Lembah Selaksa Bunga Chapter 09

NIC

Sekarang, tujuan satu-satunya dalam sisa hidupnya hanyalah membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong, laki-laki bertopeng itu. Dan untuk dapat melaksanakan dendamnya, ia harus memperdalam ilmu silatnya karena musuh besarnya itu memiliki tingkat kepandaian silat yang amat tinggi. Ia lalu memungut Lui-kong- kiam (Pedang Halilintar), menyarungkannya kembali dan melangkah perlahan mendaki bukit menuju Lembah Selaksa Bunga.

Ia telah bersalah membunuhi para anggauta Ban-hwa-pang yang tidak berdosa dan ia merasa menyesal. Siangkoan Leng memang sudah sepatutnya mendapat hukuman, walaupun perlakuannya kepadanya dengan mencincang tubuhnya itu juga amat keterlaluan mengingat bahwa kesalahannya hanya menawannya.

Ia harus membangun kembali Ban-hwa-pang, memakmurkan para anggautanya dan melatih mereka dengan ilmu silat. Selain itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya sehingga kelak ia akan mampu membalas dendam musuh besar yang amat dibencinya, yaitu Thian-te Mo-ong!

Ketika ia memasuki perkampungan Ban-hwa-pang, para wanita di situ terkejut melihat ketua baru itu sudah datang lagi. Akan tetapi Siang Lan girang melihat betapa mereka itu mematuhi semua perintahnya. Setelah rumah gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng dibakar habis, semua jenazah dikuburkan, dan para wanita yang mempunyai anak pergi meninggalkan Ban-hwa-pang dengan mendapat bekal secukupnya, mulailah Siang Lan membenahi perkumpulan itu.

Sebuah rumah untuknya dibangun dan setelah ia kumpulkan, ternyata ada tigapuluh lima orang wanita yang menjadi anggautanya. Siang Lan mengatur perkumpulan itu menjadi sebuah perkumpulan wanita yang pantang melakukan kejahatan, akan tetapi juga para anggauta tidak boleh berhubungan dengan laki-laki selama mereka menjadi anggauta Ban-hwa-pang. Siapa yang hendak menikah tidak dilarang, melainkan harus meninggalkan Ban-hwa-pang!

Sementara itu, laki-laki bertopeng yang telah mencegah Siang Lan bunuh diri kemudian bertempur dan mengalahkan gadis liar itu, juga meninggalkan Siang Lan dan kini dia melangkah perlahan mendaki bukit yang bersebelahan dengan bukit di mana terdapat Lembah Selaksa Bunga yang karena adanya lembah itu, disebut pula Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga).

Dia melangkah satu-satu dengan santai. Topeng kayu telah ditanggalkannya dan dibuangnya dan orang itu bukan lain adalah Sie Bun Liong. Kini dia melangkah sambil bicara seorang diri, berbantahan sendiri seperti seorang gila! “Kamu kejam! Tak tahu malu, melakukan perbuatan biadab dengan memperkosa seorang gadis. Padahal selama ini kamu belum pernah bergaul dengan wanita dan tampak alim. Huh, alim yang pura-pura, munafik!” bisik mulutnya yang mengeluarkan suara hatinya.

Suara pikirannya membantah. “Aku melakukannya dalam keadaan tidak sadar! Karena mabok arak dan dipengaruhi racun perangsang!”

“Kamu kini lebih kejam lagi! Bukan hanya menghina dengan mengalahkannya, bahkan mengejeknya dan membiarkan ia hidup merana dengan mengandung dendam kepadamu. Kamu benar-benar jahat dan kejam sekali!”

Sie Bun Liong menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku melakukannya dengan sengaja walaupun dengan perasaan pedih. Semua itu kulakukan untuk menjauhkan niat bunuh diri darinya, agar ia bersemangat tetap hidup untuk dapat membalas dendam kepadaku. Biarlah aku kelak dianggap jahat dan kejam, semua itu kulakukan demi menyelamatkannya, untuk menebus dosa yang kulakukan kepadanya tanpa kusengaja ”

“Huh, untuk mengakhiri penderitaannya, mengapa engkau tidak membunuhnya saja atau membiarkan ia membunuhmu dalam perkelahian tadi? Mengapa engkau mengorbankan dirimu biar dianggap biadab, jahat dan kejam demi mencegahnya bunuh diri? Ha-ha, aku tahu, karena engkau cinta padanya cinta

padanya ”

“Tidak !”

