Dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu mencabut pedang mereka yang tergan-tung di punggung. Akan tetapi sebelum mereka bergerak menyerang, Ui Kong dan Siong Li sudah lebih dulu menyerang mereka. Ui Kong yang mendendam kepada Pek-bin Moko, sudah menyerang tokoh Pek-lian-kauw bermuka putih itu. Adapun Siong Li yang melihat betapa Bwee Hwa sudah menyerang pemuda tampan yang mengaku sebagai ketua cabang Pek-lian-kauw itu dan Ui Kong sudah menyerang Pek-bin Moko, lalu bergerak cepat menyerang Ang-bin Moko dengan pedangnya.
Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga. Kalau Siong Li dan Ui Kong dilawan oleh dua orang Moko itu dengan pedang pula sehingga mereka bertanding ilmu pedang, Bwee Hwa yang menggunakan pedang dilawan oleh Kam Ki hanya dengan tangan kosong!
Ketika para anggauta Pek-lian-kauw tampak mempersempit lingkaran dan agaknya hendak membantu para pimpinan mereka, Kam Ki membentak. “Kalian mundur, tidak boleh mengeroyok!”
Para anggauta Pek-lian-kauw mundur. Tentu saja seruan ini disengaja oleh Kam Ki yang melihat bahwa dia pasti akan mampu menundukkan gadis itu dan juga dua orang pembantunya tampak seimbang dengan lawan masing-masing. Pula, dia ingin kelihatan gagah dan tidak curang dalam pandangan Bwee Hwa, gadis cantik jelita yang menjatuhkan hatinya itu.
Bwee Hwa mengamuk dan menggunakan semua kepandaiannya untuk merobohkan lawannya. Setiap serangannya merupakan serangan maut yang berbahaya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya bayangan merah berkelebatan dibungkus sinar pedang Sin-hong-kiam. Terdengar suara berdengung- dengung seperti ada ratusan ekor tawon mengamuk. Akan tetapi, tingkat kepandaian Kam Ki jauh di atas tingkatnya sehingga mudah saja bagi Kam Ki untuk menghindarkan diri dari semua serangan dengan cara mengelak atau bahkan menangkis dengan tangannya. Tangan telanjang itu berani menangkis pedang Sin-hong-kiam, hal ini membuat Bwee Hwa terkejut bukan main.
Beberapa kali tangan kirinya menyambitkan Sin-hong-ciam (Jarum Tawon Merah) kepada lawannya yang amat tangguh itu. Namun jarum-jarum itu runtuh semua disambar kebutan tangan Kam Ki! Dan mulailah Kam Ki mempermainkan Bwee Hwa. Setiap ada kesempatan, tangannya dengan nakal meraba, mengelus atau mencubit dada, punggung, dan pinggul gadis itu. Bwee Hwa menjadi marah bukan main, akan tetapi ia tidak berdaya karena memang tingkatnya kalah jauh.
Siong Li bertanding seimbang dengan Ang-bin Moko. Dia membagi perhatiannya terhadap Bwee Hwa dan alangkah marah dan khawatirnya melihat betapa gadis itu menjadi permainan Kam Ki yang ternyata amat lihai itu. Melihat gadis itu ditowel, dicubit dan dibelai, Siong Li tak dapat menahan kemarahan hatinya. Ketika dia memutar pedang mendesak Ang-bin Moko sehingga lawannya terpaksa mundur, cepat sekali Ong Siong Li melompat ke kiri dan menyerang Kam Ki untuk membantu Bwee Hwa yang jelas terdesak hebat oleh pemuda ketua Pek-lian-kauw yang amat lihai itu.
“Singgg……!” Sambil melompat Siong Li membabatkan pedangnya ke arah leher Kam Ki.
Akan tetapi dengan mudah Kam Ki menghindarkan diri dengan merendahkan tubuhnya sehingga sabetan pedang itu hanya lewat di atas kepalanya. Ang-bin Moko mengejar dan menyerang dari belakang. Siong Li membalikkan pedang menangkis. “Tranggg……!” Bunga api berpijar, akan tetapi pada saat Siong Li menangkis pedang itu, Kam Ki melakukan pukulan jarak jauh dengan telapak tangan mengeluarkan uap hitam.
