Lembah Selaksa Bunga Chapter 16

NIC

“Huss!” Siang Lan memotong. “Di sini jangan sebut namaku, aku tidak ingin terdengar orang lain. Engkau telah mendengar apa, Li Ai?”

“Aku sudah mendengar bahwa Sim Kongcu, putera Pangeran Sim yang terkenal itu menikah dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya! Kalau tidak salah dengar, ia itu cucu Jaksa Ciok Gun, bukan?”

“Benar sekali! Sumoi Ong Lian Hong adalah cucu Jaksa Ciok. Ibunya puteri Jaksa Ciok dan ayahnya adalah mendiang Suhu Ong Han Cu. Ah, jadi mereka sudah menikah?” Siang Lan termenung, merasa betapa hatinya hampa dan kering. “Hemm, tahukah engkau di mana sekarang Sumoi tinggal?”

“Yang kudengar, sebagai mantu Pangeran Sim tentu saja ia tinggal bersama suaminya di rumah mertuanya itu. Pernikahan mereka menjadi buah bibir masyarakat yang mengagumi mereka, Enci, karena pengantin pria yang tampan, pengantin wanita cantik jelita dan keduanya merupakan pendekar-pendekar yang amat lihai. Begitu yang kudengar dibicarakan orang. Ayah juga bercerita banyak tentang mereka setelah pulang dari menghadiri perayaan pernikahan mereka.”

Siang Lan semakin tenggelam ke dalam lamunannya. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa girang dan bahagia membayangkan kebahagiaan Ong Lian Hong, sumoi yang dikasihinya itu, akan tetapi ada pula perasaan haru dan sedih mengingat akan keadaan dirinya sendiri yang sudah ternoda tanpa ia mampu membalas dendamnya kepada musuh besar itu. Awas kamu, hatinya berteriak, akan tiba saatnya aku menghancurkan kepalamu dan membelah dadamu, Thian-te Mo-ong.

“Engkau kenapa, Enci?” Li Ai bertanya melihat perubahan muka pendekar wanita itu.

“Ah, tidak apa-apa, Li Ai. Aku hanya berpikir bahwa sebaiknya aku tidak mengunjungi mereka dulu karena aku tidak sempat hadir dalam perayaan pernikahan mereka. Aku merasa malu dan bersalah bertemu mereka. Setelah Ayahmu diurus pemakamannya, kita pergi meninggalkan kota raja, kalau benar-benar sudah bulat tekadmu untuk ikut dengan aku.”

“Tentu saja aku ikut denganmu, Enci, kemana pun engkau pergi. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya, kenapa engkau tidak menghadiri pesta pernikahan Sumoimu itu?”

“Mereka tidak tahu aku berada di mana sehingga tidak dapat mengundangku dan aku pun tidak tahu kapan mereka menikah. Berbulan-bulan ini aku sibuk membenahi tempat tinggalku yang baru saja kudapatkan.”

“Di mana itu, Enci?”

“Di Lembah Selaksa Bunga.” “Ah, alangkah indah nama itu.” “Tempatnya pun indah, terletak di bukit kecil. Lembah itu penuh dengan beraneka macam bunga, maka disebut Ban-hwa-san-kok (Lembah Bukit Selaksa Bunga) dan di sana aku memimpin perkumpulan wanita Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga).”

“Perkumpulan wanita, Enci? Anggautanya semua wanita?”

“Benar, semua wanita yang tidak berkeluarga, jumlah mereka ada tigapuluh lima orang. Baru beberapa bulan aku merampas Lembah Selaksa Bunga dari tangan orang-orang jahat.”

“Ah, aku akan senang tinggal di sana dan belajar ilmu silat darimu, Enci!”

Siang Lan tinggal di gedung keluarga Kui itu sampai tiga hari lamanya. Setelah jenazah Kui Seng dimakamkan, ia mengajak Li Ai bercakap-cakap dalam kamarnya.

