Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 57

NIC

Mendengar ucapan tiga orang gadis itu, wajah Kam Ki menjadi merah sekali. Dia merasa marah bukan main. Untung tidak ada orang lain yang melihat keadaan dan mendengar makian tiga orang gadis itu. Kalau ada orang lain melihat dan mendengarnya, dia akan merasa malu bukan main! Dia, seorang pemuda yang berilmu tinggi, berwajah tampan dan gagah pula, kini ditolak mentah-mentah oleh tiga orang gadis. Bukan hanya ditolak, bahkan dimaki-maki dan dihina. Kalau menurutkan nafsu amarahnya, ingin dia membunuh tiga orang gadis itu pada saat itu juga! Akan tetapi tiga orang gadis itu begitu cantik dan manis, sayang kalau dibunuh begitu saja!

Untuk menenangkan hatinya yang panas dan marah, Kam Ki menuang dan minum arak dari cawannya sampai tiga kali. Kemudian dia tertawa.

“Ha-ha-ha! Kalian ini gadis-gadis yang angkuh dan besar kepala! Kalian berani menolakku? Ha-ha-ha, kalian kira begitu mudah menghinaku, ya? Tunggu saja! Aku akan menghinamu sepuluh kali lipat! Aku akan memperkosa kalian satu demi satu di sini, mempermainkan kalian sesuka hatiku dan sepuasku! Kalau aku sudah bosan, aku akan memberikan kalian kepada anak buahku, biar kalian dibuat permainan mereka sampai kalian mampus!”

Biarpun mulut mereka diam saja, namun di dalam hatinya, sepasang gadis kembar itu merasa ngeri juga mendengar ancaman itu. Akan tetapi mereka diam saja dan mereka berdua kagum ketika mendengar Bwee Hwa tertawa mengejek.

“Huh, ucapanmu itu hanya menunjukkan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang tidak tahu malu dan jahat, keji, dan licik! Kalau memang engkau seorang pemuda gagah, hayo lepaskan ikatan ini dan mari kita bertanding sampai mati! Aku tidak takut padamu dan tidak takut akan ancamanmu, keparat! Kalau engkau melaksanakan ancamanmu itu, setelah mati aku pasti akan menjadi setan penasaran dan akan mengejarmu sampai di manapun juga.”

Thio Kam Ki memandang kepada Bwee Hwa dengan mata melotot dan sinarnya mencorong marah. “Hemm, Lim Bwee Hwa gadis sombong! Engkaulah yang akan kusiksa dan kuhina lebih dulu di depan dua orang gadis kembar ini!”

Setelah berkata demikian, Kam Ki bangkit dari kursinya dan menghampiri pem-baringan di mana Bwee Hwa rebah telentang dengan kaki tangan terikat. Karena merasa tidak berdaya, Bwee Hwa memejamkan kedua matanya agar ia tidak usah menyaksikan apa yang akan dilakukan pemuda itu kepadanya. Kam Ki yang telah banyak minum arak sehingga nafsunya semakin berkobar membakar dan mempengaruhi hati akal pikirannya, sambil menyeringai lebar berkata.

“Tunggulah sebentar, manisku. Aku merasa panas dan hendak mandi dulu biar badanku segar sehingga aku akan mampu melayani kalian bertiga berturut-turut, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, dia mengusap pipi Bwee Hwa. Gadis itu membuang muka dan Kam Ki lalu meninggalkan kamar itu sambil tertawa bergelak.

Setelah pemuda itu pergi meninggalkan kamar, Can Kim Siang yang tadi melihat sikap Bwee Hwa dan merasa suka akan keberaniannya, bertanya, “Sobat, siapakah engkau dan bagaimana dapat tertawan oleh bangsat itu?”

Bwee Hwa yang tadi juga melihat betapa dua orang gadis itu berani menentang dan memaki Kam Ki, segera menjawab. “Namaku Lim Bwee Hwa, orang menyebut aku Ang-hong-cu. Aku bersama dua orang sahabatku menyerang Pek-lian-kauw untuk membunuh Pek-bin Moko dan merampas kembali patung emas Dewi Kwan Im yang dia curi dari kuil Ban-hok-si. Kami berhasil membunuh Pek-bin Moko, akan tetapi……” Bwee Hwa berhenti sebentar karena lehernya serasa dicekik kesedihan, “seorang sahabatku tewas dan yang lain entah bagaimana nasibnya, sedangkan aku sendiri tertawan.”

“Ah…… kami tadi berpapasan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap naik kuda dengan cepat sekali menuruni lereng bukit. Apakah itu sahabatmu yang kedua itu?” tanya Can Gin Siang, dan Kim Siang juga mengangguk karena menduga demikian.

“Berapa kira-kira usianya dan apa warna pakaiannya?” tanya Bwee Hwa.

“Usianya sekitar duapuluh tahun lebih, pakaiannya berwarna kuning,” kata Kim Siang.

“Ah, benar dia!” seru Bwee Hwa. “Tentu dia itu Kong-ko, maksudku Ui Kong. Dia dapat meloloskan diri, syukurlah dan aku yakin dia pasti tidak akan tinggal diam begitu saja melihat aku tertawan. Aku yakin bahwa dia tentu mencari bala bantuan!”

“Ssssttt....... dia datang……!” kata Kim Siang dan mereka bertiga menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan.

