Mendengar ini, Panglima Besar Chang Ku Cing menghela napas panjang dan mukanya berubah kemerahan.
“Harus kami akui bahwa pendapatmu itu ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya benar. Memang ada dan banyak terdapat pembesar yang hanya mementingkan diri sendiri, mengejar dan mengumpulkan harta benda tanpa mengingat keadaan rakyat, secara halus mencuri harta yang berasal dari rakyat dan dikumpulkan pemerintah. Harta yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat melalui pembangunan yang dibutuhkan rakyat jelata. Karena itulah dituntut kesetiaan terhadap negara.
“Panglima Kui memang seorang yang bijaksana dan tidak korup, tidak mengejar keuntungan pribadi, tidak mencuri harta negara dan tidak menindas rakyat. Akan tetapi, dia tetap bersalah karena telah membebaskan tiga orang tawanan, padahal, tiga orang Pek-lian-kauw itu merupakan musuh negara yang berbahaya.” “Akan tetapi, Kui Ciang-kun siap melakukan apa pun demi keselamatan puterinya, kalau perlu dia siap mengorbankan nyawanya!” Siang Lan mencoba untuk membantah dan tetap membela Kui Ciang-kun.
“Hemm, mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong puterinya, hal itu baik saja. Akan tetapi dalam hal ini dia mengorbankan keselamatan pemerintah dan keamanan rakyat! Kalau tiga orang pimpinan Pek-lian- kauw itu lolos, berarti negara terancam pemberontakan dan kalau terjadi pemberontakan, tentu kehidupan rakyat tidak akan aman dan akan jatuh banyak korban di antara rakyat yang tidak berdosa. Apakah tindakannya itu benar?”
Hwe-thian Mo-li dapat melihat kebenaran dalam perdebatan Panglima Besar Chang itu, maka ia mengerling kepada Kui Ciang-kun. Panglima ini menundukkan mukanya yang berubah pucat dan tubuhnya agak gemetar, agaknya dia pun menyadari akan kesalahannya. Hwe-thian Mo-li menjadi kasihan dan ia mendesak panglima besar itu.
“Thai-ciangkun, andaikata engkau yang mengalami hal seperti Kui Ciang-kun, apa yang akan kau lakukan?”
“Hemm, aku atau siapa saja di antara rakyat di negeri ini yang mengalami musibah, misalnya seperti yang dialami Kui Ciang-kun, jalan terbaik adalah melaporkan kepada yang berwenang dan yang berwajib menangani persoalan seperti itu. Atau kalau aku, aku tidak sudi membebaskan tiga orang tawanan itu demi menyelamatkan anakku. Aku akan bertindak sendiri mengejar dan berusaha menolong anakku, biarpun harus berkorban diri misalnya. Akan tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan negara!”
03.07. Akhir Pendeta Berbulu Domba
Hwe-thian Mo-li masih hendak membela Kui Ciang-kun, akan tetapi Kui Seng berkata. “Aku telah bersalah dan sudah sepatutnya dihukum mati sebagai pengkhianat. Biarlah aku menghukum diri sendiri sebagai pertanggungan-jawabku terhadap negara!”
Tiba-tiba dia mencabut dan menikamkan pedangnya ke dadanya sendiri. Dia roboh terkulai dan Hwe-thian Mo-li yang terkejut dan tidak sempat mencegah itu berlutut dan melihat bahwa nyawa panglima itu tidak mungkin dapat dipertahankan lagi. Pedang itu hampir menembus punggungnya.
“Hwe-thian Mo-li...... tolong...... tolonglah Li Ai !” Dia terkulai dan tewas.
“Ah, mengapa dia putus harapan? Mungkin Sribaginda Kaisar dapat mengampuninya mengingat akan jasa- jasanya! Akan tetapi, semua telah terjadi !” kata Panglima Besar Chang dengan suara menyesal. Setelah dia mendengar alasan mengapa bawahannya ini sampai mau membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw, kemarahan dan penasarannya mereda karena sebetulnya dia sayang kepada pembantunya yang gagah dan setia ini.