“Engkau jatuh cinta padanya!” “Tidak, kamu ngaco !”

“Kau cinta padanya...... cinta padanya...... cinta padanya......!” Suara itu seperti mengejek mentertawakannya.

“Plakk! Bodoh kamu!” Sie Bun Liong menampar kepalanya sendiri. Dia lalu mendaki puncak bukit dan mengambil keputusan untuk tinggal di situ secara diam-diam karena dia harus memantau keadaan dan perkembangan Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi Ketua Ban-hwa-pang.

Kota raja Kerajaan Dinasti Beng (1368-1644) pada waktu itu dapat dibilang cukup makmur. Yang menjadi kaisar adalah Kaisar Wan Li (1572-1620) yang ketika kisah ini terjadi menghadapi banyak masalah gangguan pemberontakan yang terjadi di daerah selatan dan utara. Dari utara datang gangguan dari suku- suku bangsa, yang terbesar adalah bangsa Mancu dan dari selatan datang gangguan dari perkumpulan- perkumpulan yang ingin memberontak seperti misalnya Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw. Akan tetapi berkat kepandaian dua orang menteri yang bijaksana, maka sebegitu jauh semua masalah itu dapat diselesaikan dan pemberontakan dapat ditindas walaupun belum dapat dipadamkan sama sekali.

Dua orang menteri yang bijaksana dan cekatan dalam sejarah sebagai menteri-menteri yang setia itu adalah Menteri Yang Ting Ho yang menjadi penasehat Kaisar Wan Li dalam urusan ketatanegaraan, dan yang kedua adalah Panglima Chang Ku Cing yang menjadi penasehat dalam urusan ketatanegaraan dan keamanan negara. Tentu saja kedua orang menteri ini dibantu oleh banyak pejabat dan perwira yang setia dan jujur, dua sifat pejabat negara yang sukar ditemukan pada waktu itu. Sebagian besar pejabat itu merupakan orang-orang yang korup, mencuri uang negara, memeras dan menekan rakyat, bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaan masing-masing.

Satu di antara perwira yang membantu Panglima Chang Ku Cing, yang merupakan seorang perwira tangguh, jujur dan setia kepada atasannya, dan dengan sendirinya dia juga amat setia kepada kerajaan, adalah Panglima Muda Kui Seng yang baru saja naik pangkat menjadi panglima muda setelah dia berhasil meringkus tujuh orang pimpinan pemberontak Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih). Kui Seng atau lebih dikenal dengan Kui Ciang-kun (Panglima Kui) adalah seorang laki-laki bertubuh sedang dan bersikap gagah. Dia terkenal pemberani dan pandai mengatur pasukan sehingga dipercaya oleh Panglima Besar Chang Ku Cing.

Kui Ciang-kun mempunyai seorang puteri bernama Kui Li Ai, seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang cantik jelita. Isterinya, atau ibu kandung Li Ai, telah meninggal dunia karena sakit tiga tahun yang lalu dan sebagai pengganti isteri pertama, dia mengangkat seorang selir menjadi isteri pertama.

Sayang bahwa selir yang diangkat menjadi isteri dan baru berusia tigapuluh tahun itu, diam-diam merasa tidak suka kepada anak tirinya, sehingga di pihak Li Ai dengan sendirinya juga timbul perasaan tidak suka kepada ibu tiri ini. Akan tetapi perasaan tidak suka ini tidak mereka perlihatkan di depan Kui Seng. Pada suatu senja menjelang malam, setelah makan malam, Kui Ciang-kun bercakap-cakap dengan isterinya di halaman belakang yang terbuka dan menghadap ke taman bunga karena malam hari itu udara panas sehingga nyaman duduk bercakap-cakap di tempat terbuka itu. Kui Ciang-kun membicarakan tentang tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dia tawan tiga bulan yang lalu dan kini menjadi tahanan dalam penjara pemerintah.