“Wuuuuuttt…… dessss.......!” Hawa pukulan yang amat dahsyat melanda dada Siong Li. Pemuda ini terlempar dan muntah darah! Dia telah terkena pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang amat dahsyat. Biarpun Siong Li merasakan isi dada dan perutnya seperti dibakar, dia menguatkan diri dan mencoba bangkit.
“Li-ko……!” Bwee Hwa berseru ketika melihat Siong Li terpukul roboh sedemikian hebatnya. Akan tetapi karena perhatiannya tertuju kepada Siong Li, ia menjadi lengah dan dengan mudah sekali menggerakkan tangannya, Kam Ki telah menotok jalan darah di pundak Bwee Hwa dan gadis itupun terkulai lemas. Kam Ki tertawa lalu menyambar tubuh Bwee Hwa, memondongnya dan membawa pula pedang Bwee Hwa lalu masuk ke dalam rumah besar.
Siong Li melihat bahwa Ui Kong telah berhasil merobohkan Pek-bin Moko. Tadinya mereka bertanding ramai sekali, tampaknya seimbang, akan tetapi sesungguhnya tingkat kepandaian Ui Kong masih menang sedikit sehingga ketika dia mengeluarkan jurus-jurus simpanannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, Pek-bin Moko terdesak hebat. Pada saat Siong Li terlanda pukulan maut dari Kam Ki, Ui Kong berhasil merobek perut Pek-bin Moko dengan ujung pedangnya. Tokoh Pek-lian-kauw bermuka putih itu roboh mandi darah. Perutnya robek dan dia tidak mungkin dapat tertolong.
Ui Kong melihat Siong Li terhuyung mendekatinya. Jelas bahwa pendekar berjuluk Naga Tanduk Satu ini terluka dalam. Dia tidak melihat lagi Bwee Hwa yang tadi bertanding melawan pemuda yang mengaku sebagai ketua Pek-lian-kauw. Hati Ui Kong gelisah sekali.
“Kong-te cepat! Cepat lari dan cari bala bantuan!” Siong Li berseru.
Ui Kong meragu. “Akan tetapi…… Hwa-moi……!”
“Engkau tidak dapat menolongnya tanpa bala bantuan! Cepat lari, mungkin engkau dapat menolongnya…… cepat!!”
Siong Li menarik tangan Ui Kong dan dia sendiri membuka jalan darah, menerjang para anggauta Pek- lian-kauw yang menghalangi jalan. Ui Kong dapat melihat kebenaran ucapan Siong Li, maka diapun memutar pedangnya sehingga amukan mereka berdua membuat para anggauta berpelantingan roboh dan terbukalah jalan untuk melarikan diri.
“Cepat lari, Kong-te. Cepat cari bala bantuan!” Siong Li berseru dan merobohkan lagi dua orang anggauta Pek-lian-kauw yang mencoba menghalangi mereka.
“Tapi engkau……?” Ui Kong bingung.
“Aku akan menghalangi mereka yang hendak mengejarmu. Cepatlah!” kata Siong Li yang sudah menyambut Ang-bin Moko yang mengejar.
Ui Kong lalu berlari keluar dari perkampungan itu, menemukan kuda mereka bertiga, melepaskan ikatan dan melompat ke atas punggung kuda lalu membalapkan kuda itu menuruni lereng Bukit Siong! Hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan Bwee Hwa dan Siong Li. Dia memang telah dapat membalaskan kematian ayahnya, telah berhasil membunuh Pek-bin Moko. Akan tetapi Bwee Hwa agaknya tertawan dan Siong Li terancam maut karena tadi dia melihat bahwa kawannya itu telah menderita luka dalam yang agaknya parah.
Siong Li mengamuk, dikeroyok Ang-bin Moko dan beberapa orang anggauta Pek-lian-kauw. Bagaikan seekor harimau terluka dikeroyok segerombolan anjing srigala, dia sempat merobohkan lagi tiga orang anggauta Pek-lian-kauw. Akan tetapi luka dalam tubuhnya terasa nyeri sekali, panas dan dalam dada dan perutnya seperti ditusuk-tusuk. Tubuhnya menjadi semakin lemah dan akhirnya dia tidak kuat lagi. Dia terguling roboh dan dihujani bacokan golok dan pedang. Tewaslah Ong Siong Li, Si Naga Tanduk Satu, tewas sebagai seorang pendekar perkasa.
