi apa daya ? Dalam pada itu, mengenai diri Lou Jun-yan sejak meninggalkan kuil Lo seng-tian, ditengah jalan teringat olehnya kejadian dikelenteng itu, dimana ia telah menggoda habis2an beberapa tokoh angkatan tua, diam2 ia merasa geli sendiri dan saking senangnya, sepanjang jalan ia bersenandung per-lahan2 sembari memainkan tetumbuhan bunga hutan di tepi jalan, terus turun ke bawah gunung.
Setibanya dibawah puncak gunung, gadis ini menjadi ragu2, apakah begitu saja terus pulang kerumah ? Biasanya sang guru teramat keras mengawasi dirinya, kalau bukan undangan Jing-ling-cu dan sang guru enggan turun gunung, boleh jadi hingga kini ia masih tetap dikeram, kini dirinya berada sejauh ribuan li dari gurunya, tentu orang tua itu takkan tahu urusan disini ternyata begitu cepat sudah selesai ? Dan kesempatan ini mengapa tak dipergunakannya untuk pesiar dikalangan kang-ouw ? Setelah ambil ketetapan itu, hati si gadis makin gembira.
Terus saja ia melanjutkan perjalanan buat tinggalkan pegunungan Heng-san itu.
Tak terduga, karena terlalu sedikit pengalaman, dan pula Lam-gak Heng-san ini baru pertama kali ia kunjungi, jalan pegunungan ber-liku2, bilak-biluk, meski ia sudah ber- putar2 hingga hari hampir magrib, masih juga belum keluar dari tanah pegunungan itu.
Jun-yan menjadi gugup, akhirnya ia pikir2 jangan2 malam ini harus tidur dialas pegunungan terbuka.
Dalam kesalnya ia duduk diatas satu batu ditepi jalan untuk mengaso.
Tiba2 dilihatnya dari jauh ada beberapa orang yang mendatangi, sesudah dekat, ternyata mereka adalah beberapa tukang pencari kayu.
Dalam girangnya Jun-yan terlompat bangun serta berseru .
Numpang tanya, toako tukang kayu! sembari berkata, segera iapun memapak maju.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya bergerak, mendadak terasa dibelakangnya ada berkesiur angin yang sangat perlahan, se-akan2 ada seseorang yang mengintil dibelakangnya.
Gerak-gerik Jun-yan memang sangat gesit dan cekatan, ketika berasa begitu, tanpa berpaling lagi, se-konyong2 ia baliki tangannya terus meraup kebelakang.
Tapi ternyata ia hanya meraup angin belaka, ketika ia menoleh, yang tertampak hanya cuaca remang2 tanpa suatu bayanganpun.
la menjadi heran dan melengak, tapi segera ia meneruskan niatnya memapak beberapa tukang kayu tadi.
Sudah tentu para tukang kayu itu terheran-heran ketika mendadak melihat seorang gadis jelita muncul ditengah-tengah alas pegunungan yang sunyi itu.
Tadinya mereka menyangka jangan-jangan dewi kayangan yang turun kebumi.
Sesudah mendengar pertanyaan si gadis tentang jalan turun kebawah gunung, lalu dengan sangat sopannya mereka memberitahukan dengan jelasnya.
Dengan riangnya Jun-yan mengucapkan terima kasih lalu berlari-lari lagi kejurusan yang ditunjuk, tapi sesudah beberapa puluh tombak jauhnya, kembali ia merasa angin silir berkesiur lagi dibelakangnya.
Tatkala hari itu sudah mulai gelap, cuma sang dewi malam belum menampakan diri.
Kembali hati si gadis terkejut, diam2 ia memikir, apakah mungkin ada setan alas yang sedang mengintil dibelakangnya.
Ketika ia coba menghentikan langkahnya, tahu2 angin silir dibelakangnyapun lenyap.
Maka yakin sudah si gadis, pasti ada orang yang selalu mengintil, tapi bila ia mendadak menoleh toh tiada sesuatu bayangan yang terlihat olehnya? Dalam keadaan seorang diri di-tengah2 alas pegunungan, dan pula dimalam yang kini sudah gelap, sungguhpun nyali si gadis cukup tabah, tak urung ia merasa mengkirik.
