Manusia Aneh di Alas Pegunungan Chapter 11

Maka tanpa ragu2 lagi Jun-yan mendekatinya, cuma untuk menjaga segala kemungkinan pecutnya ia siapkan ditangan.

Lalu golok yang diangsurkan orang aneh itu diterimanya.

Melihat itu, Liok-hap-tong-cu Li Pong menjadi lega, golok pusaka itupun ia terima kembali dari si gadis, dan katanya .

Setan cerdik, sekali ini benar2 berkat kau ! Kebaikanmu ini tentu takkan kulupakan! Takkan melupakan, apa gunanya ? Masakan kau bakal memberikan golok itu padaku? demikian sahut Jun-yan.

Lalu iapun berkata lagi pada dirinya sendiri .

Ah, betapa baiknya kalau benar2 golok pusaka ini milikku ? Siapa duga, baru selesai ia berkata, mendadak si orang aneh itu terus menerjang ke arah Li Pong, kelima jarinya terpentang terus hendak merebut golok itu, diwaktu tangannya bergerak itu samar2 membawa suara yang gemuruh.

Lekas2 Li Pong enjot tubuh berjumpalitan kebelakang hingga jauh sambil berseru .

Ilmu Pi-lik-cio yang hebat ! Setan cerdik, apa yang kau katakan tadi memang benar, orang ini mahir benar dalam berbagai cabang silat, ilmu pukulan Pi-lik-cio ini adalah kepandaian tunggal keluarga In di Holam yang hanya diturunkan kepada anaknya, ternyata diapun bisa menggunakannya, benar-benar hebat dan aneh ! Begitu ia melompat mundur, segera orang aneh itu memburunya dan beruntun- runtun melontarkan beberapa jurus serangan buat merebut golok, tapi Li Pong sudah memegang senjata pusakanya, iapun tidak gentar pula, segera ia mainkan Liok-hap-to- hoat dengan kencang hingga orang aneh itu ditahan dalam jarak-jarak tertentu tak mampu mendekat.

Karena itu, maka terdengarlah orang aneh itu bersuara uh-uh-uh pula, rupanya gugup karena seketika tak bisa merebut senjata lawan.

Lekas kau pulang ketempatnya Jing-ling-cu saja, buat apa masih keluyuran disini ? kata Jun-yan kemudian.

Aneh bin ajaib, terhadap apa yang dikatakan Jun-yan, ternyata orang aneh itu selalu menurut.

Maka sekali putar tubuh, cepat ia mengeloyor pergi.

Li Pong dan Jun-yan ter-mangu2 melihat kelakuan orang yang susah dimengerti itu.

Berpuluh tahun aku berkecimpung di kang ouw, tapi belum pernah kenal dikalangan persilatan ada seorang tokoh aneh seperti ini , demikian kata Li Pong saking herannya.

Kalau melihat tindak tanduknya sudah terang seorang gendeng yang tak merasa lagi asal usul dirinya sendiri.

Menurut aku, Jing-ling-cu harus mengumpulkan semua tokoh2 dunia persilatan dari yang rendah sampai yang tinggi, boleh jadi baru bisa mengenalinya! Maka kini biarlah aku pergi ke Ciok-yong-hong untuk menemui Jing-ling- cu, apakah kau juga ingin ikut? Ah, tidak , sahut Jun-yan menggelengkan kepala.

Tapi harap Li-siok-siok, jangan sekali2 kau beritahukan suhu tentang jejakku ini, bila kau mengatakan padanya, kelak pasti aku akan siarkan kejadian golokmu dirampas orang aneh tadi, coba pamormu bakal merosot atau tidak ? Habis berkata, dengan tertawa ter-kikih2 ia terus berlari pergi.

Melihat kenakalan si gadis, Li Pong hanya bisa angkat bahu sambil tersenyum, lalu melanjutkan perjalanannya ke Ciok-yong-hong.

Dengan kata2nya tadi, Jun-yan sudah yakin meski ia keluyuran setengah atau selama setahun diluaran, pasti juga Li Pong akan membelanya dimuka sang suhu, maka tak kuatir lagi kini, saking senangnya larinya tambah cepat.