Hwe-thian Mo-li tidak bicara lagi melainkan melompat cepat lenyap dari situ. Ia harus pergi menolong Li Ai, ia sudah mendengar keterangan lengkap dari Kui Ciang-kun sebelum panglima itu tewas.
Panglima Besar Chang hanya menggelengkan kepalanya ketika isteri dan keluarga Kui Ciang-kun berlarian keluar sambil menangis. Ramailah seluruh penghuni gedung itu menangisi kematian Kui Ciang-kun. Panglima Chang lalu cepat memerintah anak buahnya untuk menyiapkan pasukan dan dia lalu menyuruh beberapa perwira bawahannya untuk membawa seribu orang pasukan menuju ke dusun Liauw-ning yang dia tahu merupakan sarang Pek-lian-kauw.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan cepat menuju ke dusun Liauw-ning. Ia merasa yakin bahwa penculik Kui Li Ai pasti merupakan komplotan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu maka tanpa ragu lagi ia lalu berlari cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
Pek-lian-kauw terkenal dalam sejarah sebagai sebuah di antara perkumpulan-perkumpulan yang menentang pemerintah dan sering mengadakan pemberontakan. Mereka itu berkedok sebagai sebuah perkumpulan agama campuran antara Agama Buddha dan Agama To, dan untuk mengelabuhi rakyat mereka menamakan diri sebagai pejuang yang memperjuangkan kemakmuran rakyat. Karena para pemimpinnya banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga ada yang menguasai ilmu sihir, maka banyak juga rakyat, terutama golongan yang miskin, tertarik oleh janji-janji mereka dan membantu “perjuangan” mereka. Akan tetapi, pihak pemerintah dan juga para pendekar tahu apa yang tersembunyi di balik kedok perkumpulan agama itu.
Mereka itu membujuk rakyat miskin untuk ikut melakukan perampokan terhadap para bangsawan dan hartawan, dan melakukan pemerasan. Para pendekar mengetahui bahwa di balik kependetaan mereka, para pemimpin Pek-lian-kauw adalah orang-orang yang kejam, tamak akan harta benda, dan sebagian besar berwatak cabul dan suka mempermainkan wanita. Karena itulah, di mana pun mereka berada, selalu mereka ditentang para pendekar. Karena banyak rakyat miskin yang terbujuk membantu mereka, maka Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan pemberontak yang cukup kuat dan besar, mempunyai cabang di mana-mana.
Dusun Liauw-ning mereka pilih menjadi cabang penting karena letaknya dekat dengan kota raja, di sebelah timur antara kota raja dan Thiang-cin. Yang memimpin cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning adalah Hoat Hwa Cin-jin, seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam menyeramkan. Hoat Hwa Cin-jin ini dibantu oleh enam orang sutenya, dua di antaranya adalah Cin Kok Tosu berusia limapuluh dua tahun yang bertubuh pendek gendut bermuka seperti monyet, dan Cia Kun Tosu, berusia limapuluh tahun bertubuh kecil kurus bermuka tampan pucat.
Ketika Leng Kok Hosiang yang menjadi utusan Pek-lian-kauw pusat menghadap Kaisar untuk mengajak damai dengan syarat Pek-lian-kauw tidak akan ditentang, Hoat Hwa Cin-jin dengan para sutenya telah siap dengan anak buah mereka untuk menyerbu kota raja kalau-kalau Leng Kok Hosiang gagal atau ditawan. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, gerakan mereka diketahui oleh Ouw-yang Sianjin yang melapor ke kota raja dan Panglima Besar Chang mengutus Panglima Kui memimpin pasukan menyerang orang-orang Pek-lian-kauw itu.
Leng Kok Hosiang yang dibantu oleh Bong Te Sian-jin dan Ngo-lian Heng-te pimpinan Ngo-lian-kauw, tewas oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, dan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun. Adapun Pek- lian-kauw digempur oleh pasukan yang dipimpin Kui Ciang-kun, dibantu oleh Ouw-yang Sian-jin sehingga tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning itu dapat ditawan hidup-hidup.