Segera ia tarik senjatanya Ah-jui-bian atau pecut mulut bebek, ia siapkan ditangan untuk menjaga segala kemungkinan.
Pecut ini adalah senjata andalan gurunya, Thong-thian-sin-mo Jiau-Pek-king diwaktu mulai berkecimpung didunia kang-ouw.
Meski nama senjata itu lucu kedengarannya, tapi sebenarnya adalah sesuatu genggaman yang liehay dan jarang dilihat.
Panjang pecut itu kira2 tujuh kaki, besarnya seperti jari dan terbagi dalam ruas2 yang terbikin dari baja yang tajam sekali.
Di ujung pecut itu terdapat pula dua potong pelat baja yang tipis tajam, letak kelihayannya justru pada kedua pelat baja ini, kalau diputarkan, ke dua pelat ini bisa buka-tutup hingga mirip mulut bebek.
Begitulah, Jun-yan siapkan pecutnya ini di tangan terus melanjutkan perjalanan dengan cepat.
Beberapa kali terasa angin berkesiur lagi dibelakangnya, segera pecutnya ia sabetkan, tapi selalu mengenai tempat kosong.
Dengan sendirinya hatinya menjadi semakin heran.
Tidak antara lama, sesudah rembulan lambat laun meninggi disebelah belakangnya serta memancarkan sinarnya yang indah, diam2 Jun-yan bergirang.
Tapi ketika ia memandang kebawah, ia menjadi terperanjat tidak kepalang.
Kiranya di bawah sorot sinar bulan yang terang, kecuali bayangan tubuhnya yang tertampak memanjang kedepan ditengah pegunungan itu, terdapat pula satu bayangan orang lain yang lebih jangkung dari dirinya, kalau melihat jaraknya, orang itu terang selalu mengintil dalam jarak tiada 4-5 kaki dari belakangnya.
Memangnya sejak tadi Jun-yan curiga ada orang yang mengintil dibelakangnya hingga menerbitkan berkesiurnya angin, tapi beberapa kali ia berpaling atau menyabet dengan pecutnya, toh selalu nihil tiada sesuatu yang dilihatnya.
Kini kalau bukan dia berjalan dengan memungkiri bulan hingga bayangannya tersorot kedepan, boleh jadi ia belum berani yakin kalau berkesiurnya angin itu dijangkitkan oleh orang.
Dalam kagetnya, hati Jun-yan benar2 dek-dekan, ia menduga orang mungkin sudah lama mengintil, maka betapa hebat ilmu entengi tubuh orang itu, sungguh susah dibayangkan.
Cuma anehnya, mustahil orang itu belum insyaf kalau bayangan tubuhnya yang tersorot sinar bulan itu kini sudah dapat diketahui? Ketika per-lahan2 Jun-yan sengaja melangkah dua tindak kedepan, tahu-tahu bayangan orang itupun bertindak dua langkah.
Bila ia berlari, bayangan itupun ikut berlari, hingga mirip seperti bayangan sendiri saja.
Sembari berjalan, diam-diam Jun-yan menimang-nimang, ia pikir orang mungkin tiada maksud jahat, sebab kalau punya tujuan jahat pada sebelum bayangannya diketahui, sejak tadi-tadi sudah turun tangan.
Boleh jadi orang ini adalah Bu-lim Cianpwe atau angkatan tua dari dunia persilatan yang kenal akan kenakalannya maka sengaja hendak bergurau padanya.
Memikir akan itu, diam2 Jun-yan geli sendiri, sebab besar kemungkinan malah suhunya sendiri yang telah turun gunung dan menggoda padanya.
Diam2 ia himpun tenaganya, ia siapkan pecutnya baik2, suatu ketika, mendadak ia putar tubuh, terus menyabet ber-runtun2 tiga kali.
Cara menyerangnya itu cepat luar biasa, tapi gerak tubuh orang yang dibelakangnya itu ternyata jauh lebih cepat lagi, hingga tiga kali sabetannya mengenai tempat kosong semua.