Malamnya, ia dapatkan sebuah penginapan disuatu kota kecil dibawah gunung, tapi belum lagi fajar tiba ia sudah bangun, ia melompat keluar melalui jendela, ia pilih sebuah gedung yang paling mentereng dan digerayanginya belasan lonjor emas yang seluruhnya hampir 400 tahil, dengan ini ia akan gunakan sebagai biaya pesiarnya nanti.

Memangnya Jun-yan murid Thong-thian-sin-mo yang terkenal ksatria bukan, penjahat pun tidak, maka mesti sementara menjadi pencuri, Jun-yan tidak merasakan sesuatu keganjilan.

Setibanya kembali dihotel, hari masih belum terang, ia masuk tidur lagi hingga hari sudah dekat lohor baru mendusin, tapi baru saja sadar, segera ia merasakan sesuatu yang aneh, di dekat lehernya serasa dingin tajam, seperti ada sesuatu senjata tajam terletak disitu.

Ketika ia menoleh kesamping, maka terlibatlah sebilah golok pusaka yang memancarkan sinar hijau menyilaukan, persis terletak diujung hidungnya, jaraknya tidak lebih dari satu senti saja.

Coba bila ia menolehnya sedikit sembrono, boleh jadi hidungnya yang mancung itu sudah menjadi pesek.

Demi nampak golok pusaka itu, segera Jun-yan mengenali itu adalah Pek-lin-to milik Khong-tong-pay, maka tanpa ragu2 lagi segera ia berteriak.

Ha, Li-siok-siok, kau selalu mau takut2i aku saja! Tapi meski ia mengulangi teriakannya, masih tiada orang menyahut, malahan terdengar pelayan hotel yang sedang menegur diluar.

Apakah nona sudah bangun ? Apakah perlu diambilkan air cuci muka ? Siau-ji-ko (panggilan pada pelayan), mari kau masuk, aku ingin tanya padamu ! sahut Jun-yan sembari betulkan rambutnya yang kusut.

Sebenarnya datangnya Jun-yan seorang diri menginap dihotel sudah membikin pengurus hotel merasa heran, kini dilihatnya pula si gadis tidur hingga kasir lagi kasak kusuk dan bisik-bisik diluar kamar, kini demi mendengar panggilan, segera mereka mendorong pintu dan masuk kekamar.

Tapi begitu pintu terbuka, mendadak mereka melihat si gadis berdiri didepan ranjang sambil menghunus golok, mereka menjadi terpaku kaget, malahan saking ketakutan kasir hotel itu sampai mendeprok ditanah sembari memohon .

Am........ampun Li-tai-ong (sebutan pada begal wanita) ! sedang sipelayanpun ikut-ikut mendekam diatas tubuh sikasir dengan badannya menggigil ketakutan.

Mengkal dan geli si gadis melihat macam kedua orang itu, lalu dampratnya .

Ngaco belo, masa aku kalian sangka Li-tai-ong apa segala? Lekas bangun! Dengan gemetar kedua orang itu berbangkit tapi muka mereka tetap pucat bagai mayat.

He, apakah semalam kalian melihat ada orang memasuki kamarku ? tanya Jun- yan.

Kedua orang itu saling pandang dengan heran oleh pertanyaan itu.

Tidak ada! sahut mereka akhirnya.

Tiada seorang kakek buntak bertangan merah yang masuk kemari ? desak Jun- yan.

Tidak ada, tidak ada! sahut kedua orang itu berulang-ulang.

Jun-yan menjadi semakin heran dan bingung tiba-tiba dapat dilihatnya disamping bantalnya terdapat pula secarik kertas kecil, lekas-lekas ia mengambilnya dan dibaca, ternyata diatasnya tertulis dua huruf Jing-kin , gaya tulisannya kuat dan indah, selain itu, tiada sesuatu lagi yang didapatkannya.

Semakin Jun-yan tak faham apakah artinya itu, dan meski sudah dipikir dan tiada mengerti, akhirnya iapun simpan baik-baik golok pusaka itu dan pesan pelayan menyediakan makanan, habis itu, iapun tinggalkan hotel.

