Sekarang, ia bukan lagi hanya mengalah kepada sumoinya yang berjodoh dengan pemuda itu, lebih dari itu, ia merasa tidak berharga untuk menjadi isteri Sim Tek Kun, bahkan menjadi isterinya siapapun juga. Ia adalah seorang gadis yang telah ternoda dan keinginan satu-satunya hanya ingin membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang amat lihai.
Ia ingin bertemu dengan Lian Hong, selain merasa rindu, juga ia ingin bertanya kepada sumoinya itu, di mana adanya Ouw-yang Sianjin, susiok (paman guru) mereka, karena untuk dapat memperoleh kepandaian yang tinggi agar dapat membalas dendam, ia ingin memperdalam ilmu silatnya dengan petunjuk Ouw-yang Sianjin.
Entah mengapa begitu memasuki kota raja dan tiba dekat tempat tinggal Jaksa Ciok, kakek dari sumoinya Ong Lian Hong, ia teringat akan Sim Tek Kun dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Bagaimana dia akan bersikap kalau bertemu mereka nanti?
Ketegangan hatinya inilah yang menunda keinginannya bertemu dengan sumoinya dan sebaliknya, ia berkunjung ke gedung Panglima Kui. Ia juga gembira ketika panglima itu masih mengenalnya walaupun baru satu kali mereka bertemu.
“Kui Ciang-kun, bagaimana keadaan Ciang-kun selama ini? Kuharap dalam keadaan baik,” kata Siang Lan.
Tiba-tiba wajah panglima yang tadinya berseri menjadi muram karena dia teringat akan keadaannya. Dia menghela napas panjang.
“Nona, mari silakan masuk ke dalam dan kita bicara. Terus terang saja, kami berada dalam keadaan yang buruk sekali, tertimpa malapetaka.”
Siang Lan mengerutkan alisnya dan ia mengikuti Kui Ciang-kun memasuki gedung itu. Mereka memasuki sebuah ruangan tertutup dan setelah duduk berhadapan, Kui Ciang-kun menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Siang Lan mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar bahwa puteri panglima itu diculik sebagai sandera memaksa Kui-Ciang-kun membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw, ia bertanya dengan hati penasaran.
“Dan engkau memenuhi permintaan mereka itu, Ciang-kun?”
Kui Seng, panglima yang sudah banyak jasanya terhadap kerajaan itu menghela napas panjang. “Habis, apa yang dapat kulakuan, Nona? Orang Pek-lian-kauw amat kejam dan bukan hanya menggertak kosong belaka. Kalau tidak kupenuhi permintaan mereka, aku yakin puteriku akan disiksa dan dibunuh. Maka, pagi- pagi sekali tadi aku memerintahkan kepala penjara yang menjadi anak buahku untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu!”
Kembali panglima itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara berat. “Kui Li Ai adalah anak satu-satunya dari keluargaku, aku rela berkorban nyawa sekalipun untuk menyelamatkannya. Akan tetapi untuk itu aku terpaksa menjadi seorang pengkhianat negara karena membebaskan para pimpinan pemberontak.”
“Akan tetapi engkau sendiri mengatakan bahwa orang Pek-lian-kauw itu kejam dan jahat. Setelah engkau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, apakah engkau yakin mereka akan membebaskan puterimu, Ciang-kun?”
“Mudah-mudahan mereka akan membebaskanya, Nona. Kalau tidak maka sia-sia saja aku mengorbankan nyawaku. Maka, aku mohon kepadamu, Nona, sudilah kiranya engkau menolong puteriku Kui Li Ai itu dari tangan mereka...... aku mohon kepadamu......” Panglima itu bangkit dari duduknya dan menjura dengan membungkuk dalam kepada Siang Lan.
Gadis itu cepat bangkit dan membalas penghormatan yang berlebihan itu. “Tenang dan duduklah, Ciang- kun. Tentu saja aku mau membantumu. Katakan, siapa nama orang yang menculik puterimu itu, dan siapa pula nama tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang telah kaubebaskan dari penjara?”
“Penculik itu adalah seorang tosu yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan dia bersenjata sebatang pedang, kulihat ada sebuah kebutan berbulu putih terselip di ikat pinggangnya. Wajahnya pucat dan, matanya sipit, rambutnya sudah putih semua. Dia tidak mengaku siapa namanya, akan tetapi aku yakin bahwa dia tentu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang amat lihai. Adapun tiga orang tawanan yang dibebaskan itu adalah tiga di antara tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw yang dulu kita tangkap.”
“Siapa nama mereka, Ciang-kun?”
“Menurut pengakuan mereka ketika mereka diperiksa dulu, nama mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu, dan Cia Kun Tosu, tiga orang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw cabang utara yang bermarkas di dusun Liauw-ning di lereng pegunungan sebelah timur antara kota raja dan Thian-cin. Nona, sekali lagi aku mohon padamu, tolonglah anakku Li Ai dari tangan mereka ”
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan muncullah belasan perajurit mengiringkan seorang yang berpakaian sebagai seorang panglima. Panglima itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah perkasa, kumis dan jenggotnya pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak berwibawa, apa lagi sinar matanya mencorong seperti mata seekor harimau.
