“Akan tetapi sekarang sudah menjelang senja, sebentar lagi malam tiba, Sam-ko.”
“Kita tinggalkan kuda di kaki bukit dan mendaki jalan kaki saja. Bulan muncul lewat senja nanti, kita dapat mencari jalan ke atas.”
Demikianlah, dua orang pendekar itu mendaki bukit dan mereka dapat menolong Ui Kong dan Gin Siang pada saat yang tepat sekali. Bwee Hwa yang tadi melepas jarum tawonnya untuk menyerang tangan Pek-hwa Sianli dan Kam Ki yang hendak menuangkan anggur perangsang ke dalam mulut dua orang korban mereka.
Kini, Pek-hwa Sianli dan Kam Ki berhadapan dalam ruangan luas itu, saling pandang. Tentu saja Kam Ki merasa gentar bukan main melihat suhengnya dan Bwee Hwa yang pernah menyerbu Pek-lian-kauw yang dipimpinnya dengan para pendekar lain. Dia maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang amat tangguh, terutama sekali suhengnya. Akan tetapi Pek-hwa Sianli yang tidak mengenal mereka, memandang rendah.
“Keparat, siapa yang sudah bosan hidup menyerang kami dengan am-gi (senjata gelap) tadi!” bentaknya.
“Engkau tentu Pek-hwa Sianli, si iblis betina itu, bukan? Tidak kusangka, julukannya Dewi akan tetapi sebetulnya seorang iblis betina, benar-benar harimau berbulu domba! Akulah yang mencegah kalian melakukan perbuatan hina kepada Ui Kong dan Can Gin Siang tadi!” kata Bwee Hwa. “Keparat sombong! Siapakah kalian? Perkenalkan nama agar kalian tidak mam-pus tanpa nama!”
“Hemm, kenapa tidak tanya saja kepada si jahat Thio Kam Ki rekanmu itu? Lihat, mukanya sudah pucat ketakutan melihat kami!”
Sementara itu, Bun Sam berkata kepada Kam Ki. “Sute, lebih baik engkau menyerah kubawa kembali menghadap suhu. Bertaubatlah, sute. Suhu tentu akan memaafkanmu dan membimbingmu ke jalan benar.”
Akan tetapi Pek-hwa Sianli sudah tidak dapat menahan diri lagi. “Bocah sombong, mampuslah!” Ia membentak dan ketika dua tangannya bergerak, tampak dua sinar berkelebat dan ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) yang tergantung di punggungnya. Tanpa memberi peringatan lagi, Pek- hwa Sianli sudah menerjang maju menyerang Bwee Hwa, sepasang pedangnya digerakkan cepat membentuk dua lingkaran sinar.
Bwee Hwa dapat menduga bahwa kakak misan atau guru pertama si kembar Kim Siang dan Gin Siang ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ketika melihat wanita itu mencabut siang-kiam, iapun sudah cepat mencabut Sin-hong-kiam dari punggungnya. Ketika Pek-hwa Sianli menyerang, iapun cepat memutar pedangnya menyambut. Terdengar bunyi berdentingan disusul bunga api berpijaran ketika pedang mereka saling bertemu di udara. Mereka segera saling serang dengan seru dan mati-matian, berkelahi bagaikan dua ekor harimau betina!
Kam Ki yang merasa tersudut tentu saja tidak mau menyerah begitu saja. Tidak rela dia meninggalkan kehidupannya yang dianggapnya amat menyenangkan itu. Kini ada Pek-hwa Sianli di sampingnya dan kalau wanita itu mampu merobohkan lawannya, tentu akan dapat membantunya menghadapi Bun Sam. Maka diapun membentak nyaring dan menerjang maju, menyerang Bun Sam dengan dahsyat.
Biarpun Kam Ki dan Bun Sam berkelahi dengan tangan kosong, namun sebe-tulnya perkelahian antara mereka lebih seru dibandingkan perkelahian antara Pek-hwa Sianli dan Bwee Hwa yang menggunakan pedang. Serangan tangan dan kaki kedua orang saudara seperguruan ini merupakan sambaran tangan- tangan maut yang amat berbahaya.
Kam Ki mengerahkan seluruh tenaganya yang dia dapat dari bimbingan Hwa Hwa Cinjin sehingga pukulannya mengandung racun yang amat jahat. Dia menggunakan ilmu Bantok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang amat keji karena sekali terkena senggolan tangan itu, maka tubuh lawan akan keracunan hebat dan bagi lawan yang kurang kuat tenaga saktinya akan tewas seketika! Juga ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat Ciu-kwi-kun (Silat Setan Arak) yang gerakannya seperti orang mabok, sukar diduga perkembangannya dan amat berbahaya bagi lawan.
Namun Sie Bun Sam sudah mendapat penggemblengan tambahan dari Leng-hong Hoatsu sehingga dia dapat membuat pertahanan yang amat kuat dan di samping itu, dapat melakukan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Biarpun Kam Ki sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu simpanannya, tetap saja dia mulai terdesak.