Ia membeli seekor kuda kuat untuk alat pembantu perjalanannya, sepanjang jalan ia selalu tungak tengok kesana kemari hingga sangat menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang, namun sama sekali ia tak menghiraukan.

Jalan yang diikutinya itu ternyata adalah jalan raya yang menuju kota Hengyang, suatu kota yang ramai makmur dan terkemuka diwilayah Oulam dan banyak dikunjungi saudagar2.

Diatas kudanya Jun-yan sangat terpesona oleh keramaian lalu lintas itu.

Tiba2 didengarnya ada suara keleningan bercampurkan suara berdetaknya kaki kuda dari belakang, ketika ia menoleh, kiranya seorang Su-seng atau orang sekolahan, menunggang seekor keledai sedang mendatangi cepat dari belakang.

Orang menunggang keledai sebenarnya tidaklah mengherankan, tapi Suseng ini justru anak aneh, sebab caranya menunggang binatangnya itu dengan mungkur, jadi seperti caranya Thio-ko-lo, itu dewa dalam cerita Pat-sin (delapan dewa).

Pula keledai itu meski kecil, tapi larinya ternyata amat cepat, lebih aneh lagi ialah bulu tubuhnya seluruhnya putih mulus, sebaliknya empat telapakan kaki dan ekornya hitam mengkilap.

Ter-heran2 Jun-yan melihat macam keledai yang menarik itu, diam2 ia membatin .

Keledai ini hebat amat, jika dapat kurebutnya untuk pesiar ke-mana2, bukankah jauh lebih bagus daripada menunggang kuda belian ini ? Tapi sipelajar muda itu se-akan2 dapat menerka akan maksud hatinya, tiba2 ia membentak, segera keledai putih itu pentang kaki terus lari cepat luar biasa.

Sesaat itu Jun-yan malah tertegun, ketika ia sadar kembali, dua saudagar yang berlalu disitu sudah mendahuluinya lagi.

Lekas2 ia berdiri diatas kudanya untuk melongok, tapi keledai sipelajar sudah jauh sekali, untuk mengejar rasanya tak mudah, diam2 ia menyesal kenapa tadi melepaskan kesempatan baik itu.

Sedang ia ter-menung2, tiba2 disamping ada orang membentak keras2 .

Sam- thay....

lalu yang seorang menyambung.

Piau-kiok! Nada teriakan itu semuanya sengaja ditarik panjang2 hingga kedengarannya rada aneh dan lucu.

Ketika Jun-yan berpaling, kiranya itu adalah dua orang pembuka jalan dari sesuatu perusahaan pengawalan.

Memangnya hati Jun-yan lagi mendongkol, apa pula tiba2 melihat kedua pembuka jalan Piau-kiok itu selalu melarak-lirik kearahnya seperti copet mengincar sasarannya, tentu saja ia menjadi gusar.

Setan, disamping nonamu, kenapa gembar-gembor sesukanya? demikian dampratnya.

Pada umumnya, sebagai pengawal rendahan Piaukiok, meski bisa silat juga tiada artinya, tapi karena pengalaman pekerjaan mereka yang senantiasa merantau, mulut mereka justru tajam luar biasa, lebih-lebih kata-kata yang bersifat menggoda dan rendah, jangan ditanya lagi! Maka ketika mendengar Jun-yan mendamprat orang tanpa alasan, cara mereka memandang si gadis menjadi semakin berani, mereka tidak melirik lagi kini, tapi sengaja mengamat-amati dari depan sampai kebelakang dan dari kepala turun kekaki lalu dari kaki naik lagi keatas.

Menghadapi seorang gadis jelita, tentu saja mereka menjadi tambah berani dan ingin mendapatkan keuntungan kata-kata.

Mereka saling pandang sekejap, lalu tertawa bersama, sikap mereka sangat rendah memuakkan.

He, nona besar, kami bukan lakimu, kenapa belum kenal, datang-datang kau memaki orang ? segera seorang buka suara.

Posting Komentar