Mereka bertiga sudah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan ikatan kaki tangan mereka, akan tetapi Kam Ki yang tahu bahwa tiga orang gadis itu memiliki kepandaian tinggi, sudah mengikat kaki tangan mereka dengan tali yang amat kuat sehingga usaha mereka bertiga selalu gagal.

Tiga orang gadis itu otomatis menengok ke arah pintu kamar. Akan tetapi mereka tidak melihat siapa- siapa di situ dan ada suara gerakan orang di jendela kamar. Mereka otomatis menengok ke arah jendela.

Daun jendela terbuka dari luar dan pengganjalnya dari palang itupun patah. Sesosok tubuh orang dengan gerakan yang amat gesit melompat ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, seolah seekor burung raksasa yang terbang masuk lewat jendela.

Tiga orang gadis tawanan itu menengok dan memandang dengan heran dan hati tegang, akan tetapi ketika melihat bahwa orang itu sama sekali bukan Thio Kam Ki seperti yang mereka duga dan khawatirkan, mereka menjadi lega, akan tetapi juga heran dan bertanya-tanya dalam hati apakah masuknya orang asing ini akan mendatangkan malapetaka ataukah pertolongan. Orang itu adalah seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh lima tahun, tubuhnya sedang saja, juga wajahnya tidak terlalu tampan namun juga tidak jelek, sederhana seperti pakaiannya. Sebuah caping lebar menutupi kepalanya.

Bwee Hwa yang berada paling dekat dengan orang itu, berkata lirih. “Siapakah engkau, kawan ataukah lawan? Kalau lawan, cepat bunuh kami! Kami tidak takut mati!”

Laki-laki itu adalah Sie Bun Sam. Dia memandang kepada Bwee Hwa dan tersenyum lembut. Pandang matanya seolah terpesona melihat wajah Bwee Hwa dan dia berkata lembut. “Bukan kawan dan bukan lawan, nona. Akan tetapi tidak dapat aku berdiam diri saja melihat kejahatan dilakukan orang.” Setelah berkata demikian, dia mengampiri Bwee Hwa dan dua kali tangannya bergerak, ikatan pada kaki dan tangan gadis itu putus.

Hwa menggosok-gosok pergelangan kaki dan tangannya untuk melancarkan jalan darahnya lalu melompat turun dan melihat Sin-hong-kiam miliknya yang tadi dirampas Thio Kam Ki berada di atas meja, ia menyambar pedangnya itu.

Sementara itu Bun Sam sudah melepaskan ikatan pada kaki tangan Can Kim Siang dan Can Gin Siang. Dua orang gadis kembar inipun segera mengambil Siang-kiam (pedang pasangan) masing-masing yang tadi juga dibawa Kam Ki dan berada di atas meja. Tiga orang gadis itu merasa girang sekali, seolah-olah burung garuda mendapatkan kembali paruh dan cakarnya.

“Terima kasih, sobat!” kata Bwee Hwa.

Sebelum Bun Sam sempat menjawab, terdengar suara ribut-ribut di luar kamar itu. “Mereka datang mengejarku ke sini. Mari kita keluar menyambut mereka dan serahkan orang yang bernama Thio Kam Ki kepadaku!”

Bun Sam mendahului tiga orang gadis itu, membuka daun pintu kamar dan ternyata di luar kamar terdapat belasan orang anggauta Pek-lian-kauw. Mereka adalah para anggauta yang melakukukan pengejaran terhadap Bun Sam.

Pemuda itu tadi memasuki perkampungan Pek-lian-kauw dan ketika dia dihadang tiga orang anggauta Pek-lian-kauw dengan mudah dia merobohkan mereka. Akan tetapi dia kelihatan oleh beberapa orang anggauta lain yang segera mengumpulkan teman-temannya dan melakukan pengejaran.

Bwee Hwa, Kim Siang, dan Gin Siang yang sudah marah sekali lalu menerjang maju dan tiga orang anggauta Pek-lian-kauw terjungkal mandi darah disambar pedang mereka. Yang lain-lain cepat berlari keluar karena mereka semua sudah maklum akan kelihaian tiga orang gadis tawanan itu. Mereka tadi ketika mengejar Bun Sam sama sekali tidak mengira bahwa tiga orang gadis itu sudah bebas.

Melihat tiga orang rekan mereka roboh mandi darah, yang lain segera melarikan diri keluar dari rumah itu, selain untuk mencari tempat yang lebih luas sehingga mereka dapat leluasa mengeroyok, juga mereka mengharapkan bantuan para anggauta lain. Terutama sekali mereka menanti munculnya Thio Kam Ki dan Ang-bin Moko yang mereka andalkan. Sementara itu, ketika dia sedang mandi, Kam Ki mendengar suara hiruk pikuk itu. Cepat dia mengeringkan tubuh lalu mengenakan pakaian, kemudian dia melompat keluar, cepat menuju ke kamar di mana tiga orang gadis tawanannya berada.

Alangkah kaget dan marahnya ketika dia tidak melihat tiga orang gadis itu di atas pembaringan masing- masing, juga pedang-pedang mereka tidak ada. Tahulah dia bahwa mereka itu, entah bagaimana caranya, telah dapat me-lepaskan diri. Mendengar suara ribut di depan rumah, Kam Ki cepat berlari ke- luar, merasa penasaran, kecewa dan marah.

Posting Komentar