Sementara itu, perkelahian antara Pek-hwa Sianli melawan Bwee Hwa berlang-sung ramai. Mereka saling serang dengan seru dan mati-matian dan keadaan mereka masih seimbang sehingga Kam Ki menjadi repot sekali. Dia terdesak terus akan tetapi tidak dapat mengharapkan bantuan Pek-hwa Sianli yang sedang berkelahi dengan seru dan seimbang melawan Bwee Hwa. Akan tetapi karena Bun Sam tidak bermaksud membunuh sutenya, hanya ingin menangkap dan membawanya kembali ke gurunya, maka Kam Ki masih dapat melakukan perlawanan sengit.
Sementara itu, Gin Siang dan Ui Kong masih belum sadar. Gin Siang masih duduk di atas kursi dengan kepala berbantal lengan di atas meja, sedangkan Ui Kong masih rebah miring di atas lantai. Akan tetapi Ui Kong tadi tidak menenggak habis araknya karena setelah minum secawan tadi dia sudah merasa pening. Padahal dia sudah amat biasa minum arak. Kalau hanya menghabiskan lima cawan saja dia tidak akan mabok. Akan tetapi tadi baru minum secawan saja dia sudah merasa agak pening. Maka dia menjadi agak curiga dan cawan kedua itu hanya diminumnya setengah.
Dialah yang pertama kali tahu bahwa minuman itu tidak wajar dan mengandung sesuatu yang tidak baik, maka dia berusaha memperingatkan Gin Siang, namun terlambat dan dia pun terguling roboh dan pingsan. Akan tetapi karena kadar racun pembius yang diminumnya tidak sebanyak Gin Siang, maka dia dapat sadar lebih dulu. Dia membuka kedua matanya dan seketika dia teringat apa yang telah terjadi. Cepat dia melompat dan melihat Gin Siang “tertidur” di atas kursinya, dia cepat mengambil air, mengurut tengkuk dan menotok kedua pundak gadis itu beberapa kali, membasahi muka dan ubun- ubunnya dengan air dan Gin Siang juga siuman. Mereka mendengar suara beradunya senjata di luar kamar dan tanpa bicara keduanya cepat bergerak dan melompat keluar jendela yang menembus ke ruangan itu.
Setibanya di ruangan itu mereka melihat Bwee Hwa sedang bertanding melawan Pek-hwa Sianli, dan Bun Sam bertanding dengan pemuda yang menjadi ketua Pek-lian-kauw itu.
Biarpun Gin Siang tahu bahwa kakak misannya, Pek-hwa Sianli ternyata masih jahat dan tadi nyaris mencelakainya dan mengorbankan dirinya kepada Kam Ki, namun ia tetap tidak tega untuk menyerang dan mengeroyok Pek-hwa Sianli. Bagaimanapun juga, ia merasa berhutang budi yang cukup banyak kepada Pek-hwa Sianli. Maka Gin Sang menumpahkan semua kemarahannya kepada Thio Kam Ki dan tanpa banyak cakap lagi, iapun mencabut Siang-kiam (Sepasang Pedang) lalu menerjang kepada Kam Ki yang sudah terdesak berat oleh Bun Sam. Adapun Ui Kong yang melihat betapa Bwee Hwa bertanding seimbang dengan Pek-hwa Sianli, lalu memutar pedangnya membantu Bwee Hwa.
Bun Sam terkejut. Serangan sepasang pedang dari Gin Siang cukup ganas dan dahsyat, maka dia khawatir kalau-kalau Kam Ki akan menjadi korban dan tewas oleh pedang gadis itu. Kam Ki juga semakin terdesak hebat. Suatu saat, karena sudah terhuyung oleh serangkaian pukulan Bun Sam, dia tidak mampu menghindar lagi ketika pedang kiri Gin Siang menyambar ke arah lehernya.
“Plakk. !” Gin Siang terkejut dan melompat ke belakang ketika pedangnya ditangkis oleh tangan kiri
Bun Sam! Pada saat itu, Bun Sam membuat gerakan berputar dan kakinya menendang, tepat mengenai lambung Kam Ki. Tubuh Kam Ki terpental dan dia roboh pingsan.
Pada saat yang hampir sama, terdengar Pek-hwa Sianli mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya terpelanting roboh mandi darah. Ia tewas seketika oleh sabetan pedang Bwee Hwa yang tentu saja mendapat banyak kesempatan karena masuknya Ui Kong yang membantunya.
Ketika Ui Kong dan Bwee Hwa melihat Kam Ki menggeletak pingsan, mereka berdua melompat dan hendak membunuh pemuda itu dengan pedang mereka. Akan tetapi Bun Sam berkelebat cepat dan menghadang mereka. “Jangan bunuh dia!”
“Ahhh.......! Mengapa, Sam-ko? Dia amat jahat !” Bwee Hwa membantah dan memandang Bun Sam
dengan sinar mata penasaran.
Bun Sam menghela napas panjang dan mengangkat lalu memondong tubuh Kam Ki, lalu berkata, “Maafkan aku, Hwa-moi. Dia adalah suteku (adik seperguruanku) dan aku hanya memenuhi perintah suhu untuk menangkap dan membawanya kepada suhu, bukan membunuhnya. Maafkan aku.” Dia lalu melangkah keluar dari pondok itu.