Cuma ada hasilnya juga, sebab ia sudah pusatkan perhatian, maka sekilas dapat dilihat oleh Jun-yan, dibawah sinar bulan ada satu orang secepat angin telah melesat pergi terus menyelusup masuk kedalam rimba yang berdekatan.
Ha, masih lari ? Sudah kepergok, kau mau sembunyi kemana ? teriak Jun-yan.
Dan sambil mengangkat pecutnya, segera ia mengejar.
Sesudah menyusur rimba, ia ber-teriak2 lagi memaki dengan maksud memancing keluar orang itu, tapi pohon2 rimba itu jarang2 saja tidak terlalu rindang, hingga keadaan sekitarnya cukup terlihat jelas, sunyi senyap saja tiada seorangpun.
Tanpa terasa bulu roma si gadis berdiri, diam2 ia membatin, apakah mungkin setan atau genderuwo yang lagi menggodanya ? la coba tenangkan diri, lalu duduk dibawah satu pohon besar sambil meng-amat2i keadaan sekitarnya, tapi benar2 tiada suatu bayanganpun yang terlihat, ketika ia menengadah, sinar bulan yang putih jernih menembus rimba yang jarang itu hingga suasana malam itu tenang2 aman.
Selagi Jun-yan tengak-tengok kesana kemari, tiba2 dilihatnya diatas sebatang dahan pohon yang tumbuh miring, coraknya agak aneh.
Ketika ditegasi, ternyata bukan dahan pohon, tapi kain baju yang ber-goyang2, terang seorang manusia terpantek miring dibatang pohon besar itu dengan ilmu kepandaian lip te-seng-kin atau berdiri ditanah tumbuh akar, semacam ilmu yang memberatkan tubuh yang pernah didengar tapi belum pernah dilihatnya.
Ilmu lip-te-seng-kin itu adalah kepandaian tunggal kaum Khong-tong-pay.
Yang melatih ilmu ini, kalau Iwekangnya belum punya dasar yang kuat, tak nanti bisa berhasil.
Kalau begitu, apakah mungkin orang ini adalah Li Pong, Ciang-bun-jin atau ketua dari Khong-tong-pay yang berjuluk Liok-hap-tong-cu itu ? Li Pong itu di waktu berusia tujuh belas tahun, ilmu silatnya sudah menjagoi sesama saudara seperguruannya, dengan liok-hap-to-hoat dari Khong-tong-pay mereka, sekaligus ia telah kalahkan tiga puluh lima saudara perguruannya hingga diangkat sebagai ketua.
Sebab itulah orang kang-ouw menyebutnya Liok-hap-tong-cu atau sibocah pemain Liok-hap-to.
Kini meski usianya sudah lanjut, tapi julukan muda itu masih belum terhapuskan.
Jun-yan pikir Li Pong adalah kawan sehidup semati gurunya, Jiau Pek-king, biasanya suka menggoda dan bergurau padanya.
Maka ia menduga orang ini pasti Li Pong adanya.
Hatinya menjadi lega, dengan ketawa-ketawa segera ia menegur .
Hayo, Li-sioksiok (paman Li), sudah dapat kukenali, kenapa masih kau pura2 tidak tahu disitu ? Lekaslah turun ke mari, ajarkanlah padaku ilmu golokmu Liok-hap-to-hoat.
Bila tidak nanti aku akan siarkan kau seorang tua sengaja menindas yang muda, coba bagaimana kau akan membela diri ? habis berkata lalu iapun berdiri.
Dan ketika ia mendongak pula sambil berkata dengan ketawa.
Nah, Li........
belum lagi sioksiok diucapkan tiba2 ia merasa mukanya seperti teraling-aling sesuatu nyata itulah muka seorang yang jelek dan menyeramkan luar biasa yang hampir-hampir menempel dengan mukanya, maka teranglah bahwa orang itu sekali-kali bukan Liok-hap-tong-cu Li Pong yang disangkanya, tapi adalah si orang aneh yang dilihatnya dikelenteng Lo- seng-tian siang tadi.
Kiranya tadi tubuh orang aneh itu terpantek miring keatas dibatang pohon, tapi kemudian menggantung kebawah, hingga mukanya hampir2 berciuman dengan mukanya Jun-yan ketika si gadis berdiri.