“Li Ai, engkau merupakan ahli waris tunggal dari mendiang Ayahmu. Biarpun ada Ibu tirimu, akan tetapi yang lebih berhak adalah engkau karena engkau puterinya dan Nyonya Kui itu hanya ibu tirimu. Maka engkaulah ahli-waris Ayahmu dan berhak menguasai semua harta ayahmu. Engkau di sini tinggal di rumah gedung dan memiliki harta yang banyak, sedangkan kalau engkau ikut denganku, engkau akan tinggal di sebuah bukit sunyi dan aku bukanlah orang kaya.”

“Enci, apa maksudmu dengan kata-kata ini? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak jadi dan tidak ingin mengajakku?” tanya Li Ai dengan mata terbelalak penuh kegelisahan.

“Bukan begitu, Li Ai. Aku hanya sangsi apakah engkau akan betah tinggal di tempatku, meninggalkan semua kemewahan ini.”

“Kenapa engkau masih merasa sangsi, enci? Bagaimanapun juga, aku tidak mau tinggal di sini bersama Ibu tiriku. Kalau andaikata engkau tidak mau mengajakku, aku pun pasti akan pergi meninggalkan rumah ini.”

“Aku sama sekali tidak keberatan kalau engkau ikut aku, bahkan aku merasa senang. Baiklah, kalau engkau merelakan semua harta warisanmu terjatuh ke tangan Ibu tirimu yang sikapnya terhadapmu amat buruk itu. Kalau begitu, kemasi barangmu dan mari kita berangkat.”

“Nanti dulu, Enci!” “Ada apalagi, Li Ai?”

“Mendengar ucapanmu tadi, seperti dibangkitkan semangatku. Ibu tiriku memang selalu membenciku, biarpun hal itu ia sembunyikan dari mendiang Ayahku. Engkau benar, harta warisan Ayahku, tidak boleh semuanya jatuh ke tangannya. Biarlah gedung ini karena gedung ini merupakan pemberian pemerintah yang tentu akan diambil kembali. Akan tetapi uang Ayah, perhiasan peninggalan Ibu kandungku, semua itu harus kubawa. Tentu kita dapat mempergunakannya di Lembah Selaksa Bunga!”

“Hemm, terserah, bukan aku yang menyuruhmu, akan tetapi aku mendukungmu, Li Ai.”

“Sebaiknya begitu, Enci, karena aku yakin Ibu tiriku tidak rela kalau aku membawa harta benda Ayah.”

Li Ai lalu pergi ke kamar pribadi ayahnya, akan tetapi ternyata kamar itu terkunci, “Hemm, kamar ini tentu dikunci oleh Ibu tiriku. Enci, kita dobrak saja pintunya.”

“Jangan, Li Ai, lebih baik kita minta kunci itu dari Ibu tirimu. Engkau berhak memegang kunci itu.”

Mereka lalu mencari Nyonya Kui yang berada di kamarnya sendiri. Mereka melihat Nyonya Kui sedang bicara dengan seorang laki-laki setengah tua berpakaian perwira dan ketika dua orang gadis itu memasuki ruangan dalam, perwira itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Nyonya Kui bangkit berdiri dengan alis berkerut akan tetapi tampak jerih melihat Li Ai muncul bersama Hwe-thian Mo-li yang ia takuti.

“Ibu, aku ingin minta kunci kamar pribadi mendiang Ayahku,” kata Li Ai. “Aku...... tidak tahu ” jawab Nyonya Kui dengan alis berkerut.

“Ibu, jangan berbohong. Hanya mendiang Ayah, engkau dan aku yang boleh membuka kamar itu, dan aku berhak untuk memasuki kamar Ayahku.”

“Nyonya, harap engkau tidak membuat ulah, Kui Li Ai berhak atas rumah dan semua harta benda Ayahnya. Sebaiknya engkau serahkan kunci itu kepadanya agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan untuk membela Adik Kui Li Ai!” kata Hwe-thian Mo-li. Dengan jari-jari tangan gemetar wanita itu mengambil sebuah kunci dari balik ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Li Ai dengan cemberut tanpa bicara apa pun.