Sementara itu, Ui Kong membalapkan kudanya menuruni lereng bukit. Hatinya merasa gelisah sekali. Mukanya pucat dan dia merasa benci kepada dirinya sendiri. Kenapa dia melarikan diri, padahal Bwee Hwa tertawan musuh dan Siong Li terancam nyawanya? Ingin dia kembali ke atas dan mengamuk. Akan tetapi dia teringat akan kata-kata Siong Li. Dia tahu bahwa Siong Li benar. Kalau dia mengamuk seorang diri, dia pasti akan roboh dan tewas dan itu berarti Bwee Hwa tidak akan dapat ditolong lagi. Tidak, dia bukan melarikan diri karena pengecut, bukan karena takut melainkan untuk mencari bala bantuan agar dapat menyelamatkan Bwee Hwa dan kalau mungkin, menyelamatkan Siong Li pula.
Akan tetapi ke mana dia harus mencari bala bantuan? Dia tidak mengenal daerah itu, tidak seperti Siong Li yang mempunyai banyak pengalaman. Bahkan sebelum mendaki bukit, Siong Li sudah menganjurkan untuk mencari bala bantuan lebih dahulu, akan tetapi dia dan Bwee Hwa membantah dan menyatakan tidak takut sehingga akhirnya Siong Li mengalah dan mereka bertiga naik sampai ke sarang Pek-lian- kauw. Dan akibatnya menyedihkan! Dia merasa menyesal mengapa dia tidak mendukung gagasan Siong Li itu.
Ke mana dia harus mencari bala bantuan untuk menghadapi anggauta Pek-lian-kauw yang banyak itu? Dipimpin oleh orang-orang yang amat lihai? Dia teringat bahwa Siong Li mengusulkan untuk mencari bala bantuan pasukan keamanan pemerintah. Dia akan mencoba untuk mencari kota terdekat di mana terdapat pasukan keamanannya, kalau tidak ada, dia akan langsung ke kota Ki-lok. Di kota tempat kelahirannya itu, keluarganya mengenal baik para pejabat pemerintah, juga mengenal para perwira pasukan keamanan. Mereka pasti akan menolongnya.
Ui Kong membalapkan kudanya. Setibanya di kaki bukit, hampir hampir saja dia bertabrakan dengan dua orang penunggang kuda yang juga membalapkan kudanya dari depan, berpapasan dengannya. Akan tetapi ketika dia sekuat tenaga menahan kendali agar kudanya berhenti, dua orang penunggang kuda itu dengan cekatan menghindar ke samping sehingga tidak terjadi tabrakan! Betapa tangkasnya dua orang penunggang kuda itu. Karena ingin tahu, dia menoleh dan dua orang penunggang kuda itu juga menghentikan, bahkan memutar kudanya untuk memandang kepada Ui Kong.
Ui Kong terpesona, bukan hanya oleh kecantikan dua orang dara itu, melainkan lebih lagi karena persamaan antara keduanya. Wajahnya, rambutnya, pakaiannya, bentuk tubuhnya, sama benar! Melihat betapa Ui Kong selamat dan pemuda itu memandang kepada mereka dengan bengong, Can Kim Siang dan Can Gin Siang, dua orang gadis kembar itu, tersenyum dan mereka memutar kuda, melanjutkan perjalanan dengan cepat mendaki bukit.
Ui Kong mengerutkan alisnya. Hemm, tentu dua orang gadis itu merupakan orang-orang Pek-lian-kauw pula! Dan mereka itu jelas bukan gadis-gadis lemah. Begitu mahir menunggang kuda, dan di punggung mereka tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Ah, kini keadaan cabang Pek-lian-kauw di Bukit Siong itu menjadi semakin kuat dengan datangnya dua orang gadis itu. Dia harus cepat mendapatkan bala bantuan! Kembali Ui Kong membalapkan kudanya menuju pulang ke Ki-lok. Dia ingat bahwa ketika berangkat, mereka bertiga melewati dua buah kota. Dia harapkan di dua kota itu akan bisa mendapatkan bala bantuan pasukan keamanan.