Sejenak Bwee Hwa berdiri tertegun, kemudian ia lalu mengejar dan dapat menyusul Bun Sam di depan pondok. Bulan bersinar dengan terang di atas kepala mereka.
“Sam-ko……!”
Bun Sam berhenti melangkah. Kini mereka berdiri berhadapan. “Hwa-moi,” katanya lirih. “Mengapa mengejarku?”
“Sam-ko, apakah engkau akan meninggalkan aku begini saja?”
“Hwa-moi, aku harus menyelesaikan tugasku, membawa Kam Ki kembali ke Himalaya menghadap suhu.” “Akan tetapi...... apakah. apakah kita tidak akan saling bertemu kembali, Sam-ko?” Suara Bwee Hwa
gemetar.
“Hwa-moi, ada waktunya bertemu, ada pula waktunya berpisah. Kalau Thian menghendaki, pasti kita akan dapat saling bertemu kembali. Maafkan aku, Hwa-moi, karena aku harus membawa suteku ini kepada suhu, aku tidak dapat menemanimu pergi ke Heng-san bertemu dengan suhumu Sin-kiam Lojin.”
Ketika Bun Sam hendak melanjutkan perjalanan, sebelum dia menggerakkan kakinya, Bwee Hwa berkata lirih. “Sam-ko.......” suaranya mengandung isak tertahan. “aku...... aku ingin ikut denganmu, Sam-ko. ”
Bun Sam menggeleng kepalanya dan berkata lembut. “Tidak, Hwa-moi, aku harus melaksanakan tugasku dulu. Selamat berpisah, Hwa-moi, dan baik-baiklah menjaga dirimu.” Setelah berkata demikian, Bun Sam melompat dan berkelebat lenyap di keremangan malam.
“Sam-ko......, jangan tinggalkan aku seorang diri ” Bwee Hwa tak dapat menahan turunnya air mata
ke atas kedua pipinya. Akan tetapi seruannya itu hanya digumam saja.
Malam sudah larut. Can Gin Siang keluar dari pondok, melihat Bwee Hwa berdiri seorang diri di luar pondok, diam seperti arca, ia menghampiri.
“Adik Bwee Hwa,” tegurnya lembut. Setelah menjadi tunangan Ui Kong, Gin Siang menyebut adik kepada Bwee Hwa, “mari masuk ke dalam pondok. Kami sedang mengurus jenazah piauw-ci (kakak misan), setelah besok pagi kami kubur, kita lalu meninggalkan tempat ini. Mari masuklah.” Gin Siang memegang tangan Bwee Hwa namun Bwee Hwa menarik tangannya. “Engkau masuklah, aku ingin berada di luar. Hawanya lebih sejuk.”
Setelah beberapa kali membujuk tanpa hasil, akhirnya Gin Siang meninggalkan Bwee Hwa sendiri. Bwee Hwa lalu duduk di atas bangku yang terdapat di depan pondok itu dan duduk melamun sambil memandang ke arah perginya Bun Sam, seolah mengharapkan pemuda itu muncul kembali.
Sampai keesokan harinya ketika Ui Kong dan Gin Siang menguburkan jenazah Pek-hwa Sianli di belakang pondok, Bwee Hwa masih tidak beranjak dari bangku itu. Beberapa kali Gin Siang membujuknya, namun tetap saja ia tidak mau meninggalkan bangku itu.
Setelah selesai mengubur jenazah Pek Hwa Sian-li memenuhi permintaan Gin Siang, Ui Kong dan Gin Sang pergi ke depan pondok. Melihat Bwee Hwa masih duduk seperti patung, Ui Kong menggeleng- geleng kepalanya. Perlahan-lahan dia menghampiri Bwee Hwa dari belakang dan meletakkan tangannya di atas pundak Bwee Hwa.
“Hwa-moi, mari kita pulang.”
“Pulang?” Bwee Hwa mengulang kata itu seperti orang kehilangan semangat.
“Tentu saja pulang ke Ki-lok, bukankah engkau ini adikku yang tercinta dan aku ini kakakmu?”
Perlahan-lahan Bwee Hwa mengangkat mukanya yang menunduk dan tampaklah wajah yang pucat, sepasang mata yang sayu memandang wajah Ui Kong.
“Kakak Ui Kong ” bibir itu gemetar.
“Ya, adikku. Mari kita pulang. Jangan khawatir, jodoh itu berada di tangan Thian, kalau memang engkau berjodoh dengan dia, kelak pasti akan dapat saling bertemu kembali. Percayalah!”
“Kong-ko. !” Bwee Hwa terisak, menangis dalam rangkulan kakaknya.
Tak lama kemudian, Ui Kong, Gin Siang, dan Bwee Hwa menuruni Bukit Ayam Emas itu dan selanjutnya menuju ke kota Ki-lok menunggang kuda mereka. Karena pandainya Ui Kong dan Gin Siang menghiburnya di sepanjang perjalanan, akhirnya Bwee Hwa mendapatkan kembali semangat dan kelincahannya.
TAMAT