Li Ai menerima kunci dan bersama Hwe-thian Mo-li lalu membuka pintu kamar mendiang Panglima Kui yang cukup luas itu. Karena sudah mengetahui di mana ayahnya menyimpan harta benda berupa uang emas dan juga perhiasan yang dulu menjadi milik ibu kandungnya, maka langsung saja Li Ai menuju ke sebuah almari besar dan karena ia tidak menemukan kuncinya, ia minta kepada Siang Lan untuk membukanya dengan paksa.

Dengan mudah Siang Lan membuka pintu almari itu dan Li Ai lalu mengambil harta benda yang banyak dari almari, membungkusnya dengan kain. Karena harta benda itu cukup banyak dan berat, maka Siang Lan membantu membawanya dengan menggantung bungkusan kain itu punggungnya. Li Ai sendiri menggendong buntalan berisi pakaiannya.

Setelah itu mereka berdua keluar dari gedung tanpa pamit lagi kepada ibu tiri Li Ai. Beberapa orang wanita pelayan yang setia dan sayang kepada gadis itu, sambil menangis mengikuti Li Ai sampai di luar gedung. Li Ai memberi beberapa potong uang emas kepada mereka karena mereka menyatakan bahwa setelah Li Ai pergi, mereka pun akan meninggalkan gedung itu. Nyonya Kui adalah seorang wanita yang galak dan membenci Li Ai sehingga para pelayan yang sayang kepada Li Ai juga ikut pula dibencinya.

Tadinya Siang Lan menduga bahwa mereka berdua akan menghadapi gangguan dan halangan keluar dari gedung itu. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Mereka keluar dari gedung dan terus menuntun dua ekor kuda yang diambil oleh Li Ai dari dalam kandang kuda sampai ke jalan raya di depan gedung.

Mereka berdua menunggang kuda dan menjalankan kuda mereka perlahan-lahan keluar dari kota raja. Ternyata bahwa biarpun Li Ai tidak pernah belajar ilmu silat secara mendalam, sebagai seorang puteri panglima ia cukup pandai dan sudah biasa menunggang kuda.

Akan tetapi, belum terlalu jauh mereka meninggalkan pintu gerbang kota raja dan tiba di jalan yang sepi, mereka melihat segerombolan orang berdiri menghadang di jalan. Li Ai segera berkata kepada Siang Lan dengan lirih dan tampak gelisah.

“Enci, yang di depan itu adalah Perwira Can yang masih ada hubungan keluarga dengan Ibu tiriku. Mau apa mereka ?”

“Biar aku yang menghadapi mereka!” kata Siang Lan tenang saja.

Ia juga mengenal perwira yang kini berpakaian preman itu karena dia adalah perwira yang tadi ia lihat sedang bercakap-cakap dengan Nyonya Kui dan segera pergi setelah ia dan Li Ai memasuki ruangan itu. Perwira setengah tua itu bertubuh tinggi dan tampak kokoh kuat, juga sinar matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia tentu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Yang berada di belakang Perwira Can adalah orang-orang yang dari sikapnya yang tegak dapat diduga bahwa merekapun tentu para perajurit yang berpakaian preman. Biarpun mereka tidak mengenakan pakaian seragam perajurit, namun limabelas orang itu mempunyai golok yang sama dan sikap mereka adalah sikap orang-orang yang biasa berbaris dalam pasukan.

Setelah memberi isyarat kepada Li Ai untuk berhenti dan memegangi kendali kudanya sendiri, Siang Lan melompat turun dari atas punggung kuda dan melangkah menghampiri rombongan orang itu. Dengan tenang ia berhadapan dengan Perwira Can dan berkata dengan suara tenang dan mengejek.

“Apakah kehendak kalian, belasan orang laki-laki menghadang perjalanan dua orang wanita?”

Posting Komentar