“Aku masih khawatir kalau mengingat para pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan itu.” katanya lirih seperti kepada diri sendiri.

“Eh, mengapa begitu, suamiku? Bukankah karena penangkapan itu, engkau telah berjasa dan mendapat kenaikan pangkat?”

“Benar, akan tetapi keberhasilan itu berkat bantuan Ouw-yang Sianjin yang lihai dan berjiwa patriot. Tosu (Pendeta Agama To) dan para pendekar muda. Tanpa bantuan mereka, akan sukarlah bagiku untuk mengalahkan tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang lihai itu.”

“Akan tetapi mereka itu telah tertangkap dan dijatuhi hukuman, mengapa pula engkau kini mengkhawatirkannya?”

“Mereka memang sudah tertangkap dan bahkan empat orang dari mereka telah dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi yang tiga orang lagi masih ditahan dan belum dihukum mati. Aku merasa khawatir sekali melihat kelemahan Sribaginda Kaisar yang tidak segera menghukum mati pula tiga yang lain itu. Justeru mereka bertiga itu yang merupakan orang-orang terpenting di Pek-lian-kauw. Aku sudah menghadap Panglima Besar Chang, namun beliau yang amat setia kepada kaisar malah memarahi aku, mengatakan bahwa kami semua harus menaati perintah Sribaginda Kaisar. Ahh, aku menjadi khawatir......” Kui Ciang-kun kembali menghela napas panjang.

“Apa yang kau khawatirkan, suamiku?”

“Sribaginda Kaisar selalu bersikap lemah terhadap Pek-lian-kauw. Bahkan beliau pernah menerima kedatangan utusan dari Pek-lian-kauw, padahal Pek-lian-kauw selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan kerajaan dan merampas kekuasaan. Juga Pek-lian-kauw, dengan berkedok agama dan perjuangan rakyat, merupakan penipu-penipu rakyat dan suka bertindak sewenang-wenang, membodohi dan memeras rakyat. Menurut pendapatku, Pek-lian-kauw harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi sekarang, tiga orang pimpinan mereka masih ditahan dan tidak segera dihukum mati.”

“Aih, suamiku, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu? Serahkan saja semua itu kepada Sribaginda Kaisar dan kepada Panglima Chang, atasanmu. Engkau hanya tinggal melaksanakan tugasmu,” hibur isterinya.

Tiba-tiba terdengar jeritan wanita. Hanya terdengar satu kali saja lalu suara itu terhenti seolah-olah mulut yang menjerit tadi dibungkam.

Biarpun jeritan itu hanya terdengar satu kali, namun Kui Ciang-kun mengenal bahwa itu adalah suara Kui Li Ai, puterinya! Maka, cepat dia melompat dan berlari ke arah datangnya suara jeritan tadi, yaitu di dalam taman. Dia melihat bayangan seseorang memanggul tubuh seorang gadis dan cepat dia melompat sambil mencabut pedangnya, menghadang di depan orang itu dan membentak.

“Berhenti !”

Di bawah sinar lampu yang tergantung di tiang lampu di taman itu, di bawah mana agaknya orang itu sengaja berdiri dan menantinya, Kui Ciang-kun melihat bahwa orang itu adalah seorang yang berpakaian sebagai seorang Tosu dan yang dipanggul itu bukan lain adalah Kui Li Ai, puteri tunggalnya! Tosu itu memegang sebatang pedang yang sudah ditempelkan di leher puterinya yang tidak mampu bergerak, agaknya dalam keadaan tertotok. Melihat bahwa yang ditawan tosu itu adalah puterinya, Kui Ciang-kun menjadi marah bukan main.

“Siapakah engkau? Hayo cepat bebaskan puteriku atau aku akan memanggil pasukan pengawal dan menangkapmu!” bentaknya.

Posting Komentar