Empat dari tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu telah dihukum mati. Tiga orang dari mereka, yaitu Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu belum dihukum mati karena Panglima Besar Chang masih ingin mengorek keterangan dari mereka tentang di mana adanya cabang-cabang Pek-lian-kauw. Tiga orang tawanan itu masih belum mau mengaku dan tiba-tiba mereka dibebaskan atas perintah Panglima Kui Seng.
Mendengar ditawannya tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning dan tewasnya banyak anak buah mereka, pimpinan Pek-lian-kauw pusat menjadi marah dan mereka lalu mengutus seorang tokoh yang merupakan datuk dari Pek-lian-kauw pusat dan dia masih terhitung susiok (paman guru) dari para pimpinan cabang Liauw-ning itu, membawa duaratus anak buah menuju ke Liauw-ning. Datuk Pek-lian-kauw ini bernama Hwa Hwa Hoat-su, berusia enampuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, berwajah pucat, matanya sipit dan rambutnya sudah putih semua. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pendeta ini juga pandai ilmu sihir.
Begitu tiba di Liauw-ning, Hwa Hwa Hoat-su lalu melakukan penyelidikan dan dia mendapat keterangan bahwa yang memimpin pasukan yang menyerang dan menangkap tujuh orang murid keponakannya itu adalah Panglima Kui Seng. Dia lalu pergi mengunjungi gedung Kui Ciang-kun dan berhasil menawan Kui Li Ai. Dia mengancam akan membunuh Li Ai yang dijadikan sandera kalau Panglima Kui Seng tidak mau membebaskan tiga orang keponakan seperguruan yang ditawan itu.
Setelah dibebaskan, hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka, tentu saja tiga orang tokoh Pek- lian-kauw itu menjadi girang sekali. Mereka dipesan oleh kepala penjara, Perwira Ciok, agar segera membebaskan gadis bernama Kui Li Ai, puteri dari Kui Ciang-kun. Tentu saja mereka bertiga dapat menduga bahwa tentu seorang rekan mereka dari Pek-lian-kauw yang menculik gadis itu untuk ditukar dengan kebebasan mereka bertiga!
Ketika mereka bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw di luar dusun Liauw-ning, mereka disambut dengan gembira oleh para anak buah Pek-lian-kauw. Mereka bertiga segera menghadap Hwa Hwa Hoat-su, paman guru mereka yang telah menculik puteri Panglima Kui Seng untuk membebaskan mereka. Mereka memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada pendeta Pek-lian-kauw berambut putih itu.
“Bagus!” kata Hwa Hwa Hoat-su sambil mengelus jenggotnya yang pendek putih dan mengangguk-angguk. “Ternyata Panglima Kui Seng memenuhi permintaanku, membebaskan kalian bertiga. Kalau begitu kita juga harus memegang janji. Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, kalian berdua cepat antarkan Nona Kui Li Ai. kembali ke kota raja. Tugas ini penting, maka aku mengutus kalian berdua untuk melaksanakan agar gadis itu jangan terganggu dalam perjalanan,” kata Hwa Hwa Hoat-su kepada dua orang murid keponakannya itu.
“Akan tetapi, Susiok, Panglima Kui Seng itulah yang memimpin pasukan menangkap kami bertujuh. Empat orang Sute kami telah dihukum mati! Mengapa kita harus mengantar pulang gadis itu?” bantah Cin Kok Tosu yang mukanya mirip muka monyet. Hwa Hwa Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. “Hemm, aku Hwa Hwa Hoat-su tidak sudi mengingkari janji sendiri! Hayo cepat antarkan gadis itu kembali ke kota raja, jangan sampai ada yang mengganggunya di perjalanan!” bentak Hwa Hwa Hoat-su yang merasa sebagai seorang datuk harus memegang janjinya untuk mempertahankan namanya sebagai seorang datuk persilatan.