Melihat panglima ini, tergopoh-gopoh Kui Ciang-kun keluar dari ruangan depan dan menyambutnya. Panglima itu melompat turun dari atas kudanya dan memandang kepada Kui Ciang-kun yang memberi hormat sambil berlutut sebelah kaki, Lalu memandang kepada Hwe-thian Mo-li yang berdiri di sebelah Panglima Kui itu.
“Chang Thai-ciangkun, selamat datang dan terimalah salam hormat saya,” kata Kui Ciang-kun dengan hormat.
“Kui Ciang-kun, bangkitlah berdiri!” bentak panglima itu yang bukan lain adalah Panglima Besar Chang Ku Cing penasehat kaisar bagian pertahanan dan keamanan negara, juga menjadi atasan Kui Ciang-kun. Mendengar perintah ini Kui Seng segera bangkit berdiri dengan sikap tegak siap di depan atasannya.
“Kui Ciang-kun, kami mendengar bahwa engkau telah memerintahkan kepala penjara untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berada di penjara dan yang menanti pelaksanaan hukuman mati?”
Kui Seng mengangguk. “Benar, Thai-ciangkun!”
“Hemm, Kui Seng! Engkau telah berkhianat terhadap negara, sungguh kami sebagai atasanmu merasa malu sekali! Pengkhianatanmu itu patut mendapat hukuman berat!” “Saya siap menanggung akibatnya, Thai-ciangkun!” kata Kui Seng dan suaranya yang terdengar lantang itu membuat hati Siang Lan merasa terharu. Sikap ini saja menunjukkan bahwa orang she Kui ini memiliki watak yang gagah perkasa, penuh tanggung jawab terhadap kesalahannya.
“Bagus, sekarang tanggalkan tanda pangkat dan pedangmu, lalu engkau akan kubawa ke pengadilan tentara untuk menentuan hukumanmu!” kata Panglima Besar Chang Ku Cing.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Hwe-thian Mo-li berseru sambil melangkah maju berdiri di depan Kui Seng dengan sikap melindungi. “Ini sungguh tidak adil! Ciang-kun, tahukah engkau mengapa Kui Ciang-kun membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw itu? Dia terpaksa melakukannya karena puterinya, Kui Li Ai, telah diculik dan disandera orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau Kui Ciang-kun tidak mau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, puterinya akan dibunuh! Jelas bahwa Kui Ciang-kun bukan seorang pengkhianat. Dia melakukannya untuk menyelamatkan puteri tunggalnya! Dia tidak pantas menerima hukuman!”
Panglima Chang mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang matanya menatap tajam wajah gadis itu. “Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan ketentaraan?”
Biarpun Panglima Besar Chang bertanya dengan suara lantang penuh teguran, Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak merasa gentar dan ia menjawab dengan sikap gagah.
“Siapakah aku tidaklah penting, akan tetapi aku selalu akan membela orang yang tidak bersalah dan menentang orang yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang!”
Diam-diam Panglima Chang merasa heran, juga penasaran sekali. Dia memperhatikan wajah gadis yang cantik dengan sepasang mata mencorong penuh keberanian itu.
“Kui Ciang-kun! Siapakah gadis ini?” bentaknya kepada bawahannya.
“Ia adalah Hwe-thian Mo-li, seorang dari para pendekar muda yang dulu membantu menawan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga dapat membasmi mereka dan menangkap tujuh orang pimpinannya,” kata Kui Seng.
Panglima Chang kaget dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya engkau seorang pendekar, Nona? Engkau sudah pernah berjasa ikut membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw, mengapa sekarang engkau berbalik sikap, membela Kui Ciang-kun yang jelas telah berkhianat dengan membebaskan tawanan tiga tokoh Pek-lian-kauw itu yang berarti membantu pemberontak Pek-lian-kauw?”
“Tuduhanmu itu tidak adil, Ciang-kun! Andaikata engkau yang mempunyai anak perempuan diculik gerombolan Pek-lian-kauw yang menuntut agar engkau membebaskan tiga orang tahanan ini, bagaimana sikapmu? Apakah engkau akan membiarkan puterimu dibunuh begitu saja?”
“Pandanganmu itu keliru, Nona. Keamanan rakyat dilindungi oleh pemerintah, juga kesejahteraan rakyat diatur oleh Pemerintah. Sebagai imbalannya, rakyat sudah sepatutnya setia kepada Pemerintah dan membela kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan keluarganya. Kalau semua orang mementingkan diri sendiri, tentu Pemerintah akan menjadi lemah dan akan mudah direbut kekuasaannya oleh pemberontak seperti Pek-lian-kauw. Kepentingan Negara harus didahulukan karena hanya kalau negara aman, kehidupan rakyat pun aman, kalau negaranya makmur, kehidupan rakyat pun makmur.”
“Akan tetapi aku tidak melihat kenyataan itu, Ciang-kun. Yang kulihat, kemakmuran hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki kedudukan dan kekuasaan. Sedangkan rakyat jelata, lihat saja sendiri, banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, apakah itu dapat dikatakan makmur seperti kehidupan mereka yang berpangkat dan berkuasa?” Hwe-thian Mo-li menyerang.